LOGINMakan malam berakhir dengan wajah merah Brama dan kekesalan Sarah dan juga Dana.
Cantika yang terlihat tenang dan selalu menampilkan senyuman di bibirnya, tetap saja dadanya terasa sesak saat mendapatkan perlakuan tidak enak dari Sarah dan Dana.
Kakek Prabu bisa melihat bagaimana perasaan Cantika saat ini. Itu sebabnya, setelah selesai makan malam, Kakek Prabu langsung menyuruh Cantika untuk beristirahat di kamar.
“Cantika, langsung istirahat saja di kamar, kakek tahu kamu pasti lelah.. Untuk kamu, Bram. Ke ruangan kerja Kakek dulu. Ada yang mau Kakek bicarakan sama kamu,” ucap Kakek Prabu dengan nada tegas.
“Bi, antarkan Cantika ke kamar, Brama.” Kakek Prabu langsung memerintahkan art di rumahnya. Dengan sopan, Bi Murni pun menjawab dengan anggukan kepala.
“Mari, Non.”
“Panggil Tika saja, Bi,” ucap Cantika dengan sopan.
“Nona Cantika ini istrinya Den Brama, jadi mana mungkin saya memanggil istri majikan saya hanya nama saja,” sahut Bi Murni tidak kalah sopan.
Mendapat perlakuan spesial, Cantika yang tidak biasa hanya bisa menghembuskan napasnya dengan kasar.
“Sepertinya mulai hari ini aku akan menjadi Cinderella. Apa-apa harus dilayani, dan yang terpenting disegani di rumah ini,” batin Cantika.
Tanpa berkata-kata lagi, Cantika memilih untuk melangkah menuju kamar Brama yang ada di lantai dua.
Di ruang kerja Kakek Prabu, Brama duduk di hadapan Kakek Prabu dengan tatapan tajam.
“Bram, saat ini Cantika sudah menjadi istrimu. Dia wanita yang baik, tolong hargai dia dan terima dia jadi istrimu. Jangan sakiti dia,” Kakek Prabu memberikan nasihat untuk cucunya.
“Brama nggak janji.”
“Bram!” bentak Kakek Prabu begitu mendengar jawaban yang keluar dari mulut Brama.
“Kek, tolong ngertiin Brama. Wanita yang sekarang jadi istriku itu pilihan Kakek. Bukan pilihanku, Jelas-jelas aku nggak cinta sama dia. Permintaan Kakek sudah aku turuti. Kali ini jangan paksa aku untuk mencintai dia, karena itu sama sekali tidak akan pernah terjadi.” Setelah mengatakan itu, Brama langsung bangkit dari duduknya.
Kakek Prabu hanya bisa diam dan menatap kepergian Brama dengan tangan kanan sudah memegang dadanya.
“Kakek nggak apa-apa?” tanya Pak Heri saat melihat Kakek Prabu seperti menahan sakit. Apalagi wajah kakek Prabu sudah terlihat pucat.
“Obat saya, Her. Jantung saya sakit sekali,” Kakek Prabu memberitahu dengan suara terbata.
“Sebentar, Kek, saya ambil dulu.” Cepat-cepat Pak Heri langsung berlari ke kamar Kakek Prabu.
Brama yang baru saja mau naik tangga, sedikit terkejut saat melihat Pak Heri seperti terburu-buru masuk ke kamar Kakek Prabu.
“Ck, kenapa lagi? pasti ada sesuatu,,” gumam Brama. Karena tidak mau tahu dan tidak peduli sama sekali. Kakinya kembali melangkah menaiki satu per satu anak tangga menuju kamarnya.
Di ruang kerja, setelah meminum obat yang diambil Pak Heri, Kakek Prabu kini sedikit tenang, walau dadanya tetap terasa sakit.
“Saya kasih tahu Den Brama ya, Kek, biar Kakek dibawa ke rumah sakit.”
“Tidak perlu, dia tidak akan percaya kalau saya sakit. Saya mau ke kamar saja, mau istirahat.”
“Tapi—”
“Tidak apa-apa, Her. Saya baik-baik saja,” potong Kakek Prabu. Heri pun hanya bisa mengalah, tapi rasa khawatir untuk Kakek Prabu tetap terlihat di wajahnya.
