Share

Wasiat Turun Ranjang
Wasiat Turun Ranjang
Penulis: Mariah Siti

Kedatangan Dahayu

Sinar mentari mulai menyoroti kaca jendela kamar yang sudah beberapa hari ini ditempati. Rumah lantai dua, paling besar diantara para tetangga yang berada di perumahan, menandakan pemilik rumah bukanlah orang biasa.

"Jam berapa Ini?!" Dahayu mengucek matanya, Ia melirik jam yang berada di dinding kamarnya di lantai dua.

"Sudah hampir jam tujuh! Kenapa si Om gak bangunin aku, sih!" decak Dahayu, ia menepuk keningnya lalu bergegas bangun dari tidurnya. Setelah membereskan tempat tidurnya, Dahayu pergi ke kamar mandi yang masih berada di dalam kamarnya.

Sejak pertama masuk rumah tantenya, Dahayu begitu takjub dengan interiornya. Rumah ini begitu besar dan tertata rapih, sangat jauh bila dibandingkan dengan rumahnya yang berada di kampung.

Dahayu segera menyelesaikan kegiatan di kamar mandi. Kemudian ia keluar kamar untuk menyiapkan makanan. Setelah sampai di dapur, ternyata Omnya suami dari tantenya yang bernama Mughni itu sudah nangkring di depan kompor sedang membuat kopi.

"Om! Aku kira om belum bangun. Kenapa gak bangunin aku!"

"Om kira kamu masih sakit, karena datang bulan. Jadi Om biarkan saja."

Dahayu mengerucutkan bibirnya. Ia teringat dengan dirinya yang semalam begitu kesakitan perutnya karena datang bulan.

"Makan dulu, sana! Sudah Om siapkan di meja makan. Om mau ngasih sarapan dulu untuk tantemu."

Dahayu mengangguk pelan. Memandang punggung tegap omnya yang berlalu dengan membawa bubur serta susu untuk Adik dari Ibunya yang sedang sakit.

'Beruntung banget Tante dapat suami yang pengertian! Disaat sang istri sakit parah, banyak di luar sana para suami yang mencari pelampiasan hasratnya kepada perempuan lain. Namun, beda dengan Om Mughni, ia begitu sabar dan telaten mengurus sang istri yang sudah bertahun-tahun lemah tak berdaya.' Dahayu berbicara dalam hati.

Tak mau membuang waktu, Dahayu langsung mengambil piring kemudian ia isi piring itu dengan berbagai makanan yang di masak oleh Omnya.

"Udah mah ganteng! Kaya, baik, jago masak lagi! Benar-benar beruntung Tante Rahma mempunyai suami. Semoga nanti aku juga punya suami kaya Tante!" Dahayu terkekeh sendiri dengan harapannya.

Setelah makan, Dahayu membereskan piring kotor yang ada di meja, kemudian ia langsung mencucinya karena tidak mau merepotkan asisten yang ada di rumah itu.

"Neng! Tidak usah di bereskan. Nanti sama Bibi saja."

"Tidak apa-apa, Bi! Bibi kerjakan yang lain saja." Asisten paruh baya itu pun mengangguk. Dahayu dengan telaten mencuci piring kotornya. Setelah selesai ia kemudian pergi ke lantai dua untuk mengganti baju seragam di kamarnya.

Dahayu Nareswari namanya. Ia baru berusia 15 tahun. Dan baru saja pindah dari kampungnya untuk menemani Adik dari Ibunya yang sedang sakit. Dahayu pun menuruti ajakan tantenya dengan pindah sekolah karena ia merasa kasihan.

"Om! Tante! Dahayu pergi sekolah."

"Silahkan, Yu!" Mughni menjawab seruan Dahayu dari balik pintu kamarnya.

"Mas, maafin aku." Rahma menghembuskan nafas berat.

"Jangan putus asa! Kamu pasti sembuh. Mas gak akan kemana-mana, kamu harus yakin!"

"Tapi Mas, aku sudah hampir tiga tahun lemah seperti ini. Mas pun juga sudah sabar selama ini. Kalau mau menikah lagi aku izinkan, Mas!"

"Jangan ngada-ngada, Rahma!"

"Mas pasti pengen punya Anak. Sedangkan aku gak--"

"Cukup, Rahma! Jangan terus menyuruhku untuk mencari wanita lain! Aku sudah cukup punya kamu meski kamu sekarang sedang terbaring sakit," Mughni menghela nafas. "Tidak mudah untukku mencari kebahagiaanku sendiri di luar sana! Sedangkan sumber kebahagiaan yang sebenarnya aku biarkan dia menahan rasa sakit."

