Home / Fantasi / Warisan Dewa Naga Yang Terlupakan / BAB 1 - Bayangan Di Sudut Sekte

Share

Warisan Dewa Naga Yang Terlupakan
Warisan Dewa Naga Yang Terlupakan
Author: Alorastory

BAB 1 - Bayangan Di Sudut Sekte

Author: Alorastory
last update Last Updated: 2025-12-08 23:23:29

Embun pagi menyelimuti halaman pelatihan Sekte Serakan Cahaya. Matahari baru saja terbit, menembus kabut tipis yang menggantung di udara. Di tengah hiruk-pikuk para murid yang berlatih, terdengar suara bentakan, umpatan, dan tawa mereka yang merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain.

Di antara semua itu, berdiri seorang pemuda kurus dengan pakaian lusuh dan buket kayu di tangan—Raynar.

Seperti biasa, tidak ada yang memperhatikannya.

Ia berjalan pelan, menghindari murid-murid yang berlatih pedang dan tidak ingin terseret dalam amukan mereka. Setiap pagi, tugasnya hanyalah satu: membersihkan halaman pelatihan. Tugas yang bahkan tidak mau dilakukan murid terlemah sekalipun.

“HEY! Pesuruh!” teriak salah satu murid, menendang ember air ke arahnya. “Airnya kurang! Apa kau buta atau bodoh?”

Raynar terdiam, menunduk, menahan napas. Ember itu jatuh tepat di depan kakinya, memercikkan air ke jubahnya yang tipis. Murid lain tertawa melihatnya.

“Raynar si sampah sekte! Tidak bisa melakukan apa pun dengan benar!”

“Aku yakin dia tidak punya akar spiritual! Mana bisa seseorang seperti dia berlatih kultivasi?”

“Diam saja dia! Dasar pengecut!”

Ia menahan semua hinaan itu seperti biasa. Sudah bertahun-tahun ia mendengar kata yang sama: sampah.

Sampah yang tidak layak menjadi murid.

Sampah yang hanya dipungut sekte demi mengisi pekerjaan kotor.

Tapi Raynar tidak membalas. Baginya, diam adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup di tempat yang tidak menginginkan kehadirannya.

Setelah memastikan halaman pelatihan bersih, Raynar berjalan ke gudang kayu yang berada di belakang sekte. Ia meletakkan sapu yang sudah usang lalu duduk sebentar, mengusap keringat di lehernya.

Hidupnya selalu seperti ini—dimulai dengan penghinaan, diakhiri dengan kelelahan. Namun yang lebih menyakitkan adalah kenyataan pahit yang selalu muncul dalam benaknya: dia tidak punya masa depan.

Ia memang tidak memiliki akar spiritual—setidaknya itulah yang dikatakan para tetua saat pertama kali ia dibawa ke sekte sebagai anak kecil.

Tanpa akar spiritual, seseorang tidak bisa menyerap energi langit dan bumi. Itu berarti, ia tidak akan pernah menjadi kultivator.

Sederhananya…

Ia adalah bayangan di antara para bintang.

Raynar menghela napas panjang. “Seandainya aku punya sedikit saja kekuatan… sedikit saja…”

Ia tidak menginginkan kebesaran. Tidak ingin menjadi tetua sekte. Ia hanya ingin… dihargai.

Namun hidup tidak pernah memberinya kesempatan itu.

Siang menjelang ketika Raynar berjalan menuju dapur untuk mengantarkan kayu bakar. Di sana, ia kembali dihentikan oleh sekelompok murid.

“Raynar,” ujar Dalen, murid tingkat menengah yang paling sering mengganggunya. Senyum congkaknya muncul, menandakan hal buruk akan terjadi. “Kami sedang latihan teknik tubuh. Kami butuh seseorang… hmm… untuk jadi ‘sasaran’ pukulan.”

Tawa menggema di belakangnya.

Raynar menunduk. “Maaf, aku harus mengantar kayu bakar. Jika terlambat, Penjaga Dapur—”

“Cih! Kau pikir kau bisa pergi begitu saja?”

Dalen menarik baju Raynar dan mendorongnya ke tanah. Kayu bakar berjatuhan.

Raynar ingin melawan. Ingin berteriak. Ingin memukul balik.