.
.
Di kamar pengantin baru, benar-benar tidak ada terlihat aura kebahagiaan. Yang ada, auranya terasa suram, seperti berada di rumah hantu.
Saat ini Cantika masih sadar dan duduk di sofa yang ada di kamar Brama.
“Kenapa belum tidur? Kamu nungguin saya?”
Cantika langsung tersenyum saat mendengar perkataan yang keluar dari mulut Brama. Tubuhnya yang tadinya menyandar kini berubah menjadi tegak.
“Kasih saya alasan kenapa harus menunggu Anda, Pak Brama yang terhormat?” Bukannya menjawab, Cantika justru memberikan pertanyaan balik.
“Bisa jadi Anda mengharapkan malam ini menjadi malam panjang?”
“Hahahaha!” tawa Cantika seketika langsung pecah.
“Malam panjang?” beo Cantika, tentu masih ada tawa yang keluar dari mulutnya. Jari telunjuknya menggaruk alisnya yang sama sekali tidak terasa gatal. Kini Cantika juga sampai bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati Brama yang berdiri di sisi ranjang.
“Jangan-jangan pak Brama yang berharap kalau malam ini akan terjadi malam panjang?” tanya Cantika. Kini sudah berdiri tepat di hadapan Brama.
“Kamu—” geram Brama karena merasa emosinya dipancing oleh Cantika.
“Jangan marah, nanti yang ada Pak Brama malah kelihatan tua.”
“Jangan bicara, kamu!” bentak Brama, dengan wajah sudah merah padam menahan emosi.
“Maaf,” sahut Cantika. Kedua tangannya kini berada di telinganya, layaknya anak kecil yang sedang melakukan kesalahan.
“Untuk malam panjang, kita lupakan dulu ya, Pak Brama. Jujur, saya tahu kewajiban saya. Tapi saya belum siap memberikannya pada Anda, karena di antara kita belum ada ikatan apa-apa,” jelas Cantika.
“Memang saat ini di mata hukum dan negara saya ini istri Anda, tapi sepertinya itu hanya status di buku nikah saja. Untuk perasaan, sama-sama tidak ada. Benarkan?” lanjut Cantika.
Sayangnya Brama tidak menyahut, membuat Cantika melangkah ke sisi ranjang. Tangannya mengambil bantal. Jelas saja membuat Brama mengerutkan keningnya.
“Kamu mau tidur di sofa?”
“Saya orangnya tahu diri, Pak Brama. Ini kamar Anda, mana mungkin saya yang tidur di ranjang empuk ini. Jadi lebih baik saya yang tidur di sofa. Lagian saya juga takut mengotori ranjang Anda.”
“Baguslah kalau kamu paham,” ucap Brama. Setelahnya, ia langsung melangkah menuju kamar mandi.
Hembusan napas langsung keluar dari mulut Cantika. Jiwa beraninya akan muncul saat berada di hadapan Brama. Tapi kalau Brama sudah tidak ada di hadapannya, Cantika tetap akan menjadi lemah. Bahkan saat ini mata Cantika juga sudah berkaca-kaca.
“Sabar, Cantika, semua ini pasti akan cepat berakhir. Hanya saja pilihannya ada dua, kamu akan bahagia bersama Brama, atau kamu akan menjadi janda di kemudian hari,” ucap Cantika. Kakinya langsung melangkah menuju sofa.
Dengan pelan, Cantika merebahkan tubuhnya. Hari ini rasanya tubuhnya benar-benar lelah. Tanpa menunggu lama, mata Cantika sudah terlelap.
Brama yang baru saja keluar dari kamar mandi sedikit terkejut saat melihat Cantika sudah tidur.
“Cepat banget tidurnya? Perasaan tadi dia masih banyak bicara,” heran Brama.
Mata Brama tak lepas menatap wajah Cantika yang sedang terlelap. Terlihat damai, bahkan Brama bisa melihat kecantikan wajah Cantika yang terlihat natural.