Rahma menangis sesegukan, ia merasa bersyukur bersuamikan Mughni Radika yang sudah menemaninya selama tujuh tahun berumah tangga.

Mughni yang menyadari Rahma menangis, ia langsung menyimpan mangkuk buburnya ke atas laci. Kemudian mendekap Rahma yang sedang duduk di atas ranjang.

"Kamu harus yakin! Kamu pasti sembuh. Apa kamu tidak kasihan dengan Mas. Apa kamu tidak mau mengurus lagi keperluan Mas! Kamu harus sembuh, ya?"

Rahma masih menangis pelan dipelukan Mughni. Ia takut Mughni berpaling karena ia tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis Mughni.

"Aku takut, Mas! Hiks."

"Mas gak akan berpaling! Kamu harus yakin!"

Rahma mengangguk. Kemudian ia melepaskan pelukan Mughni, lalu menyeka air mata yang masih saja keluar dari matanya.

Mughni pun menyeka air mata Rahma yang sedang berada di fase lemahnya. Mughni merasa hancur ketika sang istri yang dicintainya mengalami kelumpuhan karena sebuah penyakit ganas menimpanya sejak tiga tahun yang lalu.

"Sudah, ya! Jangan nangis, Mas mau buka toko dulu. Terus mau cek pemasukan dari kampung."

Rahma mengangguk. "Hati-hati. Pulangnya jangan terlalu malam."

Mughni mengangguk, kemudian mencium kening Rahma." Kalau ada apa-apa, panggil Bibi. Dahayu juga ada, mungkin pulangnya selepas duhur."

"Iya Mas."

Mughni mengambil jaket serta tas selempang yang biasa ia bawa ke luar rumah. Lalu keluar kamar menuju garasi dan mengendarai mobilnya.

Selama di perjalanan menuju toko sembako yang ia dirikan tiga tahun yang lalu, Mughni terus memikirkan perkataan istrinya yang terus menerus menyuruhnya menikah lagi, Ya! Menikah agar bisa mempunyai Anak untuk meneruskan setiap bisnisnya.

Mughni telah mendirikan toko sembako agar dirinya bisa mengalihkan rasa jenuhnya terhadap sang istri yang sudah tiga tahun terbaring lemah.

Hasrat? Sebagai pria normal, tentu ia punya! Namun bukan suatu kebenaran apabila harus melampiaskannya kepada wanita lain selain istrinya. Mughni masih punya harga diri sebagai pria beristri!

"Huuh." Mughni menghembuskan nafas. Ia berusaha untuk tidak memikirkan perkataan istrinya.

Tidak lama setelah itu, ia sampai di Toko Sembako miliknya, Mughni memarkirkan mobil di pelataran toko yang lumayan luas.

"Sep! Sudah pada datang belum pesanannya?" tanya Mughni kepada Asep yang menjadi karyawannya.

"Sudah, Pak Bos! Saya simpan di gudang." Mughni mengangguk mengerti. Kemudian ia duduk di kursi kasir untuk menghitung pendapatan hari kemarin.

"Mang Asep!"

"Iya Pak Bos! Ada apa?" Asep membungkukkan punggungnya sebagai tanda penghormatan.

"Ini, ada rezeki lebih," Mughni menyodorkan tiga amplop kepada Asep. "Bagikan satu orang satu amplop." Asep mengangguk paham. Tanpa bertanya untuk siapa saja, karena memang karyawan hanya ada dia yang bekerja sebagai pencatat keluar dan masuknya pesanan, Arman si pengangkut barang dan Elva yang melayani pelanggan.

"Nanti akan ada keponakan saya ke sini. Tolong bimbing dia, saya akan pergi dulu ke rumah Mama." Asep mengangguk kembali.

"Ya sudah, kamu boleh bekerja kembali." Sesuai yang di perintahkan oleh sang bos, Asep pun pergi menghampiri karyawan lainnya.

"Ini dari Pak Bos!"

"Alhamdulillah, Rizki Anak-anak!" Arman mengambil amplop itu kemudian ia menyuhunnya di atas kepalanya sejenak, kemudian ia memasukkan kedalam tasnya yang selalu ia bawa.

"Alhamdulillah, dengan uang ini Elva juga bisa nabung buat masa depan yang cerah!"

"Iya, terserah Neng Elva saja! Untuk apapun itu, Mang Asep dukung!"

Elva cengengesan, kemudian ia bertanya. "Tadi Elva denger akan ada keponakan Pak Bos. Benar tidak?" Mang Asep mengangguk.

"Mungkin nanti sepulang sekolah akan ke sini, karena masih kelas tiga SMP, jadi harus di bimbing."

Elva dan Arman mengangguk. "Siap Mang!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status