Share

Rumah Mertua

Aku menyandarkan kepala pada punggung Ayu. Tak perduli meski punggungnya basah oleh air mata. Kepala terasa berat untuk bisa aku tegakkan. Ayu mengemudikan motor dengan santai. Aku pulang dengan hati yang seluruhnya telah hancur.

Rasanya, duniaku berhenti berputar beberapa saat lalu. Setelah kesadaran pulih, rasa sakit di dadaku malah kian parah.

Mas Mirza tega mengkhianati aku. Itu kesimpulannya.

Saat tahun pertama pernikahan kami, ibu juga tak juga memberikan restunya. Berusaha kupupuk cinta ini dengan menuruti semua kemauan mas Mirza. Bahkan, ketika ibu meminta agar kami pindah dari rumahnya, kemudian memutuskan mengontrak. Aku juga tak pernah protes meski gajinya lebih kecil, semuanya aku jalani dengan ikhlas.

Aku rela bekerja siang dan terkadang malam kulalui dengan lembur, agar apa yang dicita-citakan mas Mirza terpenuhi. Memiliki rumah sendiri dan mobil pribadi.

Dengan kesabaran penuh, tahun ketiga pernikahan, Allah memudahkan segala rejeki. Aku dan mas Mirza naik jabatan di saat yang hampir bersamaan. Di tambah lagi kelahiran putra pertama kami, Zaki sebagai pelengkap kebahagiaan.

Karier mas Mirza semakin menanjak. Ia dipercaya memegang bagian penting di tempatnya bekerja, sebagai kepala bagian personalia. Dari situ, kehidupan kami mulai membaik.

Aku pun tak lelah berjuang, hingga harus rela menyerahkan Zaki yang berumur empat bulan pada baby sitter. Semua itu demi bakti mas Mirza yang ingin menghadiahi mobil baru untuk ibu.

Di ulang tahunnya yang ke lima puluh tahun, aku dan mas Mirza berhasil menghadiahkan sebuah mobil baru. Semua aku lakukan untuk membuka pintu hatinya agar bisa menerimaku menjadi menantunya.

Namun kenyataannya, ibu tidak pernah berubah. Bahkan diam-diam, ibu lebih banyak meminta bantuan pada mas Mirza. Aku pun tidak mempermasalahkannya. Terpenting ibu senang.

Saat ini, semua itu seperti membawaku dalam ruang hampa udara. Kurasakan sesak, sakit dan merasa tak berarti dalam satu waktu.

Tidak pernah mendapatkan firasat buruk sebelumnya, membuat aku terjatuh sangat sakit. Sakit sekali. Ingin menjerit, tetapi tak cukup kuat melakukannya.

Aku dan Ayu sampai di rumah jam sepuluh malam. Ayu langsung memapahku masuk ke kamar. Seorang baby sitter yang tinggal di rumah terlihat keheranan. Tanpa berani bertanya, dia memberikan air putih kepadaku.

"Anya, jaga Zaki dulu sementara waktu. Mbak Mala lagi ada masalah." Ayu berucap setengah berbisik, tapi aku mendengarnya dengan jelas.

"Ayu, makasih sudah mau mengantarkan." Aku berbaring dengan posisi sembarang. Ayu mengangguk, lalu menarik selimut untukku.

"Aku tunggu Mbak Mala di sini," ucapnya.

"Nggak usah. Nanti suamimu nyariin," ucapku lemah.

"Aku sudah kirim pesan kok, Mbak."

"Gak apa-apa, pulang saja. Jangan khawatir, aku gak bakal bunuh diri kok," ucapku sambil tersenyum miring. Ingin tertawa lebar sebenarnya, menertawakan nasib buruk yang menimpaku.

"Mbak Mala, aku gak bilang begitu. Ya sudah, kalau ada apa-apa hubungi saja, ya?"

Aku mengangguk. Ayu dan Anya keluar kamar. Tinggallah aku seorang diri.

Air mata tak lagi menetes, mungkin sudah kering atau mungkin mata ini sudah terlalu lelah, sehingga enggan mengeluarkannya.

Aku bangun dari posisi tidur, lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan make up. Melepas jilbab instan yang bagian depannya masih basah. Dengan segera membasuh wajah.

Aku mengamati bayang di sana. Dari bibir, mata, alis dan pipi, semua yang terlihat tidak ada yang cacat. Tapi mengapa mas Mirza tega mengkhianati aku?

Dia tidak begitu terlihat cantik. Malah tubuhnya jauh lebih segar dari tubuhku, jauh lebih ramping, lebih tinggi, lebih ... ahhh!

Aku menjerit histeris. Cantik dan banyak uang tidak menjamin mas Mirza setia padaku.

Siapa wanita itu sebenarnya? Kenapa mesti ada dia di antara aku dan mas Mirza?

Aku merasa didudukkan dalam posisi yang tidak adil. Hanya dimanfaatkan secara materi oleh ibu, mungkin juga mas Mirza.

Lelah, tenggorokanku sakit. Menangis tanpa air mata dan terus terisak membuat perutku terasa kram.

Mama ....

