Ku tatap tajam Yu Yati yang masih berdiri di ambang pintu. Bapak yang tak ku kenal pergi dari kamar ini."Hei, pembohong! Jangan kau kira ulahmu bisa menipu kami disini. Kedatanganmu disini kalau cuma membuat onar, pergi saja! Kami tak butuh kamu disini!" lantangnya sambil berkacak pinggang berlagak seperti penguasa, padahal bukan. Yu Santi berdiri mendekati Yu Yati. "Jaga mulutmu itu! Mulutmu itu busuknya melebihi bangkai! Beraninya kau usir adikku Rini, pergi kamu dari sini!" Tangan Yu Santi menunjuk keluar pintu sambil berucap tegas mengusir Yu Yati. "Apa? Yayu menyuruhku pergi dari sini? Harusnya tuh dia, orang miskin dan pembohong itu yang Yayu usir. Dia itu siapa? Yang adik kandung Yu Santi itu aku!" teriak Yu Yati lantang. "Sampai kapan pun Rini tetap adikku! Kalau kau mau ku anggap adik, perbaiki kelakuanmu itu!" sentak Yu Santi. "Yayu sudah dibutakan oleh pembohong besar itu. Biar ku beri dia pelajaran!" Yu Yati menerobos masuk hendak meraihku. Namun, dengan sigap Pakde
"Yang, diajak foto bareng sama keluarga Pakde. Ayo kita kesana!" Mas Bayu menghampiri ku yang merasa bingung mendengar bahwa Yanti pingsan. Mas Bayu mengulurkan tangan hendak membantuku berdiri. "Mas, ini Denis, anaknya Isma." Ku kenalkan Denis kepada Isma. "Isma, ini Mas Bayu, suamiku." Mas Bayu menyalami Isma lalu menggoda Denis. "Ini, buat Denis, ya!" Kulihat Mas Bayu menggoda Denis lalu memberinya selembaran uang berwarna biru. Aku tersenyum. Pasti Mas Bayu juga mendambakan momongan. Isma berucap terimakasih kepada Mas Bayu. "Ayo kita kesana, Yang. Pakde dan yang lain sudah menunggu mau poto bersama, Isma ikut, yuk!" ajak Mas Bayu. "Iya, ikut yuk! Mumpung masih kapelan bajunya!" bujukku pada Isma. Isma menolak, ia bilang tadi sudah foto bersama bareng Yu Yati. "Yang, ayo kesana!" Mas Bayu menggiringku buru-buru menuju tenda pelaminan. Tanganku di genggam. "Mas!" Aku berhenti berjalan. "Kamu nggak denger, itu Yanti pingsan disana!" Ku tatap wajah Mas Bayu serius. "Biari
"Dasar manusia tak tau trimakasih! Sudah ditolong malah nyolot!" Mas Bayu menjawab kalimat Yu Yati. "Apa? Terimakasih? Kamu nolong aku? Nggak salah denger? Heh, jangan sok jadi pahlawan! Aku tau pasti kalian yang mencelakai anakku! Kalian masih dendam 'kan, ngaku aja! Cara kalian itu kampungan!" hardik Yu Yati berkacak pinggang. Mas Bayu berdiri di sampingku. Gemeletuk giginya terdengar di telinga. Kulihat Dimata Yu Yati ada kebencian dan kobaran api amarah yang membara. "Yati! Tutup mulutmu! Minta maaf pada Bayu dan Rini!" Bentak Pakde Umar. Pakde menatap tajam Yu Yati. "Apa, minta maaf sama orang miskin pembawa s*a* kaya mereka? Nggak sudi!" lantang Yu Yati. "Mereka yang harusnya minta maaf dan bertanggung jawab atas apa yang terjadi sama anakku!" Yu Yati masih berapi-api dadanya naik turun dan masih berkacak pinggang. Kata-kata Yu Yati tajamnya melebihi benda tajam di bumi ini, mencabik-cabik hatiku yang berusaha kuredam sakitnya. Tak habis pikir dengan sikap Yu Yati terhadapk
Yu Yati kian berapi-api tenaganya cukup kuat hingga membuatku kewalahan. Tunggu, aku bukan Rini yang dulu, Rini yang selalu pasrah bila di hina, di tindas, dan direndahkan oleh seorang Yati. Aku Rini Wibawa wanita yang bisa tegas bila ditindas. Ku hempas kasar tangan Yu Yati. "Aku nggak main-main dengan ucapanku. Tutup ocehan kotormu tentangku, jika tidak kupastikan kau menginap dalam jeruji besi." Tegasku kepada Yu Yati. Sorot mata Yu Yati masih menyimpan api kebencian. Sebenarnya malas sekali mengancam, bahkan menggertak kepadanya, tapi ... tingkahnya harus diberi peringatan, agar dia jera. "Orang miskin seperti mu nggak akan bisa membuatku masuk penjara. Kau pikir dengan semua sandiwara dan kebohongan mu yang pura-pura kaya ini, bisa menipuku? Kau salah! Justru ini membuktikan betapa hinanya kamu!" Yu Yati masih saja punya taring melawan ucapanku. Masih saja dia berpikir bahwa semua ini hanya sandiwara saja. Dikira aku hanya sok kaya, padahal semua ini memang milikku dan Mas B
