“Terkadang, kesendirian itu muncul karena kamu yang membuat benteng terlalu tinggi untuk digapai orang lain, Nak.”
“Maafkan Arum.”
“Sekarang rencana kamu apa? Memperbaiki, meninggalkan, atau membiarkan keadaan berulang di masa depan?”
Arum tercenung. Dia menimbang-nimbang: apa yang bisa diperbaiki; bisakah dia meninggalkan; atau sanggupkah jika sesuatu yang dihindarinya terulang kembali.
Pagi ini Arum sengaja bolos ke restoran. Untuk pertama kalinya setelah bertemu kembali dengan Boy setahun yang lalu, dia mengunjungi Bu Wanti. Sejak kelulusan sekolah waktu itu, Boy banyak menghabiskan waktu dengan berkeliling kota demi pekerjaannya, bahkan beberapa kali melancong ke luar negeri. Sementara Bu Wanti yang lebih sering ditinggal sendiri memutuskan pulang ke kampung kelahirannya hingga rumahnya dikontrakkan selama beberapa tahun.
Kesendirian Arum semakin terasa sepeninggal ibu angkatnya, Bu Asiyah. Tidak ada lagi rumah kedua tempatnya mencari kehangatan keluarga. Untuk beberapa saat dia jatuh, terpuruk sendirian, hingga merasa trauma dan menyalahkan takdir—takdir yang selalu menuntutnya berjalan sendirian. Padahal, semenjak mengenal Boy dan mamanya, dia mendapatkan kemajuan dalam bidang akademiknya. Namun, semua perjuangannya dan perjuangan mereka seolah-olah lenyap karena keegoisannya, membiarkan kedunguan kembali menguasainya.
“Ma.” Arum memanggil Bu Wanti dengan sebutan yang sama seperti Boy lakukan. “Apa Arum masih bisa memperbaiki?”
Bu Wanti tersenyum. Wanita berpenampilan elegan dan selalu bersikap tenang itu mendaratkan elusan di puncak kepala Arum. “Mama tanya dulu, demi apa kamu ingin memperbaiki?”
Itu pertanyaan yang mengherankan, mungkin juga dasar hati Arum telah salah memilih alasan. Demi apa lagi jika bukan untuk kelangsungan hubungannya dengan Diaz. Arum merasa harus bisa menjadi pintar dan berkelas seperti kemauan Bu Andini. Dia harus berjuang untuk mendapatkan restu orang tua Diaz. Dia tidak mau kehilangan Diaz. Akan tetapi, Arum merasa malu untuk menjelaskannya kepada Bu Wanti.
“Malam ini tidur di sini, ya,” pinta Bu Wanti.
Arum mengangguk, merasa beruntung karena tidak perlu menjawab lebih detil apalagi menjelaskan tentang Diaz. Meski begitu, dia yakin Bu Wanti tahu segala kisahnya dari Boy. Anak mama itu memang tidak bisa menjaga rahasia. Awas saja kalau dia pulang nanti sore, akan kubikin perhitungan, batin Arum.
🍁🍁🍁
Salah satu keuntungan tidak memiliki ponsel adalah kamu tidak segundah orang kebanyakan saat patah hati. Tidak perlu menatap berlama-lama wajah orang yang disayangi di layar ponsel, tidak harus mendengar dering panggilannya yang dipastikan ingin meminta maaf, bahkan tidak harus tergoyahkan dengan pesan-pesan bualan saat kamu ingin sejenak menepi.
Sudah dua hari ini Arum menitipkan pesan untuk Mila sang administrasi restoran lewat Boy, agar memegang kendali bisnis kulinernya. Arum pun meminta Boy mengunjungi panti sepulang kerja untuk memastikan kondisi di sana. Meski awalnya Boy mengeluh lelah karena jarak restoran dan panti cukup jauh, pada akhirnya dia berangkat juga.
