Share

08. Flashback Awal Pernikahan

Bicara tentang bulan madu, honeymoon atau apa pun itu yang patut dikerjakan sebagai ritual pasangan pengantin baru, menyimpan sebuah trauma yang besar untuk Salsabila. Jika orang yang baru kembali dari bulan madu, pasangan itu akan semakin berbunga-bunga, cinta di antara mereka semakin besar, dan tak terpisahkan.

Tetapi berbeda bagi Salsabila dan Alan. Justru sekembalinya dari yang katanya honeymoon itu, malah semakin membuat hubungan keduanya dingin dan semakin kaku. Sejak saat itu, Salsabila merasa setiap ada orang yang membahas tentang honeymoon, membuat pikirannya akan melanglang buana ke kejadian tiga tahun yang lalu, tepat setelah dua bulan pernikahan keduanya.

Sama seperti pasangan pengantin baru yang lainnya, ibu Rena tentu saja terus memaksa keduanya untuk melangsungkan bulan madu. Meskipun pada saat itu Alan dan Salsabila menolaknya secara terang-terangan, hanya saja tetap tidak bisa jika itu sudah menyangkut perintah dari orang tuanya.

Seketika bayangan masa lalu itu kembali terulang, teringat dan bayang-bayang di dalam kepala Salsabila. Kejadian tiga tahun yang lalu itu, tepat di bulan kedua pernikahan mereka dilangsungkan.

“Makan yang banyak, Salsa.” Ibu Rena—ibunda Alan—begitu bersemangat mengambilkan nasi serta lauk untuk menantunya, ia berdiri di dekat Salsabila yang sudah tampak merasa tak enak.

Selalu seperti ini, setiap mereka berkunjung ke rumah orang tua Alan di Surabaya, sudah pasti dia akan diperlakukan seperti ini. Bak seperti anak kandung sendiri, dan hal itu yang terkadang membuat Salsabila merasa bersalah pada ibu Rena dan Ayah Dirgantara karena telah membohongi keduanya perihal pernikahan mereka.

“Makasih banyak, Ma.” Perempuan keibuan itu tersenyum hangat, di balik meja makan hanya ada empat orang manusia. Adik Alan yaitu Alexa masih merintis kariernya di Jepang dan jarang pulang. Sebenarnya Dirgantara dan Rena selalu mendesak Alan agar ia dan Salsabila untuk sementara ini tinggal di rumah mereka, selagi Alan tengah mencari-cari rumah daripada tinggal di apartemen.

Hanya saja Alan tetap keukeuh agar ia dan Salsabila tinggal di apartemen saja di Jakarta untuk sementara waktu. Lagi pula jika Alan mengikuti keinginan orang tuanya, bukankah lambat laung hubungan tak harmonis antara ia dan Salsabila bisa cepat terbongkar? Dan Alan akan sulit menemui Meira lagi.

“Salsa, Alan perlakukan kamu dengan baik, bukan?” Kali ini Dirgantara yang berbicara, sang istri kini beralih mengisi piring milik Alan sebelum melangkah hampir kursi sendiri—tepat di sebelah suaminya.

“Iya, kok, Pa.” Salsabila melirik ke arah Alan yang sibuk memakan masakan ibunya, ia terlihat tak acuh.

“Kalau Alan bikin masalah, langsung saja bilang ke Papa, ya. Dia memang lumayan susah buat diatur,” tutur Dirgantara lagi dengan nada penuh ketegasan.

“Coba saja Salsa mau di sini, pasti kita bisa pergi bersama-sama, sepi banget cuma tinggal berdua, yang lainnya hanya pengurus rumah,” keluh ibu Rena, ia tatap Salsabila dan putranya bergantian.

“Maaf, Ma. Saat ini perusahaan lagi sibuk-sibuknya, Alan juga tengah ada kerja sama yang membuatnya benar-benar sibuk. Jadi, maaf kalau kami jarang datang ke sini dan membuat Mama kesepian.”

Rena mengangguk-angguk. Tahu bahwa anak dan menantunya itu punya kesibukan masing-masing di Jakarta membuatnya tak bisa berkata-kata lagi. “Oh iya, bagaimana progres rumah kamu, Lan? Apakah sudah menemukan yang cocok?”

Alan yang sejak tadi hanya tampak acuh tak acuh segera mengangkat kepalanya dan menatap ibunya. “Sudah, Ma. Alan sudah menemukan sebuah rumah yang tempatnya strategis buat kami berdua. Harga dan lokasinya juga sudah cocok dan Alan menyukainya.”

