Viano turun dari mobil dengan tergesa-gesa dan masuk ke rumah. Ketika sampai di ruang tamu, dia menemukan Garseta tengah duduk dengan kaki disilangkan dan menikmati secangkir teh hangat."Ma?" Sambil masih menarik napas, dia menyapa."Kamu tergesa-gesa, Vi?" Ucapan perempuan paruh baya di hadapannya terdengar sindiran.Viano mengatur napasnya, melonggarkan dasinya sebelum duduk di hadapan ibunya."Mama ada perlu apa ke sini?""Menunggu putra kesayangan pulang." Garseta yakin, Viano tahu kalau sekadar berkunjung bukan alasan sebenarnya."Kita tidak perlu basa-basi, Ma. Ada keperluan apa Mama datang ke sini?""Besok Mama ada acara makan siang dengan kolega bisnis. Lusi juga akan datang."Viano tahu, ujungnya bagaimana."Lusi akan datang juga!" Garseta menandaskan.Viano menggeram, tadinya dia pkir akan ada urusan mendesak. Ternyata perkara sepele."Mama bisa telepon-""Telepon?" Nada bicara Garseta meninggi. "Mama bukan cuma mau sampaikan itu aja, Vi!"Viano menegang."Mama mau besok ka
Jika boleh, Nesta ingin menggerutu, mengomel, dan mengumpat pagi ini. Apa benar ada bos yang meminta karyawannya untuk lembur mendadak pada hari Minggu? Hari di mana orang-orang biasanya bersantai di rumah, menonton drama Korea."Oppa, aku tidak bisa bertemu denganmu hari ini," keluh Nesta pada ponselnya, seolah-olah ponsel itu dapat merasakan kesedihannya. Tiba-tiba, pesan masuk dari Viano: "Saya akan membayar lemburmu tunai hari ini." Nesta merengut. Palingan juga, hanya dua ratus ribu, tidak sebanding dengan wajah tampan Oppa. Namun, pesan berikutnya dari Viano membuat matanya hampir terbelalak: "Saya akan membayar tiga juta untuk lemburmu!" "Wah, gila parah!" Nesta hampir berteriak membaca kata tiga juta. Bagi orang miskin yang berobat dengan bantuan pemerintah, tiga juta itu sangat besar. Tanpa berpikir dua kali, ia langsung menjawab, 'ya'.•°•Lembur apa ini? Kenapa Nesta malah disuruh ke mall pagi-pagi begini -- jam delapan -- toko-tokonya saja belum buka. Apakah Nesta akan
High heels akhirnya diganti dengan wedges. Menurut Viano, ini lebih aman. Lagipula, melihat Nesta berjalan dengan cara yang tidak stabil, malah merusak penampilannya.Setelah selesai di butik, Viano ingin langsung pergi ke rumah orang tuanya. Nesta dipesan taksi untuk perjalanan ke rumah Viano, dan sekaligus menjemput Raja."Kenapa saya tidak diantar saja dulu, Pak?" Saat taksi Nesta hampir datang, dia sempat bertanya.Viano yang berdiri di sampingnya hanya melirik sejenak. Dia merasa beruntung karena mau menemani Nesta sampai taksi datang."'Kan, bisa hemat biaya, Pak." Meski tidak dianggap, dia terus berbicara."Apakah rumah keluarga Bapak dan rumah pribadi tidak searah, ya?" Dia terus berusaha mengajak ngobrol. "Apakah saya bau ketek, ya, Pak?" Nesta mulai curiga pada dirinya sendiri."Atau mungkin bau mulut?" Biasanya, orang dihindari karena bau mulut.Viano merogoh kantongnya. Dia mengambil permen karet yang ada di sana, membuka bungkusnya, mengambil isinya, lalu memasukkannya ke
Nesta masih sibuk. Sibuk yang menyenangkan, bermain, berkeliling naik wahana, dan mendapatkan es krim. Betapa nikmatnya bekerja lembur...Dia belum tahu, Viano akan marah sebentar lagi.Sambil menyetir, dia menelepon Nesta."Nesta, saya sudah menelepon kamu beberapa kali, tapi tidak diangkat-angkat!"Belum sempat menyapa, bahkan belum sempat bernafas, dia sudah dimarahi. Apa salah Nesta?"Kamu bawa anak saya ke mana!"Dengan nada bicara yang tegas dan panik seperti ini, membuat Nesta kesulitan untuk menjelaskan. Apa pun yang dijelaskan, pasti akan salah."Saya hanya mengajak Raja bermain. Bebas, Pak, seperti anak-anak.""Kamu tahu, kamu salah!"Dasar! Memiliki bos yang kaku dan tidak memiliki sisi kemanusiaan yang adil dan beradab adalah hal yang paling menyebalkan."Iya, Pak, saya salah." Saya salah memiliki bos seperti Bapak! Sekali lagi, hamba harus mengalah."Bagikan lokasi, sekarang!"Mengusap dada, banyak-banyak bersabar agar uang lembur tidak dipotong lagi. Harus bersikap manis