"Bapak-bapak dan ibu-ibu, serta semua yang hadir disini, saya minta dengan hormat, kalian bersedia menjadi saksi kalau ucapan Yu Yati kepada saya nanti tak terbukti. Bagaimana, kalian bersedia?" Mas Bayu mencoba berdialog dengan semua orang yang ada disini. "Cukup Bayu, nggak usah libatkan mereka," Yu Yati mendekati Mas Bayu wajahnya masih pucat pasi. Mas Bayu tersenyum tapi kelihatan mengejek. "Kenapa? Kok mukanya pucat gitu? Yayu sakit?" Mas Bayu malah sedikit sok perhatian sama Yu Yati. "Ku bilang jangan libatkan mereka. Mereka nggak tau apa-apa. Jangan kau hasut mereka untuk menjadi saksi dan apalah itu," Yu Yati kulihat berkeringat. Kenapa dengan Yu Yati? Dia takut? Kemana suaranya yang lantang itu? Kok sekarang melempem seperti kerupuk tersiram kuah soto. "Saya nggak menghasut mereka, Yu. Saya bicara apa adanya," ucap Mas Bayu ramah banget. Gelagat Yu Yati kulihat gelisah, menunduk, tangannya yang memegang plastik entah apa isinya, kulihat gemetar. "Sudahlah, Yu. Jangan t
"Mas, kamu nggak serius 'kan sama omongan di dapur tadi?" tanyaku pada Mas Bayu. "Maksudnya, ancaman masukin Yati kepenjara?" Mas Bayu balik bertanya, kini Mas Bayu menatapku dalam-dalam. Duh, kayaknya dari ekspresi Mas Bayu ini, beneran deh. "Tenang aja, Mas pastikan Yati mendekam di penjara. Mas pengen dia jera biar nggak asal ngomong. Untung kita yang dihina, kalau orang lain gimana?" Mas Bayu bangkit. "Mau pada pesen apa? Kita nongkrong disini aja dulu," ucap Mas Bayu. "Mie ayam, Bay!" Eis menyahut. "Saya Kopi aja, Pak," Dimas pesan juga. "Kamu, Yang?" Mas Bayu bertanya kepadaku. "Apa ajalah, Mas. Terserah deh." Hatiku gundah gulana. Kenapa sih aku nggak bisa bodo amat sama Yu Yati? Padahal jelas-jelas kelakuannya itu bikin darah tinggi terus. "Yang, pesen apa? Terserah itu bukan nama makanan." Mas Bayu memaksaku memesan makanan. "Es kopi kapucino aja, kalo ada," jawabku malas. "Kalo nggak ada?" Lagi-lagi Mas Bayu bertanya. Lama-lama ngeselin ah, nggak tau aku lagi mume
Berada dipelukan Mas Bayu membuatku nyaman. Allah telah mengirimkan sosok malaikat tanpa sayap dalam rupa Mas Bayu. Perut ku kompres menggunakan botol air panas. Sedikit demi sedikit, sakitnya mereda. "Rin, mandilah dulu biar seger, ada air hangat itu, direbusin pakdemu. Nanti gek sarapan dan minum jamu." Bude berucap di ambang pintu. "Iya, Bude. Makasih, ya," lirihku. Bude menghilang, mungkin beliau ke dapur lagi, atau entah kemana. "Mau mandi sekarang?" Mas Bayu yang masih setia menemaniku bertanya. Aku mengangguk. Lalu bersiap ke kamar mandi. Mas Bayu membawa baju kotor yang ada di keranjang. "Baju kotornya biar Mas aja yang nyuci, kamu nanti istirahat aja." Hem, benar-benar suami idaman. Mas Bayu membantuku berjalan menuju kamar mandi. Aku duduk di kursi meja makan, perutku sudah agak mendingan. Air mandiku di siapkan oleh Mas Bayu. "Bude, Eis mana?" tanyaku pada Bude yang kulihat sedang memeras sesuatu. "Eis lagi beli gula merah, sama asem Jawa, di warung sebelah," jawa
[Kasihan anakku, jadi korban wadal pesugihan orang tak tau diri] Status yang satunya tak kalah menguras emosi. [Gara-gara ulah si miskin Rini itu, anakku menderita] Benar-benar memuakkan si Yu Yati ini. Lihat saja akan ku screenshot status ini, biar jadi bukti rekam jejak media sosial yang akan menyeret dia ke penjara. Aku diantar Eis ke rumah Yu Santi, suasana ramai juga, aku segera menuju tenda dapur, biasanya ibu-ibu sibuk disana. Benar saja banyak ibu-ibu berkumpul sambil mengelap perabotan pecah belah. "Assalamualaikum," sapaku kepada mereka. "Wa'alaikum salam." Mereka menjawab serentak. "Eh, hati-hati jangan dekat-dekat dia, Rini itu lagi nyari tumbal pesugihan," seorang ibu berwajah menor tetiba bercuit menyebalkan. "Heh! Hati-hati kalo ngomong. Bisa dimasukin penjara sama suaminya. Jangan asal tuduh," bela seorang ibu berhijab ungu. Aku duduk di dekat Isma, ternyata dia disini. "Sabar ya, Mbak Rini. Aku yakin Mbak Rini nggak begitu. Kalau memang Mbak Rini ini nyari tu