Tampak ibu Rena mengerutkan keningnya. “Apa Salsa juga menyukainya? Ini bukan tentang kamu saja, Lan. Tetapi saat ini kau akan tinggal bersama, jadi pendapat dari Salsa juga berperan sangat penting.”

Salsabila yang mendengar namanya disebut-sebut kembali menimpali, “Iya, Ma. Aku juga suka dengan pilihan rumah yang dikatakan oleh Mas Alan. Tempatnya bagus dan aku menyukainya, Ma.”

Alan menatapnya dengan sengit, dan Salsabila hanya tersenyum maklum. Bagaimana tidak, ia berbohong kali ini. Alan sama sekali belum menunjukkan rumah yang katanya akan mereka tinggali setelah ini, hanya saja tidak mungkin Salsabila tidak berbohong dan membawa masalah untuk Alan. Jadi, Salsabila lebih baik berbohong saja.

“Jadi kapan kalian rencana akan pindah?” tanya Dirgantara ikut penasaran tentang rumah anaknya.

Raut wajah Alan yang tadinya kesal, kini kembali mengubahnya dan tersenyum ke arah ayahnya. “Kemungkinan bulan depan, Pa. Masih ada yang perlu direnovasi dan barang-barangnya belum lengkap. Aku dan Salsa akan mengisinya terlebih dahulu, dan pindah setelah benar-benar siap untuk ditinggali.”

“Baguslah. Kalian harus secepatnya pindah, lagian sebentar lagi pasti akan ada keluarga baru di antara kalian. Tidak mungkin kan, kamu sebagai pemimpin rumah tangga menyediakan tempat yang sempit untuk keluargamu.” Ibu Rena kembali berkata dengan penuh arti kepada Alan.

Sedangkan pria itu yang sama sekali tidak memahami perkataan ibunya, mengangkat alis dan bertanya dengan polosnya. “Keluarga baru? Maksudnya keluarga baru apa, Ma? Apa akan ada yang akan tinggal bersama kami?”

Rena seketika melirik ke arah suaminya dan mendengkus kasar. “Maksud mama anak, Lan. Pasangan suami istri itu harus segera memikirkan tentang anak, tidak mungkin kalian tidak memikirkan seorang keturunan? Kalian tidak berniat menunda, bukan?”

Deg!

Astaga ... jadi keluarga baru yang ibu Rena bicarakan itu adalah seorang anak? Anaknya bersama Alan? Oh Tuhan! Bagaimana mungkin? Bahkan dua bulan pernikahan mereka ini Alan sama sekali belum pernah menyentuhnya dalam artian yang sebenarnya. Bahkan kamar keduanya berpisah, jadi bagaimana mungkin proses menghasilkan keluarga baru itu akan terjadi di antara mereka?

“T—tidak, Ma. Kami tidak menunda, iyakan, Sa?” Alan mengedik penuh arti ke arahnya.

“I—iya, Ma.”

“Kalau begitu, kenapa kalian tidak berbulan madu saja? Kata teman-temanku, kebanyakan anak mereka yang kembali dari bulan madu akan langsung tokcer, akan langsung jadi.”

Seketika Alan dan Salsabila tersedak secara bersamaan, mereka segera meneguk air putih yang tersedia. Pertanyaan ibu Rena benar-benar memiliki efek mengejutkan yang luar biasa. Honeymoon? Satu kata yang tak pernah terlintas di kepalanya, dan ia yakin Alan juga rasakan hal yang sama.

“Kalian ini kompak banget, ya. Kalau kalian tidak berangkat honeymoon sekarang, kapan lagi? Ini sudah dua bulan kalian menikah, lo. Apa mau Mama nanti kalian tinggal di apartemen?” Dirgantara menatap anak-anaknya, andai saja ia tahu kondisi asli kehidupan pernikahan Alan dan Salsabila, mungkinkah Dirgantara akan menyarankan hal yang sama?

“Iya, kalian mau ya kalau Mama tinggal di apartemen? Ini Mama serius kasih ancaman, kami mau kalian lekas pergi berbulan madu,” imbuh ibu Rena, kedua tangannya sibuk mengisi piringnya dengan makanan.

“Tetapi, aku sama Salsa itu sibuk urusan kerja. Jadi, kita belum bisa kalau harus—“

“Papa sudah siapkan tiketnya, soal akomodasi buat perjalanan kalian berdua juga sudah clear semua. Kalian tinggal berangkat saja. Masalah pekerjaan, itu hal yang gampang. Jadi, kalian Cuma tinggal berkemas dan berangkat ke Barcelona,” sela Dirgantara membuat Alan dan Salsabila mendelik tak percaya.

“Apa? Barcelona?” sahut Salsabila dan Alan secara bersamaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status