Share

Part 5

Kami berdua kembali ke rumah setelah mengunjungi makam ayah. Ada perasaan lega setelahnya.

"Bagaimana? Sudah lebih baik?" tanya Kak Zao, menghampiriku.

Kubaringkan diriku di sofa ruang tengah, tidak ada perasaan tak nyaman atau malu saat Kak Zao melihat tingkahku. Cuek saja, tidak perlu menganggapnya benar-benar ada, karena dia sendiri juga begitu.

"Baik apanya? Aku masih kesal, kenapa Kak Zao bilang kalau pria itu adalah pria yang baik?" protesku, tidak setuju dengan kesimpulan yang diambil Kak Zao saat di rumah nenek tadi.

Kak Zao langsung membawaku ke rumah nenek setelah menemui pria di restoran itu. Karena nenek sudah meminta Kak Zao untuk memberikan pendapatnya, sudah pasti langsung dilaporkan segera.

"Kenapa?" tanyanya.

"Kenapa Kak Zao bilang? Harusnya jawab saja dia bukan pria yang baik," kataku, merubah posisi menjadi duduk dan menyilangkan tangan di depan dada.

"Aku selalu berkata jujur. Lagipula, pria itu adalah cucu dari salah satu teman Nyonya Chen, tidak mungkin beliau tidak mengenalnya," jelas Kak Zao.

"Kalau sudah kenal, kenapa minta Kak Zao untuk memberikan penilaian?" tanyaku.

Kak Zao tampak menarik napas dan membenarkan posisi duduknya.

"Xiaoyi, Nyonya Chen adalah orang yang baik. Aku tau karena itulah penilaianku, tapi berbeda denganmu. 

Bagimu, Nyonya Chen selalu galak dan jahat, bukan? Karena itulah penilaianmu selama ini. Sama seperti pria itu, setiap penilaian orang berbeda-beda. Itu sebabnya Nyonya Chen memintaku menilainya," jelas Kak Zao panjang lebar.

"Oke, anggap saja begitu. Lalu?" kataku menuntut jawaban.

"Jalani saja dulu, kalian sudah berkenalan. Lakukan tahap demi tahap, mungkin saja dia jodohmu," simpul Kak Zao.

"Mungkin? Jadi aku harus menikahi pria yang kemungkinan menjadi jodohku, begitu? Bagaimana kalau bukan? Apa yang harus kulakukan, bercerai atau tetap memaksakan?" debatku, memojokkan Kak Zao dengan semua anggapan.

Kak Zao terlihat enggan membalas pertanyaanku, dia beranjak dari sofa lalu berjalan menuju dapur.

Tidak peduli apa yang ingin dia lakukan, aku berjalan kembali ke kamar untuk mengganti pakaian.

Setengah jam kemudian, aku turun lalu meminta supir untuk mengantarku ke suatu tempat. Tidak kulihat lagi sosok Kak Zao di setiap sudut rumah, mungkin dia sudah pergi.

Duduk di kursi penumpang, entah mengapa pernyataan pria itu kembali terbayang.

"Kamu lucu, aku suka"

Hanya beberapa kata, tapi kenapa selalu terngiang? Tidak mungkin aku menyukai pria itu hanya karena beberapa kata.

Tidak mungkin, seorang Liu Fannyi bisa menyukai pria hanya karena hal sepele? Tidak ada dalam sejarah. Bukankah rasa suka dimulai dari pandangan pertama?

Menurut buku, film dan pendapat orang, banyak yang mengatakan hal tersebut. Lalu bagaimana denganku?

Cinta pada pandangan pertama, dari mata turun ke hati. Jika kau memamg suka, katakan isi hati. Seperti itukah?

"Nona Liu, kita sudah sampai," ucap sang supir, sebelum akhirnya membukakan pintu untukku.

Di depanku, berdiri sebuah gedung yang sangat besar dan megah. Annhua Group, itulah judul yang tertulis besar di atas sana.

Kulangkahkan kaki, memasuki pintu utama. Semua orang segera memberi hormat padaku. Bukan karena aku sering datang ke perusahaan, melainkan karena fotoku yang tersebar sebagai calon penerus Grup Annhua di media.

Setelah kepergian ayah, semua dewan direksi tentu mengkhawatirkan perusahaan. Namun, dengan adanya nenek sebagai pimpinan, juga karena posisi Kak Zao sebagai wakil ayah di perusahaan, tidak ada lagi yang perlu mereka khawatirkan.

Sebelumnya, ayah memang pernah mengatakan kalau dia akan memberikan posisi Direktur Utama kepadaku di depan para dewan. Namun, tidak ada yang menduga jika ayah akan pergi begitu cepat.