Demi mertua yang aku agung-agungkan, aku sampai rela menomorsekiankan ibu kandungku sendiri. Selama ini, aku tak pernah memberikan materi padanya dengan jumlah yang layak. Semuanya demi mertua. Tetapi, apa yang aku dapatkan sekarang?

Aku merambat ke pembaringan. Perutku yang sakit membuatku ingin segera berbaring. Lelah. Aku tak sanggup berpikir apa-apa lagi.

***

Pagi menjelang, saat suara kicau burung membuatku terbangun. Samar-samar, terdengar suara guyuran di kamar mandi.

Aku melirik jam dinding, pukul tujuh pagi. Sesakit ini rasanya hingga membuatku seperti kehilangan kesadaran. Aku melirik ke sekitar, teronggok jaket mas Mirza pada punggung sofa. Sudah pulang rupanya.

Aku masih memegangi kepala, saat derit pintu terdengar.

"Kamu sakit, Dek?" Ucapan pertama yang kudengar pagi ini.

Biasanya, aku akan segera tersenyum, lalu segera berjalan mendekatinya. Memberikan kecupan di beberapa bagian wajahnya. Namun tidak untuk saat ini, bahkan mungkin seterusnya. Melihatnya saja, rasa-rasanya perutku sudah mual.

"Iya," jawabku singkat. "Kapan pulang?"

Dia menoleh, lalu tersenyum. Sumpah, ingin rasanya memaki saat ini juga.

"Barusan," jawabnya. Ia merambat menaiki ranjang. Menyambar satu bantal dan merebahkan diri di sampingku.

Seandainya mampu berbicara, aku ingin menolak setiap sentuhan darinya. Namun, terpaksa aku tahan demi satu alasan, balas dendam.

Tangannya yang kokoh meraih pinggangku, lalu menelusupkan tangannya yang dingin ke balik kemeja. Sentuhannya meninggalkan rasa dingin, tapi tetap saja tidak mampu memadamkan kobaran api yang sudah mas Mirza sulutkan.

"Tidur pakai kemeja, segitu capeknya kerjaan di kantor sampai malas mengganti baju?"

Pertanyaan yang lucu. Andai kamu tau, mas, aku sampai tidak sanggup menggerakkan setiap anggota tubuh setelah mengetahui penghianatanmu.

Andaipun aku bisa tertawa, aku akan menjawab pertanyaannya sambil tertawa.

Diam saat ini adalah peredam paling ampuh bagiku.

"Mas lapar, sarapan yuk. Zaki lagi di suapi sama Anya. Setelah ini, kita weekend ke rumah ibu."

Mataku menyipit. "Ke rumah ibu?" tanyaku mulai menyelidik.

"Oh, iya ... ibu bilang, ada saudara yang datang. Dia mau dikenalkan sama kamu."

"Saudara. Siapa?"

"Saudara jauh, sih. Namanya Hesti. Dia lagi hamil, Sayang."

Degh. Berarti wanita itu ....

Dada tiba-tiba berdebar. Tanpa sadar, aku meremas ujung selimut dengan kuat.

"Terus?" Aku menuntut jawaban sekaligus ingin mengetes, sejauh mana lelakiku ini bisa merasa aman bermain api. Sepertinya, mas Mirza dan ibu sedang merencanakan sesuatu.

"Suaminya pergi," jawabnya.

Fix, kalian memang berniat mengelabuhiku.

"Ke mana?" tanyaku pura-pura b**oh.

"Minggat katanya," jawabnya sambil berguling ke samping. "Mandilah, aku tunggu di meja makan." Mas Mirza bergerak menjauhiku.

"Oke," balaskuku.

Ok, mas. Aku sanggupi permainan petak umpet kalian.

**

Aku membawa serta Zaki karena harus menginap. Biasanya, Anya memang mendapatkan hari libur setiap hari Sabtu dan Minggu.

Sebenarnya, merawat Zaki tidaklah sulit. Jagoanku ini sudah berumur tiga tahun. Tak terlalu sulit mengajaknya berinteraksi.

Aku membawa beberapa pakaian sebagai ganti. Mas Mirza memintaku untuk menginap di sana barang semalam.

Lelakiku sedang menurunkan satu tas berisi pakaian saat kami sudah tiba di rumah ibu.

Aku menggenggam tangan Zaki. Mencari kekuatan di sana. Sebab, hanya jagoanku ini yang bisa membuatku bertahan dari rasa benci pada seluruh penghuni rumah ini.

"Ayo, ajak mas Mirza. Tangannya merengkuh pundakku.

Kami berjalan beriringan. Hanya hitungan detik untuk sampai di sana, barangkali langsung terpampang wajah-wajah munafik mereka. Debaran di dada semakin menguat. Tanganku berkeringat, juga gemetaran sambil genggaman bocah mungil ini.

Mas Mirza memutar kenop pintu, sambil mengucapkan salam. Dari dalam terdengar sahutan dua wanita.

Wajahku terasa panas seketika melihat ibu di pintu. Netraku langsung menangkap sosok wanita itu. Dia berdiri memaku, menatap tak berkedip. Akupun sama.

Gemuruh di dada serasa ingin meledak, seperti gunung api yang segera memuntahkan lahar.

Ya Allah, kuatkan. Kakiku terasa tak bertulang.

"Dek, kenapa?"

:

:

:

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status