“Ck, mikirin apa kamu, Bram? Dia tidak jauh beda dari wanita di luar sana. Matre dan manja,” ucap Brama. Kini memilih untuk naik ke atas ranjang dan merebahkan tidurnya.
“Aku berharap hari ini hanya mimpi. Besok saat bangun pagi, aku masih single dan belum punya istri,” ucap Brama sebelum menutup mata.
.
.
Di kediaman Dana dan Sarah, saat ini keduanya masih belum memejamkan mata. Rasa kesal karena perkataan Cantika masih membuat Sarah emosi sampai sekarang.
“Jadi, apa rencana kamu, Mas?” tanya Sarah, menatap Dana yang sedang memainkan HP-nya.
Makan malam berakhir dengan wajah merah Brama dan kekesalan Sarah dan juga Dana.Cantika yang terlihat tenang dan selalu menampilkan senyuman di bibirnya, tetap saja dadanya terasa sesak saat mendapatkan perlakuan tidak enak dari Sarah dan Dana.Kakek Prabu bisa melihat bagaimana perasaan Cantika saat ini. Itu sebabnya, setelah selesai makan malam, Kakek Prabu langsung menyuruh Cantika untuk beristirahat di kamar.“Cantika, langsung istirahat saja di kamar, kakek tahu kamu pasti lelah.. Untuk kamu, Bram. Ke ruangan kerja Kakek dulu. Ada yang mau Kakek bicarakan sama kamu,” ucap Kakek Prabu dengan nada tegas.“Bi, antarkan Cantika ke kamar, Brama.” Kakek Prabu langsung memerintahkan art di rumahnya. Dengan sopan, Bi Murni pun menjawab dengan anggukan kepala.“Mari, Non.”“Panggil Tika saja, Bi,” ucap Cantika dengan sopan.“Nona Cantika ini istrinya Den Brama, jadi mana mungkin saya memanggil istri majikan saya hanya nama saja,” sahut Bi Murni tidak kalah sopan.Mendapat perlakuan spesi
Cantika langsung menatap Brama dengan wajah yang terlihat serius. Hembusan napas keluar dari mulut Cantika dengan pelan.“Apa Kamu melihat wajahku seperti ketakutan?” bukannya menjawab, Cantika justru bertanya balik.Brama tidak menjawab, tapi matanya menatap Cantika dengan tatapan tajam. “Ingat pak Brama yang terhormat, saya bukan wanita lemah yang bisa ditindas sesuka hati. Paham!!” Cantika kembali menatap para tamu. Wajah yang tadinya terlihat datar, seketika berubah terlihat manis, karena Cantika langsung menunjukkan senyumannya.“Pintar sekali aktingnya, padahal jelas-jelas tadi aku liat dia seperti tertekan,” batin Brama.Di tempat Sarah, Dana dan Iqbal berdiri, kakek Prabu menatap ketiganya dengan tajam. “Tolong hargai acara pernikahan Brama dan Cantika. Jangan merusak suasana dengan sikap kalian yang tidak punya etika itu,” tegur kakek Prabu. “Maaf, Pa,” ucap Dana, dengan wajah sedikit ketakutan.“Jangan diulangi lagi, ini terakhir kalinya kalian buat rusuh,” kakek Brama men
“Bukan urusanmu,” jawab Brama. Matanya menatap Iqbal dengan tajam. Dengan cepat Brama ingin membawa Cantika pergi, tapi langkahnya terhenti saat mendengar apa yang dikatakan Iqbal. “Kasihan sekali wanita cantik ini, harus jadi korban karena kamu gila harta,” Tangan Brama yang sebelah langsung terkepal, Wajahnya juga terlihat memerah karena menahan emosi. “Sebaiknya urus saja urusanmu,” ucap Brama, tanpa menyahut perkataan Iqbal yang sudah membuat dirinya emosi. Dengan cepat Brama langsung menarik tangan Cantika untuk segera pergi. Lagi-lagi Cantika hanya menurut saja, tapi matanya sempat melihat Iqbal, yang sedang tertawa sinis melihat diri nya dan Brama. “Siapa dia? kenapa Brama sampai semarah itu?” batin Cantika. Kini Brama sudah sampai di toko perhiasan, Wajahnya masih terlihat menahan emosi, matanya langsung melihat Cantika. “Cepat pilih yang kamu mau,” “Menurut selera ku?” tanya Cantika. “Iya,” jawab Brama, dengan nada kesal. “Kalau mahal?” “Ck, aku bukan orang miskin
