Bocah laki-laki yang usianya sekitar 10 tahun itu sedang berdiri tertegun di depan pintu kamarnya, matanya tidak berkedip sama sekali, dia tidak sedang melihat hal yang menyenangkan di depannya, melainkan dia melihat sesuatu yang membuat kedua lututnya bergetar.
Pyar ...
Terdengar suara pecahan benda yang dilempar, dan bunyinya menggema di seluruh ruangan. Bocah itu masih tidak bergeming berdiri di tempatnya.
“Ayah, Mama, sudah! Jangan bertengkar sepertini, kenapa kalian membuat kita ketakutan?” suara seorang gadis dengan rambut yang di kepang duanya, dia berusaha berada di tengah-tengah pertengkaran kedua orang tuanya.
“Kamu diam saja, Nat!” bentak seorang wanita cantik dengan rambut sebahunya. “Kamu masih kecil dan tidak tau tentang apa yang terjadi di sini. Jadi diamlah!” sekali lagi dia membentak gadis yang usianya masih 18 tahun itu.
“Sandra! Jangan membentak putrimu seenaknya, dia sudah dewasa dan dia berhak tau semuanya,” bentakan seorang pria dengan rambut berwarna blondenya.
“Dia memang harus tau semuanya, semua tentang apa yang sudah kamu lakukan di luar sana, kamu benar-benar menjijikan, aku sudah tidak mau lagi bersama dengan kamu. Dan Noah akan ikut denganku nantinya. Dia tidak akan hidup dengan pria brengsek seperti kamu!” serunya dengan nada tinggi.
“Noah ... Noah, kamu di mana?” Wanita itu berjalan menuju ke dalam kamar putranya. Noah tertegun melihat wajah mamanya yang sudah berderai air mata, wanita itu duduk dengan dua lutut menyangga tubuhnya, kedua tangannya memegang erat kedua lengan tangan Noah. “Noah, kamu akan ikut mama, kamu tidak perlu tinggal di sini lagi.”
Tangan bocah kecil itu terangkat mengusap tetesan air mata yang ada di pipi mamanya. “Mama kenapa?”
“Mama tidak apa-apa, Sayang. Kamu sekarang ambil tas kamu dan kita pergi dari rumah ini.” Wanita itu berdiri dan menyambar tas ransel berwarna hitam yang ada di atas meja belajar, dia memasukkan beberapa baju Noah—putranya ke dalam tas itu dan menggandeng tangan Noah keluar dari kamar itu.
Pria dengan rambut blondenya itu hanya melihat diam ke arah istrinya dan putra kecilnya. “Ma, aku tidak mau mama dan ayah berpisah, aku dan Noah masih membutuhkan kalian. Aku mohon, Ma,” Gadis yang tak lain adalah kakak Noah bahkan sampai memegang erat tangan mamanya agar tidak pergi dari rumah itu.
“Lepaskan, Na!” Wanita itu menghentakkan tangannya dengan kasar. “Kamu sebaiknya ikut dengan ayah kamu, karena mama hanya akan mengajak Noah pergi.”
“Ma, aku tetap bersama Nathali,” ucap Noah lirih.
“Kamu akan pergi dengan mama, Noah. Kita tinggalkan mereka saja, nanti kalau kamu ingin bertemu dengan Nathali, mama bisa mengantarkan.”
Noah dan mamanya berjalan menuju pintu keluar. Saat mamanya akan membuka pintu, terdengar teriakan keras dari ayah Noah. Seketika Noah dan mamanya menoleh ke arah belakang. Di sana mereka tubuh Nathali yang sudah tergeletak di lantai dengan tangan yang bersimbah dara.
“Nat!” teriak mama Noah. Noah pun sekali lagi hanya bisa terdiam di tempatnya, dia benar-benar shock melihat tubuh kakaknya yang tidak bergerak sama sekali saat kedua orang tuanya memanggil- panggil namanya.
Noah hanya bisa melihat ayahnya membawa tubuh kakaknya keluar dan masuk ke dalam mobil, sedang mamanya mencoba berbicara dengan Noah, tapi Noah seolah tidak mendengar jelas apa yang mamanya ucapkan.
“Noah bangun ... bangun Noah!” suara seseorang memanggil Noah, dan seketika Noah membuka kedua matanya dengan keringat bercucuran.
“Dan, ini--?” Noah langsung bangkit dari tidurnya, dia duduk bersebelahan dengan sahabatnya.