Tapi ia tahu, melawan hanya akan memperburuk keadaan. Mereka bisa melapor ke tetua bahwa ia tidak hormat. Dan satu-satunya konsekuensi bagi pesuruh seperti dirinya adalah hukuman—bahkan bisa diusir.

Dalen mencengkeram kerah bajunya. “Kau dengar, kan? Kau ini pesuruh. Tugasmu mengikuti perintah, bukan membantah.”

Raynar menutup mata, menahan napas, menunggu pukulan itu datang—

“DALEN!”

Suara lantang itu mengguncang udara.

Salah satu Penjaga Dapur muncul dari belakang pintu, membawa sendok besar seperti senjata. “Masih mengganggu pesuruh lagi? Kalau pekerjaan terlambat, kalian sendiri yang akan memasak untuk seluruh sekte!”

Dalen mendecak kesal. “Tsk. Pesuruh payah ini selalu dapat perlindungan.”

Namun ia tetap mundur.

Raynar mengumpulkan kayu bakarnya dan menunduk sebagai ucapan terima kasih. Penjaga Dapur hanya menepuk pundaknya.

“Jangan terlalu diambil hati. Dunia kultivasi memang keras,” katanya. “Tapi kamu tetap saja harus bertahan, Nak.”

Bertahan.

Kata yang sejak kecil selalu ia dengar.

Dunia tidak pernah memberinya ruang selain untuk bertahan.

Malam tiba cepat. Langit dipenuhi bintang, dan udara dingin menyusup ke sela-sela pakaian Raynar. Ia sedang membersihkan ruangan penyimpanan gulungan kuno—tugas yang biasanya diberikan saat ada kesalahan, tapi hari itu ia ditugasi agar “tidak mengganggu” latihan murid lain.

Raynar menyapukan debu dari satu gulungan tua dengan hati-hati. Ia tidak bisa membaca banyak tulisan kuno, tetapi ia suka berada di tempat ini. Sunyi. Tenang. Tidak ada orang yang menghina.

Saat ia mendekati rak paling pojok, ia menemukan sesuatu: sebuah kotak hitam kecil, sangat tua, hampir tertutup debu dan lumut. Raynar memegangnya, mencoba membukanya, namun kotak itu tidak memiliki engsel atau kunci.

Aneh.

Ia menepuk permukaannya, mencoba meraba ukiran samar di permukaan. Ketika jari Raynar menyentuh bagian tengah kotak—

BRUK!

Kotak itu tiba-tiba bergetar dan jatuh ke lantai.

Raynar tersentak, mundur dua langkah.

Dan kemudian sesuatu terjadi.

Sebuah cahaya merah keemasan merambat dari celah kotak, membentuk simbol aneh di udara. Simbol itu melayang, berputar, lalu jatuh tepat pada tubuh Raynar.

“A—apa yang—”

SYUUUT!

Cahaya itu menembus kulit Raynar, menimbulkan sensasi panas mengalir ke seluruh tubuhnya. Ia terjatuh, tubuhnya seperti terbakar dari dalam.

“Ngaaaah!”

Glyph merah keemasan muncul di dadanya—berbentuk seperti mata naga dengan garis melingkar yang mengelilinginya.

Teriakannya menggema di ruang sunyi itu. Cahaya semakin terang, membentuk semburan energi yang membuat gulungan di sekitarnya beterbangan.

“BERHENTI! AKU TIDAK SANGGUP!”

Namun cahaya itu tidak peduli. Seolah memiliki kehendaknya sendiri…

Dan ia memilih Raynar.

Dalam benaknya, suara berat terdengar.

“Pewaris… akhirnya ditemukan.”

Raynar membeku.

Suara itu bukan suara manusia. Bukan suara yang pernah ia dengar.

Itu suara makhluk kuno—suara yang bergema dari kedalaman bumi dan ujung langit.

“Warisan Dewa Naga… akan bangkit kembali.”

Tubuh Raynar seperti diremukkan dari dalam. Rasa sakitnya begitu hebat hingga ia merasa jantungnya pecah. Glyph di dadanya menyala semakin terang, membuat bayangan naga purba muncul di belakangnya, melingkari tubuhnya.

Gulungan kuno jatuh, rak-rak bergetar, dan lantai retak sedikit demi sedikit.

