Share

Sebuah tamparan

"Yati!" teriak Mas Hadi. Urat lehernya timbul.

Pakde Umar berdiri di hadapanku, ia menghadang Yu Yati.

"Kenapa, Mas? Nggak perlu membentak ku begitu. Aku cuma mau ngasih tau orang miskin nggak tau diri ini," celoteh Yu Yati.

Kulihat, Mas Bayu suamiku meremas gelas plastik bekas air mineral. Tapi sepertinya ia masih bisa menahan emosi.

"Kau pikir dengan memakai mobil Pajero seport begitu, serta membawa sopir sewaan ini bisa menipu ku? Sekali miskin tetap miskin aja. Nggak usah belagu!" hardik Yu Yati lagi.

Dimas sontak berdiri. "Jaga sikap Anda!" Bentak Dimas.

"Dim, biarlah. Tenang, duduklah," ucap suamiku. Dimas mengikuti arahan suamiku.

Kulihat, banyak pasang mata menyaksikan kearoganan dan keangkuhan Yu Yati. Mereka ada yang berbisik juga.

"Heh Bayu, jangan sok sokan jadi orang kaya disini. Lagaknya seperti pejabat, mobil rentalan saja bangga." Yu Yati masih berapi-api. "Dan kamu laki-laki sok jago, mau-maunya diperalat oleh pembohong seperti dia!" Telunjuk Yu Yati mengarah kepada Dimas dan Mas Bayu.

"Cukup, Yati! Cukup! Kamu sudah bikin malau. Nggak punya sopan santun!" Kini Yu Santi angkat bicara.

"Kenapa, Yu? Sampean sudah masuk perangkap mereka. Mau saja sampean dibodohi sama seorang Rini dan suaminya itu," Masih saja Yu Yati menghinaku.

Plak

Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi Yu Yati.

"Itulah yang pantas kau dapatkan. Cukup sudah kesabaranku saat ini," geram Yu Santi.

Baru kali ini kusaksikan seorang Yu Santi bertindak tegas. Mungkin karena sikap Yu Yati keterlaluan. Yu Yati pergi begitu saja meninggalkan ruangan ini.

"Biarkan dia pergi. Bocah nggak tau adab itu sekali kali harus diberi pelajaran." Pakde Umar yang sedari tadi berdiri berada di depanku, kini berbalik. "Kamu dan suamimu nginap saja dirumah Pakde. Disini nanti malah ribet. San, biar Rini dan suaminya beserta temannya nginap dirumah pakde."

Aku kembali duduk, Yu Santi, Pakde Umar, dan Bude Siti yang tadinya berdiri, ikut duduk.

"Maafkan sikap Yati barusan, ya Nak Bayu," Pakde Umar nampak sedih.

"Iya, Pakde, nggak papa. Saya maklum, kok." Suamiku tersenyum tampan sekali.

"Ya, begitulah Yati, sampai sekarang sikapnya belum berubah." Kini Yu Santi ikut bicara.

"Sudahlah, Yu ... biarkan saja. Dijelaskan model gimanapun dia nggak percaya sama aku dan Mas Bayu. Nggak masalah, Yu." Aku berusaha menenangkan Yu Santi.

"Sekarang lebih baik kalian ke rumah Pakde saja, mandi, istirahat. Nanti malam kesini lagi," Bude Siti menengahi.

"Iya, sebaiknya begitu, Bude. Saya takut, nanti si Yati tambah nekat," imbuh Mas Hadi.

Kulihat ada raut kecewa di wajah Yu Santi.

"Yu, maaf, kedatanganku membuat keributan," ucapku kepada Yu Santi.

Yu Santi mengusap lembut bahuku. "Bukan salahmu, Nduk. Nggak papa. Kalau kamu mau istirahat dirumah Bude, Yayu setuju. Tapi, nanti malam kesini lagi, ya! Kamu juga Bayu, ajak kawanmu itu juga. Nanti malam ada acara kirim do'a," ucap Yu Santi panjang lebar.

"Ya sudah, bude tak kebelakang dulu. Tunggulah disini, nanti kita pulang bareng." Bude memberesi makanan kami.

Aku hendak ikut, namun dilarang oleh Yu Santi. "Kamu disini saja, biar Yayu yang beresin. Istirahatlah pasti capek." Yu Santi dengan cekatan membereskan hidangan sisa kami makan tadi.

"Pakde, ayo kalau mau pulang, kami belum sholat Ashar," kata suamiku.

"Ayo. Pulanglah dulu, ini kunci rumah," ucap Pakde memberiku kunci rumah.

Aku, suami, dan kedua orang kepercayaan Mas Bayu, lantas berdiri, kami pamit untuk pulang kerumah Pakde.