“Gimana apanya?” tanya Cantika, dengan alis berkerut menatap Ema.“Ya…kamu gimana sama tuh cowok yang di jodohkan sama kamu? suka nggak?” Cantika menatap foto keluarganya yang ada di atas meja. Melihat senyum ayah, ibu dan adiknya. Cantika juga ikut tersenyum. Hembusan nafas juga keluar dari mulutnya.“Kalau dibilang perasaan, jelas belum ada sama sekali, Ma. Tapi setiap wanita pasti berharap kebahagian bersama dengan suaminya, ketika sudah menikah. Dan aku juga berharap seperti itu, walaupun aku menikah tanpa ada rasa cinta. Aku berharap Allah akan memberikan rasa cinta untuk aku dan dia nanti,” “Aaamiinn,”..Dua hari sudah berlalu sejak Brama memberitahu kakek Prabu kalau dirinya menerima perjodohan yang sudah di atur kakeknya. Brama pikir masalah itu sudah selesai, tapi pikirannya salah besar.Saat Brama fokus dengan pekerjaannya, tiba-tiba telpon dari kakek Prabu, membuat Brama langsung berdecak kesal.“Apalagi sih?” kesal Brama, tapi tetap menjawab telpon dari kakek Prabu.“A
Brama tidak langsung menjawab pertanyaan Cantika soal perjodohan. Yang ada Brama justru menyandarkan tubuhnya di kursi. Matanya menatap Cantika dengan tajam.“Sebelum saya menjawab, saya mau tanya sesuatu ke kamu,” “Apa?” tanya Cantika.“Mau pesan apa?”“Hahk!” terkejut Cantika.“Saya bukan pria pelit yang dengan teganya membiarkan lawan bicara saya tidak memesan minum atau makanan,” jelas Brama.“Aku kira dia mau beralih jadi waitress,” gumam Cantika. Sayangnya Brama masih bisa mendengar apa yang dikatakan Cantika.“Saya dengar apa yang kamu bilang,” tegur Brama. Cantika hanya diam saja. Kepalanya langsung menoleh ke kanan dan kiri, melihat waitress.“Mbak,” panggil Cantika. Waitress yang dipanggil Cantika pun langsung datang.“Mau pesan apa, Mbak?” tanya waitress dengan sopan.“Matcha latte nya satu. No sugar,” “Ada lagi?” tanya waitress.Cantika menatap Brama, “Kamu ada mau dipesan lagi nggak?” tanya Cantika, tentu dengan nada judes.“Nggak,” Cantika pun kembali menatap Waitress
Apa yang dikatakan Ema siang tadi. membuat Cantika kepikiran. Hembusan nafas berkali-kali keluar dari mulutnya.“Kalau aku menolak perjodohan ini, alm ayah pasti kecewa,” ucap Cantika. Matanya melihat ke foto yang ada di nakas. Tangannya mengambil foto tersebut. Senyum terbit melihat foto dirinya bersama Ayah, ibu dan adiknya. Foto yang diambil tiga tahun lalu, saat Cantika baru saja lulus kuliah. “Tika memang tidak pernah bertemu dengan Pria yang bernama Brama, Yah. Tapi Tika pernah mendengar kalau dia adalah pria yang kejam,” ucap Tika, seolah-olah sedang curhat dengan Ayahnya.“Kenapa bisa ayah menjodohkan Tika dengan pria itu? apa Ayah punya hutang dengan keluarga mereka?” tanya Cantika. Hembusan Nafas kembali keluar dari mulutnya.“Sepertinya aku harus tanya ibu,” ucap Cantika.*******“Ayahmu nggak pernah punya hutang uang, Tik. Tapi Ayahmu punya hutang budi dengan pak Prabu,” jelas bu Irma. Saat ini Tika sudah berada di kampung halaman, hanya demi menanyakan kenapa Ayahnya bis