“Humaira menanyakan kapan kamu pulang. Mbak Windri dan yang lain juga berencana piknik tipis-tipis saat anak-anak liburan semester nanti. Kamu mau ikut mereka?”
“Hmm, boleh. Asal kamu sama Mila bisa atasi restoran saat liburan. Biasanya jumlah pengunjung naik dua kali lipat.”
“Kenapa aku? Aku malah ingin ikut liburan!” sergah Boy.
“Mana bisa? Bagaimanapun kamu karyawanku, ingat itu! Jangan makan gaji buta dengan alasan nebeng liburan dengan sahabatmu.” Arum mencibir.
“Buka saja lowongan cookhelper, rekrut anak magang untuk posisi waitress, beres! Lagi pula Humaira selalu bilang kalau aku menyenangkan untuk diajak berlibur.” Boy terkikik.
Mereka duduk di teras malam ini. Dua cangkir kopi hitam tanpa ampas ditambah krimer mengingatkan Arum akan masa-masa SMA. Di sanalah dulu dia berjuang menghentikan disleksianya setelah dibuat menangis dua-tiga bulan awal sekolah. Mulanya Arum pikir, Boy sama seperti teman-teman SD dan SMP-nya, hanya bisa membuatnya menangis dan semakin bodoh. Nyatanya semua tuduhan itu terbantahkan manakala Boy mengajaknya ke rumah ini.
“Orang bodoh itu banyak. Orang buta juga ada di mana-mana. Tapi bukan berarti mereka hanya bisa menangis dan menyerah. Setidaknya orang bodoh dan buta itu memiliki otak. Kamu hanya perlu memperbaiki jalan otak kamu!” kata Boy tegas kala itu.
Detik ini Arum memandang Boy dengan perasaan rindu. Rindu hardikannya yang keras saat Arum mulai lelah berlari. Seandainya waktu bisa diputar dan Arum bisa berdiri tegak sepeninggal Bu Asiyah—walau tanpa kehadiran Boy dan mamanya, tentu saat ini Arum bisa sedikit sombong saat duduk di samping pria itu.
“Kamu nggak berubah, Boy. Masih menyebalkan seperti dulu,” ucap Arum tak sadar. Binar matanya berpadu dengan seterbit senyum lebar.
Boy terkesiap, gelagapan. Merasa diperhatikan terlalu lama, dia gelisah. Namun, hatinya tersenyum. Ada kembang api yang meletup-letup di kedalamannya. Dia berdeham beberapa kali, menstabilkan perasaan yang mulai terbawa suasana. Untung saja mamanya sudah tidur setelah kelelahan mengajari Arum membaca dari awal. Kalau tidak, yakinlah Boy sudah mendapat celetukan elegan darinya.
Setelah menarik keluarkan napas panjang, Boy berusaha mengalihkan pembicaraan. “Diaz datang ke resto. Katanya, dia juga mencarimu di rumah kontrakan. Mungkin, malam ini pun dia datang ke panti. Kapan kamu menemuinya?”
Mendengar nama Diaz dari bibir Boy itu seolah-olah mengalahkan kegalauan dengan menatap wajah kekasih di layar ponsel. Kerinduan membuka pintu hatinya. Udara kosong di dalamnya seketika tersentuh rasa yang benar-benar rasa: gelora. Gejolak cinta, butuh, ingin, harapan ... semua yang berusaha Arum tutupi selama dua hari ini, menggelegak hanya karena telinganya menangkap nama Diaz.
“Jangan selalu menyikapi hal dengan bersembunyi, Rum. Karena sampai kapan pun, kamu tidak akan berani menerima kenyataan.”
Setitik air mata itu jatuh, tepat membasahi bibir Arum yang bergetar. Bayangan pria yang sering mengacak rambutnya beberapa bulan ini membuat ngilu. Aku benar-benar rindu senyuman, suara, gurauan, juga rayuan Diaz. Sungguh, berpisah bukan karena kehendak itu menyakitkan rasanya.