"Istirahatlah kalian dirumah Pakde Umar, maafkan perbuatan Yati tadi, ya, Rin, Bayu," Mas Hadi berucap minta maaf.

"Iya, Mas, nggak papa." Sebuah senyuman terukir lagi diwajah tampan suamiku.

Kami keluar menuju tenda. Suasana khas hajatan sangat terasa. Bunyi salon memutar musik koplo membuat semakin berwarna. Para pendekorasi singgahsana pengantin sibuk menata pelaminan. Ada panggung juga. Beginilah suasana hajatan di kampung.

Beberapa warga yang masih mengenalku, menghampiri lalu menyalami kami, ada yang memeluk juga.

"Rini, tunggu, Nduk!" suara Bude Siti membuatku menoleh.

Bude menghampiri membawa sebungkus kecil sepertinya kue.

"Ini, lemper kesukaanmu. Bawalah pulang duluan, bude sebentar lagi pulang, Nduk. Eis juga sebentar lagi pulang." Bude menyodorkan sebuah bungkusan itu.

"Terimakasih bude, tau aja aku masih suka lemper. Ya sudah, kami pamit dulu, ya," ucapku kepada semua.

Segera saja kutuju mobil, Mas Bayu membukakan pintu untukku. Sungguh perhatiannya setiap waktu membuatku makin cinta.

Aku masuk mobil, kaca ku turunkan, lalu sebuah senyuman khas Rini ku ukir di wajah ini. Mas Bayu masuk mobil pula.

"Pak, ini ke arah mana, putar balik enggak?" Pak Ilyas bertanya arah mobil kami.

"Lurus saja, Yas. Nanti, dipertigaan belok kiri, berhenti di rumah yang halamannya penuh rumput Jepang." Mas Bayu memberi arahan.

"Baik, Pak."

Mobil berjalan meninggalkan rumah Yu Santi. Kulambaikan tangan ini. Setelah itu ku instruksi Pak Ilyas menutup kaca mobil. Aku membuka bungkusan pemberian bude tadi. Lemper kesukaan ku.

"Pak, kenapa nggak diberi pelajaran saja wanita tadi. Saya greget banget," Dimas tiba-tiba berucap. Rupanya tingkah Yu Yati membuatnya gereget.

"Ya, ngga etis lah, Dim. Saya nggak mau mempermalukan diri sendiri seperti itu. Biarkan saja dia berkoar semaunya." Mas Bayu ku suapi lemper.

"Aaa, deh. Enak loh." Mas Bayu menurut lantas membuka mulutnya.

"Ya, tapi kelewatan, Pak." Dimas kembali berucap.

"Dia memang begitu, Dim. Entahlah, kebenciannya ke saya kapan habisnya," sahutku murung.

Mas Bayu menggenggam tanganku, lalu diciumnya. "Sudahlah, jangan kau gubris nenek sihir itu. Tunjukan kualitasmu disini. Ku percaya, hatimu itu seperti mutiara, ya cintaku," goda Mas Bayu kembali mencium tanganku.

Ah, dia begitu pandai menjaga hati istrinya ini. Makin cinta deh.

Mobil melintas di pertigaan. Hatiku tak sabar ingin segera kerumah yang dulu sempat menjadi tempatku bernaung.

"Rumahnya yang mana, Pak?"

"Itu. Eh, kok berubah. Pakde sudah merehap rumahnya, Mas." Aku pangling melihat suasana baru lingkungan ini.

"Turun dulu, deh. Dim, tanya dulu sama siapa kek yang lewat. Tanya rumah Pak Umar yang mana," Mas Bayu kembali memberi instruksi kepada Dimas pengawal pribadinya.

Dimas turun lalu mastikan rumah Pakde Umar. Lalu ia membuka pintu mobil.

"Itu, Pak, yang catnya hijau, didepan, dua rumah dari sini." Dimas masuk mobil lagi.

Mobil kembali melaju, mendekati rumah Pakde Umar. Pak Ilyas memarkirkan mobil tepat di halaman.

"Oh, belum direhap, Mas rumah Pakde, masih yang dulu. Cuma cat aja yang berubah," ucapku kepada Mas Bayu. "Ayo turun semuanya, kita istirahat disini. Ini rumah saya dulu," ajakku kepada semuanya.

Dimas turun mendahului kami, ia membukakan pintu untukku. "Makasih, Dim," ucapku seraya tersenyum. Dimas mengangguk.

"Koper, tolong," Mas Bayu mengintruksikan untuk mengambil koper.

"Ya Allah, Mas! Aku lupa nggak bawa oleh-oleh untuk Bude," sesalku saat menyadari kedatangan kami tanpa buah tangan. Bagaimana ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status