Raynar memegang dadanya kuat-kuat. “Kenapa aku? Aku bukan siapa-siapa…”

Namun suara itu menjawab dengan lantang.

“Karena darahmu… tidak pernah benar-benar hilang.”

Dan seketika itu juga, cahaya membuncah.

Raynar pingsan.

Beberapa saat kemudian…

Suara langkah mendekat. Suara robekan udara. Suara seruan panik.

“APA YANG TERJADI DI SINI?!”

Raynar merasakan tubuhnya ditarik seseorang. Ruangan itu hancur sebagian, dan cahaya glyph telah surut. Para tetua sekte berkerumun di sekelilingnya.

“Apa itu simbol di dadanya?”

“Itu… mustahil…”

“Glyph naga?! Bukankah itu sudah hilang ribuan tahun?”

“Jadi anak ini… memiliki warisan kuno?”

Raynar membuka mata perlahan, pandangannya kabur. Yang bisa ia lihat hanyalah wajah-wajah tetua yang kini tidak lagi memandangnya dengan jijik… melainkan ketamakan.

“Bawa dia ke aula utama!” perintah salah satu tetua dengan suara tegang.

“Tetap hidupkan dia! Jangan sampai mati!”

Raynar tidak mengerti apa-apa. Tubuhnya masih lemah, dan ia hanya bisa bertanya dengan suara serak:

“A-apa yang terjadi… denganku?”

Tetua itu menatapnya lekat-lekat.

“Apa yang terjadi? Kau… adalah kunci yang sekte ini cari selama berabad-abad.”

Raynar menelan ludah.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia bukan lagi bayangan.

Dan nalurinya mengatakan—

itu tidak berarti ia akan aman.

Tidak berarti ia akan dihargai.

Karena di mata mereka…

Raynar bukan manusia.

Ia adalah harta.

Senjata.

Warisan Dewa Naga yang Terlupakan.

Dan hidupnya…

baru saja berubah menjadi neraka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warisan Dewa Naga Yang Terlupakan   BAB 5 - Bayangan Yang Mengintai Darah Nagaku

    Malam turun seperti tirai hitam yang menelan seluruh gunung Thevrion. Tidak biasanya angin berhenti bergerak, seolah semua alam menahan napas. Langit begitu gelap hingga lentera-lentera sekte tampak seperti titik cahaya rapuh yang bergetar di tengah kekosongan. Raynar berjalan pelan keluar dari ruang penyembuhan. Tubuhnya masih terasa lemah, tapi pikirannya resah. Suara gema—halus seperti bisikan angin—bergetar di benaknya sejak bangun. “Pewarisku… Kegelapan telah mencium jejakmu.” Ia menggigil. Suara itu bukan suara manusia, bukan pula suara dari dalam dirinya. Itu… suara naga itu lagi. Ketika Raynar menatap ke kejauhan, ia melihat kabut hitam tipis mulai turun dari puncak hutan di bawah gunung. Kabut itu bukan kabut biasa. Terasa berat. Pekat. Seolah memiliki kehendak sendiri. Dan dari kejauhan terdengar sesuatu— suara gesekan yang tidak seharusnya dimiliki makhluk hidup. Sek-sek-sek… Raynar merinding. “Raynar!” Ia menoleh cepat. Linara berlari menghampirinya, napasnya me

  • Warisan Dewa Naga Yang Terlupakan   BAB 4 - Saat Langit Bergetar Memanggil Namaku

    Suasana lembap menyelimuti kamar kecil tempat Raynar tinggal. Dinding kayu yang mulai rapuh itu belum pernah terasa sedingin malam itu. Api lampu minyak menari kecil, seolah takut padam, sementara Raynar duduk di lantai, kedua tangannya menggenggam lutut, napasnya pendek—penuh tekanan yang bukan berasal dari tubuhnya sendiri. Glyph naga itu kembali berdenyut. Cahaya keperakan muncul dari balik kulitnya, merayap seperti sulur hidup hingga ke lengan dan dada. Setiap denyutan seperti memukul jantungnya dari dalam, membuatnya terhuyung, menahan teriakan. “A—ahh… tidak lagi… tolong berhenti…” desis Raynar, menekan dadanya. Tetapi glyph itu tidak peduli pada permintaannya. Ia hidup. Ia bergerak. Ia memilih. Dan ia memilih dirinya. Raynar merasakan energi asing mengalir melalui nadi, mengikis batas tubuhnya, membuat ototnya menegang dan tulangnya seolah retak oleh sesuatu yang tak terlihat. Bayangan suara—gema asing—tiba-tiba mengalun di benaknya. “Pewarisku…” Raynar terhenti. Tub

