“Ok, mungkin kamu belum laper. Gimana kalo kamu mandi dulu?”Arka menggeleng cepat. Ia tahu, perlahan-lahan orang seperti Randy akan meledak marah dan bisa kalap apabila keinginannya tidak dituruti. Namun ia benar-benar tidak bisa mengikuti kemauan Randy, baik untuk makan maupun untuk mandi. Semuanya terasa berbahaya untuknya.“Aku nggak akan nyakitin kamu. Nggak usah takut.”Arka hampir kelepasan mendengkus karena ucapan Randy. Tidak akan menyakiti? Lalu apa yang baru saja dilakukan lelaki itu padanya? Menamparnya hingga kini pipinya berkedut nyeri dan sudut bibirnya robek.“Kenapa kamu lakuin ini, Ran? Kamu kan saudara Bang Caraka?” tanya Arka pelan, berusaha membuat Randy tidak tersinggung.“Tanya ke eyangmu, kenapa dia milih Caraka buat jadi suamimu? Apa levelku di bawah dia?”Ingin rasanya Arka mengangguk cepat atas pertanyaan itu.“Tapi kenapa kamu baru nemuin aku sekarang kalau kamu bener-bener berniat buat gantiin posisi Bang Caraka sebagai suamiku? Padahal kamu punya waktu be
Langkah kaki Arga beserta dua orang lain yang memasuki ruang keluarga rumah Ayu membuat Caraka berdiri."Gimana, Mas?" tanya Caraka langsung to the point saat melihat kakak iparnya datang.Arga kemudian duduk, menggusah napas kasar karena terlalu khawatir dengan keadaan adiknya. Sementara dua orang yang dibawa Arga tengah mengumpulkan sidik jari dan barang bukti lain di area ruang tamu, kamar Oshi, dan tentu saja dapur."Aku udah lapor polisi. Polisi udah mulai gerak. Tapi aku tetep nyuruh orangku buat sama-sama gerak. Aku nggak peduli, yang penting Arka ketemu."Tak berselang lama, kedua orang tua Arka juga datang dengan raut wajah yang membuat Caraka merasa bersalah karena tidak bisa menjaga anak perempuan kesayangan mereka.Ditambah lagi mama mertuanya yang berkali-kali terisak hingga hanya bisa bersandar pada suaminya karena kelelahan menangis.Caraka sudah menceritakan kejadian itu via telepon kepada kakak ipar dan mertuanya, hingga kini hanya ada keheningan di dalam ruangan itu.
"Wah, Raka punya istri cantik kok nggak dikenalin ke keluarga." Randy menarik kursi dan bergabung bersama keduanya setelah berkenalan dengan Arka."Bang Raka bilang sih nunggu bulan depan, pas ada acara keluarga di rumah Tante Saswita.""Oooh." Randy mengangguk sambil beberapa kali melirik Arka yang tengah menikmati Chicken Cordon Bleu di hadapannya—menu yang sama seperti yang ia makan saat kencan pertamanya dengan Caraka. "Kalian berdua akrab ya sampe jalan-jalan bareng."Oshi mengabaikan ucapan Randy, ia memilih menyuapkan kwetiau goreng sapi ke mulutnya, sementara Arka hanya tersenyum simpul."Kamu sepupunya Bang Caraka? Aku manggilnya gimana?" tanya Arka."Sepupu kedua. Maksudnya, unggang kami kakak adik.""Unggang?""Unggang itu sebutan kakek dalam bahasa Ogan. Raka belum pernah cerita?"Arka tersenyum. Kapan Caraka sempat cerita kalau kehidupan mereka naik turun dan berkelok layaknya Kelok Sembilan yang terkenal di Payakumbuh."Trus aku harus manggil apa ke kamu?""Panggil Randy
“Arka di mana?” tanya Caraka begitu sambungan teleponnya dijawab.Lelaki di seberang sambungan telepon yang bisa menangkap kekhawatiran dari nada bicara Caraka langsung berusaha menenangkan. “Di rumah ibu Pak Caraka. Sejak siang, sampai sekarang masih di sana.”“Di Bogor? Dia nganter adik saya sampe Bogor?”“Iya, Pak.”Caraka sedikit lega walau tetap saja dahinya berkerut karena merasakan keanehan. Kenapa Arka tidak mengatakan kalau ia akan mengantar Oshi sampai Bogor? Bukankah tadi ia meminta Arka untuk mengantar Oshi sampai stasiun terdekat dari lokasi mereka membeli ponsel dan kebutuhan Oshi lainnya? Dan kenapa sekarang malah ponsel Arka tidak aktif? Apa Arka takut dia akan marah?“Dilihat terus ya, tolong kasih kabar ke saya kalau Arka pulang dari rumah ibu saya.”“Baik, Pak.”Caraka yang masih merasa tidak tenang langsung mengubah tujuannya. Semula ia melajukan mobilnya menuju Jakarta, demi bisa makan malam bersama dengan Arka yang seharian nyaris diabaikannya karena masalah long
“Abang, aku bawa mobil sendiri ya, please! Nanti pulangnya aku langsung ke rumah Papa. Ya?”Caraka berpikir sesaat, ia memang harus site visit ke daerah Serpong karena ada sedikit permasalahan yang tidak bisa diselesaikan manager proyek.“Tenang aja, Bang. Kan kata Abang ada orang suruhan yang disuruh jagain aku dari jauh. Nanti aku sering-sering ngasih kabar ke Abang. Hpku stand by setiap detik untuk Abang,” rayu Arka sambil menggoyang-goyangkan tangan suaminya dan menunjukkan senyumnya, berharap Caraka memberikannya izin untuk sesekali membawa mobil sendiri menuju sekolah.“Kalo kamu nggak bisa dihubungi, Abang kasih hukuman ya!” ancam Caraka.“Iya, Bang.”Arka segera melajukan mobilnya setelah menghabiskan sepanjang pagi untuk merayu Caraka yang akhirnya mengizinkannya untuk berangkat sendiri ke sekolah.Bukannya Arka tidak takut, tapi mengingat ada orang suruhan keluarganya yang menjaganya dari jauh, ia pun bisa sedikit tenang. Lagipula berdasarkan cerita dari suaminya, orang yang
"Iya, Mas. Seharian ini bakal sama Abang kok.”“…”“Bisa tenang aja nggak, Mas? Udah ah, Mas Arga katanya mau ketemu WO, sana. Ntar Kak Lei ngambek loh kalo Mas telat.”“…”“Iya. Salam buat Kak Lei.”“Mas Arga?” tanya Caraka ketika melihat Arka sudah meletakkan ponselnya.“Iya.”“Ngomong apa?”“Sebelas-dua belas kayak omongan Abang. Hati-hati, nggak usah khawatir. Gitu pokoknya. Heran, kalian tuh kompak banget kalo lagi akur, kalo lagi pada meledak emosinya, gampang banget tonjok-tonjokan—”Caraka menarik Arka—yang masih wira-wiri—untuk duduk di pangkuannya. “Jangan ngomel terus. Ini karena kita khawatir sama kamu loh.”“Iya, tau.”“Udah siap-siapnya? Kalo udah siap yang mau dibawa, kita turun bawa barangnya sekalian sarapan, jadi nanti kita nggak perlu balik ke kamar lagi.”“Udah kok. Itu aja. Kan katanya nanti disediain wetsuit di sana.”Keduanya lantas keluar kamar dan tak sengaja bertemu Sydney yang berjalan di belakang seorang lelaki asing.Tanpa perlu diperkenalkan pun, Arka yak