Share

Bab 2. Suami Penurut

Diri tersentak mendengar ucapan mertua. Sangat keterlaluan jika harus membandingkan dengan orang lain. 

"Kamu berhak untuk menikah lagi. Pernikahan tanpa adanya keturunan akan terasa hambar. Tidak ada gunanya menikah dengan perempuan yang tidak bisa memberimu anak. Siapa nanti yang akan mengurus kamu kalau sudah tua nanti? Kalian tidak akan pernah bahagia dalam pernikahan, kalau belum juga memiliki keturunan! Jika Arumi tidak mau, nanti ibu yang bicara dengannya. Kalau dia sadar diri, harusnya dia yang menyuruhmu untuk menikah lagi."

Kenapa harus semenyakitkan ini kalimat yang terucap dari bibir mertuaku? Siapa bilang kebahagiaan sebuah pernikahan diukur dari punya anak atau tidak? Kalau memang memiliki anak akan membuat bahagia, kenapa banyak orang yang bercerai padahal Allah sudah memberi rezeki keturunan?

Aku tidak habis pikir dengan keinginan mertuaku. Menyuruh anaknya untuk menikah lagi, itu bukan solusi. Kalau memiliki banyak uang, mungkin aku sudah program bayi tabung. Tetapi setelah menikah, ibu mertuaku menyuruh untuk tidak bekerja. Katanya, aku fokus saja mengurus rumah dan Mas Amar. Semua keperluanku akan ditanggung oleh Mas Amar. Takutnya jika aku bekerja, Mas Amar tidak akan terurus.

Namun, semua itu hanya ucapan kosong. Mas Amar adalah lelaki yang sangat penurut. Sebagian besar gaji diberikan pada ibunya. Sedangkan aku, hanya diberi uang satu juta dalam sebulan, untuk kebutuhan rumah dan keperluanku. Dalam uang satu juta itu, aku juga harus ngasih Mas Amar untuk kebutuhan bensin.

Sebagai istri yang berbakti pada suami, aku tidak banyak membantah. Asal bisa membuat Mas Amar bahagia, apapun akan aku lakukan. Agar uang yang diberi oleh Mas Amar bisa cukup, aku selalu berusaha hemat.

Hingga kini aku tidak tahu berapa jumlah uang yang selalu Mas Amar berikan pada ibu mertuaku. Tetapi aku pastikan jika jumlahnya tidak sedikit. Mas Amar adalah seorang PNS yang bekerja di kecamatan. Dari yang pernah aku baca di internet, gaji PNS lulusan S1 lebih dari dua juta. Namun, aku tidak ingin membuat suami tersinggung jika menanyakan tentang gaji.

"Nanti aku bicarakan dengan Arumi, Bu. Sekarang ibu istirahat dulu dan jangan banyak pikiran." Suara Mas Amar kembali terdengar setelah terdiam cukup lama.

"Ibu mau kamu secepatnya bicarakan pada Arumi. Tidak boleh ditunda. Banyak perempuan di luar sana yang mau menjadi istrimu, Nak. Kamu mapan, kamu ganteng, kamu punya semuanya. Perempuan mana yang tidak mau menikah dengan kamu?"

"Iya, Bu. Malam ini aku akan bicarakan pada Arumi."

Aku langsung meninggalkan tempat berdiri dengan air mata yang tak terbendung. Aku sudah tahu akhir dari percakapan mereka. Pasti Mas Amar akan merayu untuk menyetujui keinginan ibunya. Tidak bisakah Mas Amar menolak secara tegas demi aku?

Aku berlari ke kamar sebelum Mas Amar keluar. Tidak ingin dia mendapati ku sedang mendengar pembicaraan sakral itu. Setibanya di Kamar, aku langsung berbaring menghadap dinding, membelakangi pintu.

Aku membiarkan air bening lolos dari kelopak mata. Tak mampu menahan. Mengingat kembali perkataan Mas Amar dan ibu mertuaku, sungguh sangat menyakitkan. Perempuan mana yang bisa tegar, ketika mengetahui ibu mertua menyuruh anaknya untuk poligami?

Pintu terbuka, terdengar langkah kaki berjalan mendekat ranjang tidur. Aku tidak ingin berbalik.

"Sayang, kamu sudah tidur? Ini masih jam sembilan, loh. Kok cepat sekali?"

Biarlah jika Mas Amar mengira aku sudah tertidur. Memang lebih baik aku tidur daripada mendengar pembahas tentang percakapan dengan ibunya tadi. Aku tidak ingin mendengar satu kata pun tentang poligami.

"Bangun dulu. Ada yang ingin aku bicarakan. Aku tahu kamu belum tidur. Kamu pasti hanya berbaring saja," ucap Mas Amar dengan lembut, sambil mengusap pelan puncak kepalaku.

Aku merasa lemah, jika Mas Amar berbicara lembut padaku. Selalu saja hatiku luluh. Aku pun berbalik dengan wajah yang murung.

"Kamu habis nonton apa, sayang? Kok nangis? Kebiasaan deh, kalau sudah nonton drama yang sedih pasti menangis. Hati istriku ini terlalu lembut, makanya mudah menangis." Mas Amar tertawa kecil di akhir kalimatnya.

Memang tadi sebelum ke kamar ibu mertua, Mas Amar melihatku melipat pakaian sambil menonton televisi. Harusnya aku berkata jika bukan karena itu aku menangis? Tetapi bibir terasa kelu. Aku menatap mata Mas Amar. Tatapan mata kami beradu.

Sambil mengusap puncak kepalaku, Mas Amar kembali berkata, "ini kenapa mukanya begini? Memangnya kamu habis nonton apa, sih?"

Rasanya aku ingin berteriak, mengatakan jika baru saja mendengar percakapan ibu dan anak. Tetapi, bibir masih terasa kelu.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Kenapa ya kalau rumah tangga lama tetapi blm di kasih keturunan...yang di salahkan bermasalah si istri,padahal blm tentu bisa jadi yg bermasalah adalah suaminya. Adik laki-lakiku saja nikah sudah lama blm di karuniai anak,tapi orang tuaku biasa aja
goodnovel comment avatar
Nani Mulyani
PNS Kecamatan aja mau nikah lagi… gajinya berapa sih cukup untuk dua istri ?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status