Boy meletakkan ponselnya di antara dua cangkir kopi. Benda pipih itu sontak mengalihkan perhatian Arum.
“Aku yakin kamu tidak terlalu sulit untuk membaca nama orang yang kamu cintai di dalam kontak telepon. Dia menunggumu bicara.”
Arum tidak berani menyentuh ponsel Boy. Bukan karena dia takut salah membaca, melainkan takut tak bisa menahan diri saat mendengar suara Diaz nantinya. Haruskah dia bicara lebih dulu? Kenapa bukan Diaz saja yang berusaha lebih? Bukankah pria itu bilang sangat mencintainya? Apa dia tak berhasil bicara dengan Bu Andini?
“Cinta itu ... bilang! Rindu itu ... bilang! Karena hanya orang bodoh yang bisa menyimpan itu!” kata Boy kasar, seperti sedang mengatakan itu untuk dirinya sendiri. Sebab, siapa yang tahu kalau hatinya sedang mengekang diri untuk meluapkan sesuatu? Rasa yang selalu tertunda ....
Arum berlari menjauh. Merasa sangat kesal karena Boy mempermainkan perasaannya selama ini. Apa yang ada di pikiran Arum bahkan sudah sangat melebar ke mana-mana. Bagaimana mungkin Boy sengaja membuatnya berpikir yang tidak-tidak? Menyebalkan!“Rum, dengar dulu!” Akhirnya Boy berhasil meraih tangan perempuan itu.Arum tidak mau menatap Boy. Air matanya sudah terbendung, mungkin sebentar lagi akan meluap ke mana-mana.“Bukan itu rahasia terbesarnya!”“Bahkan kamu mau bilang ada rahasia yang lebih besar?” Arum terisak pelan.“Aku ... oh, aku ....”Arum kembali berjalan meninggalkan Boy. Dia tak lagi siap dengan rahasia lainnya tentang pria itu. Dia sudah cukup merasa bersedih karena pernah menahan perasaannya sendiri hanya karena berpikiran yang tidak-tidak tentang Neeta—yang ternyata sepupu Boy. Ini tidak adil baginya, jika ada satu perempuan lagi yang akan dikenalkan sebagai calon istri Bo
“Mau jalan-jalan denganku hari ini?”“Bukankah kita sudah jalan-jalan sepanjang trotoar ini?” sergah Arum.Boy berdesis. “Maksudku, kita jalan ke suatu tempat untuk memulihkan perasaanmu, Arumanis Karamel!”Seterbit senyum menghias wajah Arum. Sejak pertemuan dengan Diaz di kafe tadi, rasa-rasnaya baru detik itu dia bisa tersenyum. Baiklah. Habis sudah acara bersedih hati. Semakin berdamai dengan hati sendiri, maka akan semakin mudah untuk melupakan segala luka.“Berapa lama kamu tidak memanggilku seperti itu?” tanya Arum.Boy tampak berpikir keras. Tak disangka, dia benar-benar menghitung angka di kalender sejak pancake Arum gosong saat itu.“Sebulan, delapan hari, lebih sejam.”“Wah, hebat! Sepenting itu kamu mengingat kapan terakhir kali memanggilku Arumanis!” Arum tergelak sembari bertepuk tangan.“Jadi, mau ikut jalan-jalan, nggak?”