"Aku harus pulang!" Nesta berlaku demikian bukan karena berlebihan. Melainkan takut gaji dipotong. Lagi pula, aturan dari Viano adalah dia tidak boleh berdekatan."Iya, biarkan Kak Nesta pulang," timpal Viano.Mendengar Viano mendukung Nesta pergi, gadis itu merajuk."Lagi pula, Ayahmu sudah ada di sini. Dia bisa temani kamu main apa saja."Raja sedikit muram. Tadi, dia memang merasakan hal yang paling menyenangkan. Nesta bukan perempuan dewasa yang harus jaga image di depan semua orang. Apakah papanya bisa sebebas Nesta? Raja ragu soal itu."Sana pulang!" Viano memandang tajam pada Nesta, ketika Raja tengah diam.Otak nakal Nesta malah aktif kalau diperlakukan seperti ini."Ya, Pak. Saya maklum, kok, kalau Bapak mau jaga wibawa di depan anak."Viano mengangkat dagunya sedikit, bergaya angkuh."Karena bakal malu, kalau ayah yang kekar, wibawa, pimpinan perusahaan kalah main game." Tutup mulut, dengan gaya malu-malu ala gadis manja. Nesta jelas mengejek bosnya.Viano tidak suka melade
Nesta menguap secara dramatis. Jika diukur dengan matematika tingkat lanjut seperti yang digunakan oleh Laplace, lingkaran mulutnya hampir mencapai 360 derajat. Alasannya jelas, Nesta menghabiskan semalam suntuk menonton drama Korea, tergoda oleh delapan episode terakhir yang menunggu untuk ditonton."Nesta, tutup mulutmu saat menguap! Itu tidak sopan!" tegur Beny."Tsk!" Nesta hanya tertawa kecil."Kamu akan menyesal jika lalat masuk!"Beny menunjuk mulut Nesta.Nesta menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Tidak apa-apa, bisa jadi camilan.""Jorok!" Beny berteriak."Hanya bercanda, Ben."Beny mengambil sapu dan debu di belakang pintu, tampaknya siap untuk bekerja lagi.Mendekati siang, biasanya seperti ini. Saat para bos dan staf keluar untuk makan siang, petugas kebersihan bersiap untuk membersihkan ruang kerja lagi.Apalagi ruangan Viano. Dia sangat tidak suka jika ada yang kotor atau berantakan sedikit pun. HanyaBeny yang boleh masuk ruangannya saat dia tidak ada.Beny adalah ora
Nesta dengan cepat berlari menuju ruangan Viano. Begitu dia tiba, ekspresi wajah atasannya mirip dengan karakter antagonis dalam drama. Mengerikan, tetapi menawan."Apakah Bapak memanggil saya?" tanya Nesta segera setelah dia berdiri di depan Viano. Jika diteliti, kali ini tampaknya Viano benar-benar marah."Mengapa kamu masuk ke ruangan saya?""Oh, tadi Beny-""Apakah Beny yang memberikan kunci?" potong Viano dengan cepat.Nesta mengangguk.Tanpa melepaskan pandangan tajamnya dari Nesta, Viano menelepon Beny."Datang ke ruangan saya sekarang!" perintahnya, dengan gagang telepon yang menempel di telinganya.Nesta berani bertaruh, berada di rumah hantu tidak akan lebih menyeramkan daripada melihat ekspresi datar Viano yang menimbulkan rasa takut. Untunglah hidungnya mancung.Ah! Nesta menggelengkan kepala. Dia memaksa dirinya untuk fokus pada pekerjaannya. Jangan fokus pada setiap detail wajah Viano.Viano mengetuk meja dengan jari telunjuknya. Suara itu semakin memperkuat suasana yang
"Nesta berhenti? Pasti ini lelucon. Jika benar, maka Viano akan mencetak rekor baru, bukan?"Seorang pria yang mengaku memiliki seorang anak kini mengacak-acak rambutnya. Ia merutuki dirinya sendiri, karena ia bingung bagaimana harus bertindak. Benarkah seorang bos harus meminta maaf kepada bawahannya? Tentu!Ia berbaring, berharap hal ini bisa mengurangi beban pikirannya. Apakah ia bersalah? Jika tidak, ini hanya akan sebentar. Besok pagi ketika ia bangun, ia akan kembali menjadi yang seperti biasa.Ia menutup matanya. Namun, bayangan Nesta tersingkap di pikirannya. Ia berputar-putar di tempat tidur. Tidur terlentang tampaknya kurang baik, coba tidur miring ke kiri. Tidak, sama saja. Viano masih merasa gelisah. Coba tidur miring ke kanan, tetap saja tidak tenang. Membuka mata, ia melihat foto R.Arg! Tidak, jika saja ia menanyakan kabar Nesta, beban pikirannya pasti bertambah.Membatalkan niat tidur, seorang Viano bangkit dan duduk tepat di tepi tempat tidur, menyandarkan punggungnya