"Bukankah itu Nona muda?" bisik salah satu karyawan tertangkap indera.

"Nona muda? Memangnya dia siapa?"

"Memangnya kamu tidak pernah melihat berita media? Dia itu calon penerus Grup Annhua, Nona Liu Fannyi. Putri tunggal dari Tuan Liu Fanzi, Direktur Utama di perusahaan ini." Kedua karyawan itu langsung terdiam saat Kak Zao berjalan menghampiriku.

Memang benar, Kak Zao sangat disegani di dalam perusahaan. Bahkan setelah kepergian ayah, para karyawan masih menghormatinya seperti dulu.

"Direktur Zhang," sapa para karyawan, menunduk hormat pada Kak Zao.

"Xiaoyi," panggilnya.

"Kak Zao," sapaku sambil menunjukkan senyum.

"Kita pergi ke ruanganku," ajak Kak Zao.

Berjalan melewati para karyawan, mereka tampak terpesona. Senyum ramah sengaja kuberikan, karena itulah seharusnya.

"Wah, Nona muda Liu memang cantik. Aslinya bahkan jauh lebih cantik," Masih tertangkap indera, saat mereka membicarakan kecantikanku di belakang.

Kulihat Kak Zao menghentikan langkah sejenak, melihat ke belakang sebelum akhirnya berjalan kembali. Entah apa yang dia lihat, tapi setelah itu tidak ada lagi pembicaraan yang terdengar di belakang.

"Kak Zao ini, salah mereka apa coba? Memang benar kan kalau aku itu cantik?" batinku, mulai kesal pada sikap Kak Zao.

..

"Duduk," titah Kak Zao saat kami sampai di ruangannya.

Aku menurut saja, duduk di sofa tepat berhadapan dengan Kak Zao.

"Ada apa?" tanyanya, dingin tanpa ekspresi.

"Ada apa lagi. Sebagai penerus Grup Annhua, sudah seharusnya aku datang ke perusahaan," kataku.

"Kamu sudah setuju?" tanyanya lagi.

"Setuju soal apa?" tanyaku balik.

"Menikahi laki-laki pilihan Nyonya Chen," terang Kak Zao.

"Aku belum setuju, tapi akan kucoba untuk mengenalnya lebih dulu," tegasku.

"Oke." Hanya itu tanggapan Kak Zao.

Apa ini? Memangnya tidak ada yang ingin dia tanyakan? Misalnya, kenapa aku tiba-tiba setuju untuk mengenal pria itu lebih jauh, atau yang lainnya mungkin?

Benar-benar tidak ada kata lagi yang keluar dari bibir Kak Zao. Diam, tertutup rapat. Dia hanya fokus pada laptop yang ada di hadapannya.

"Kak Zao," panggilku, berdiri dari duduk tanpa berniat mendekatinya.

Tidak ada jawaban, hanya suara tombol laptop yang ditekan begitu cepat. Sunyi, kesal sekali rasanya.

"Aku ingin tanya, apa maksud Kak Zao saat bilang mau membatalkan acara pernikahan kita waktu itu?" tanyaku langsung.

"Tidak ada maksud," jawabnya.

Astaga, ini orang. Tidak bisa serius apa jawabnya.

"Katakan, tidak perlu menggerutu dalam hati," tebak Kak Zao, lagi-lagi tepat sasaran.

"Kenapa begitu? Tidak mungkin tidak ada maksud, pasti ada alasannya, bukan?" kataku.

Kak Zao menghentikan kegiatannya, melihat ke arahku dengan tajam.

"Jawaban apa yang kamu inginkan?" tanyanya.

"Ya, jawab saja apa yang sebenarnya terjadi. Apa Kak Zao memang berencana menikahiku atau hanya permintaan nenek saja?" tanyaku, percaya diri menyampaikan apa yang ada dalam benakku.

"Aku tidak berencana menikahimu, juga tidak ada permintaan dari Nyonya Chen." Saat mendengar jawabannya, mengapa ada sedikit rasa kecewa dalam hatiku?

"Lalu, kenapa malam itu Kak Zao bilang akan membatalkan acara pernikahan kita?" seruku penuh kekesalan.

"Aku tidak pernah mengatakannya, mungkin kamu sedang mengigau." Kak Zao mengatakan hal yang cukup menyakiti hatiku.

Bagaimana bisa dia berkata seperti itu? Jelas-jelas dia yang datang ke kamarku lalu mengatakannya setelah membuka pintu.

"Pulanglah, segera bersiap. Karena malam ini, ada seseorang yang akan mengunjungimu," ucap Kak Zao, tanpa peduli perasaanku saat ini.

bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status