Diaz percaya satu hal, bahwa sebuah pengorbanan dalam urusan cinta itu datang dari hati. Seperti sebuah perjuangan yang tidak bisa dilakukan sendiri, maka pengorbanan itu pun tidak bisa dilakukannya sendiri. Hatinya dan hati Arum akan berusaha keras untuk itu.Dia berdiri di balkon kamar dan memandang sendu ke halaman rumahnya. Di gazebo itu mama dan papanya bercanda dengan mesra. Entah itu perasaan Diaz saja atau bagaimana, semenjak Bu Andini dirawat di rumah sakit, Pak Jaya sedikit banyak berubah. Pria yang dulu tidak terlalu peduli urusan keluarga dan membiarkan istrinya mengatur anak-anak sesuai kedisiplinannya, kini tampak perhatian. Mereka berdua bahkan saling mencium pipi di antara gelak tawa.Setelah Arum melepaskannya malam itu, Diaz yang bergejolak ingin segera memaki Bu Andini di ruang rawatnya. Dia ingin meminta keadilan dan pengertian, bahwa cintanya layak untuk diperjuangkan. Namun begitu dia membuka pintu ruangan itu, Mea menghalaunya.“Jang
“Dalam dua hari ini aku belajar memaafkan banyak hal. Bu Andini, Mbah Uti, terlebih diriku sendiri. Bagaimana denganmu, Boy?”Boy menikmati deru kereta api yang membawanya kembali ke Jakarta. Namun, pikirannya masih tertinggal di surat Mbah Uti yang belum selesai terbacakan untuk Arum. Arum memang membawa surat itu dalam tasnya, tetapi sepertinya dia mulai lupa telah berjanji untuk mengejanya sendiri.“Boy! Kamu nggak dengar aku bicara apa? Astaga, sejak kapan seorang Boy melamun? Oh, ya, ampun, Boy!”“Apa?”“Apa aku sudah keterlaluan mengambil jatah malam minggumu dengan pacarmu?”Dasar tidak peka, batin Boy.“Hanya anak muda yang pergi malam mingguan. Kekanakan!” ejek Boy.“Baiklah, Boy. Kurasa ini waktu yang tepat untuk mengungkap rahasia. Katakan, apa sampai sekarang kamu masih berpacaran dengannya? Apa Mama tahu dia calon istrimu?”Boy tertawa kecil, d
Surat itu berisi beberapa lembar kertas dengan tulisan penuh di setiap lembar usangnya. Pena yang digunakan juga memendarkan warna hitam kekuningan. Khas orang tua zaman dahulu, tulisan tegak bersambung dengan ejaan lama.Baru membuka amplop bertuliskan “Untuk Arum” saja, matanya sudah berkunang-kunang. Huruf-huruf itu bertumpuk satu sama lain, kemudian memunculkan siluet-siluet aneh yang membuat kepalanya pusing. Keringat dinginnya bercucuran di tengkuk dan pelipis. Dia lupa kalau kemampuan membacanya menurun setelah meninggalnya Bu Asiyah.“Aku akan membacakannya untukmu. Tapi hanya satu-dua lembar. Sisanya, kamu harus membacanya sendiri.”Arum tampak lega saat Boy tidak jadi pergi dan memegangi badannya yang hampir roboh. Napas Arum yang tersengal berangsur normal. Dia sungguh berterima kasih karena Boy tidak meninggalkannya dalam keadaan seperti itu sendirian.“Untuk Arum. Cucu Mbah Uti yang tersayang.” Boy mulai me
Setelah beralih kereta dari Semarang ke Jakarta, Arum mencari angkudes tujuan Pasar Kalinyamatan. Bertahun-tahun meninggalkan tanah kelahirannya, banyak yang telah berubah. Kemajuan terlihat di sana-sini. Pembangunan terlihat pesat. Dia agak dibuat bingung fengan jalanan yang tidak sama lagi seperti ketika dia pergi meninggalkan kota itu.“Setelah ini, aku membayangkan kita akan naik delman! Aku belum pernah mencobanya! Kurasa menjadi tour guidelokal jauh lebih menarik daripada di luar!” kata Boy memecah kesunyian.“Ya, kita akan naik delman. Biar kamu bisa belajar dari seekor kuda, bagaimana cara menutup mata dari hal-hal tidak penting.”“Aku terbiasa mengurusi masalah yang penting saja.”“Oh, ya? Berarti aku termasuk salah satu yang penting itu, Boy?”“Apa?”“Tidak apa. Lupakan. Sudah waktunya kita turun.” Arum tampak menyembunyikan rasa malunya.Arum dan