  • Warisan Dewa Naga Yang Terlupakan   BAB 3 - Bayang-Bayang Penghianat

    Angin malam menyusup melalui celah jendela Paviliun Dalam, membawa hawa dingin yang menempel pada kulit Raynar. Ruangan itu jauh lebih luas daripada gubuk pesuruh tempat ia tinggal sebelumnya—lantai kayu mengilap, tempat tidur empuk, dan lentera kristal yang berpendar lembut. Namun tak ada rasa nyaman sedikit pun. Karena di setiap sudut ruangan ini… Raynar merasa ada mata yang terus mengawasinya. Ia duduk di tepi ranjang, memegang dada tempat glyph naga itu tertanam. Meski cahayanya sudah mereda, kulitnya masih hangat, seolah simbol itu bernapas bersamanya. “Warisan… pewaris…” gumam Raynar dengan suara lirih. “Aku tidak mengerti apa yang kalian inginkan dariku…” Suara itu—suara naga purba—tidak muncul lagi sejak kejadian di aula. Tapi keheningan ini bukan perlindungan. Rasanya seperti ketenangan sebelum badai. Raynar mengelus dadanya perlahan. Setiap kali ia menyentuh simbol itu, tubuhnya terasa berat, seperti ada kekuatan yang berputar di dalam dirinya, menunggu dilepaskan.

  • Warisan Dewa Naga Yang Terlupakan   BAB 2 - Mata Yang Mengawasi Warisan

    Suara pintu besar yang terbuka paksa membuat seluruh aula utama Sekte Serakan Cahaya dipenuhi gaung berat. Cahaya lentera bergoyang-goyang, seolah ikut menggigil melihat apa yang dibawa masuk oleh para tetua malam itu. Raynar. Tubuhnya masih melemah, pakaian lusuhnya sobek di beberapa bagian, dan napasnya pendek seperti baru ditarik paksa dari kematian. Dua tetua memapahnya menuju pusat aula, tepat di depan altar batu tempat biasanya para murid bersumpah setia pada sekte. Kini, altar itu terasa seperti panggung eksekusi. Aula dipenuhi puluhan orang: murid tingkat tinggi, penatua, penjaga sekte, bahkan beberapa tamu terhormat yang biasa tinggal di paviliun atas. Semua mata tertuju padanya—mata yang tidak lagi berisi penghinaan… melainkan ketakutan, keserakahan, dan hasrat. Tetua Rengard, lelaki tua dengan janggut putih panjang dan mata tajam seperti elang, melangkah maju. Ia adalah tetua tertinggi kedua di sekte, terkenal karena keras dan ambisius. “Letakkan pemuda itu.” Raynar

  • Warisan Dewa Naga Yang Terlupakan   BAB 1 - Bayangan Di Sudut Sekte

    Embun pagi menyelimuti halaman pelatihan Sekte Serakan Cahaya. Matahari baru saja terbit, menembus kabut tipis yang menggantung di udara. Di tengah hiruk-pikuk para murid yang berlatih, terdengar suara bentakan, umpatan, dan tawa mereka yang merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain. Di antara semua itu, berdiri seorang pemuda kurus dengan pakaian lusuh dan buket kayu di tangan—Raynar. Seperti biasa, tidak ada yang memperhatikannya. Ia berjalan pelan, menghindari murid-murid yang berlatih pedang dan tidak ingin terseret dalam amukan mereka. Setiap pagi, tugasnya hanyalah satu: membersihkan halaman pelatihan. Tugas yang bahkan tidak mau dilakukan murid terlemah sekalipun. “HEY! Pesuruh!” teriak salah satu murid, menendang ember air ke arahnya. “Airnya kurang! Apa kau buta atau bodoh?” Raynar terdiam, menunduk, menahan napas. Ember itu jatuh tepat di depan kakinya, memercikkan air ke jubahnya yang tipis. Murid lain tertawa melihatnya. “Raynar si sampah sekte! Tidak bisa mel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status