“Kamu mimpi buruk lagi? Apa tentang keluarga kamu?”
“Brengsek! Aku ingin sekali melupakan masa lalu itu.” Noah mengusap wajahnya kasar.
“Sudahlah! Kejadian itu sudah berlalu beberapa tahun yang lalu, kamu harus melupakan kejadian itu?” Tangan pria itu menepuk pundak Noah.
Memang kejadian itu sudah sangat lama, bahkan sekarang Noah sudah bukan bocah kecil lagi yang polos dan tampak culun, dia sudah berubah menjadi seorang pria dengan paras yang sangat tampan dan memiliki postur tubuh yang gagah, tapi kenangan masa lalunya benar-benar menjadi mimpi buruk di setiap tidurnya. Kenangan-kenangan itu yang membuat Noah menjadi pribadi yang berbeda.
Noah mengambil napas panjangnya. “Aku memang harus melupakan kejadian itu. Bahkan aku harus melupakan jika aku pernah memiliki keluarga seperti itu.” Noah beranjak dari tempatnya dia menuju lemari pendingin dan mencari minuman yang mengandung alkohol kesukaannya.
“Noah, pagi ini kamu punya rencana apa? Kita tidak punya uang sedikitpun. Apa kita akan pergi ke rumah ayah tiri kamu saja dan seperti biasa, kita akan meminta uang kepadanya?”
“Aku tidak mau, nanti malam saja kita pergi ke arena balap, di sana aku akan menantang Bruno dan Hugo untuk balapan, dan aku yakin, kita akan mendapatkan uang dari sana.”
Daniel sahabat Noah itu membanting tubuhnya di atas kasur. “Lalu pagi ini kita mau berbuat apa?” tanyanya malas.
“Aku mau pergi ke suatu tempat hari ini.”
“Apa? Pergi Ke suatu tempat? Kalau begitu aku ikut.” Dan langsung beranjak dari tempatnya.
“Maaf, Dan, aku tidak bisa mengajak kamu, aku ingin sendirian ke sana, kamu di sini saja.” Noah menyaut jaket hitam miliknya dan kunci motornya yang ada di atas nakas.
“Apa kamu sedang menyembunyikan sesuatu dariku Noah?” tanya Dan curiga. “kita sudah lama menjadi sahabat, sejak kamu kabur dari rumah, kita sama-sama memutuskan untuk tinggal bersama seperti saudara, tanpa ada rahasia apapun.”
Dan hanya memberikan seringaiannya dan dia keluar dari kamar itu. Dan, kembali merebahkan tubuhnya, dia sudah tau bagaimana sifat sahabatnya itu.
Noah sudah sampai di tempat yang dia tuju. Noah memarkirkan motornya, dan berjalan perlahan masuk ke arah pemakaman, di sana suasananya sangat sepi, bahkan hanya Noah yang tampak sebagai manusia. Noah berdiri di salah satu pusaran yang tidak terlihat nama di batu nisa itu.
Noah duduk berjongkok di samping pusaran itu. “Maaf, jika aku tidak pernah ke sini. Tapi aku akan tetap mengingatmu.” Noah terdiam sejenak, kenangan masa lalunya seolah kembali tergambar jelas di depannya.
“Kenapa mama selama ini membohongiku? Aku membencimu, bahkan aku ingin melupakan jika aku mempunyai keluarga, kalian benar-benar bukan orang tua yang aku harapkan!”
Tlit ... Tlit ...
Noah tersadar akan lamunannya. Saat ponsel di sakunya berdering, dia melihat nama yang tidak asing baginya pada layar ponselnya.
“Halo.”
“Noah, apa kamu nanti bisa datang ke sini?”
“Besok pagi aku bisa ke sana, saat ini aku belum bisa ke sana. Apa semua baik-baik saja?” tanya Noah dengan raut wajah cemasnya, dia berharap semua akan baik-baik saja.
Salam kenal ya kakak pembaca semua, semoga suka dengan cerita yang aku tulis, salam semoga kakak semua sehat selalu. Aamiin.
Pria yang di seberang telepon yang sedang menghubungi Noah itu tidak menjawab pertanyaan yang di lontarkan oleh Noah. Sepertinya dia masih memikirkan apa jawaban yang akan dia berikan pada Noah.“Kenapa tidak menjawabku?” ulang Noah sekali lagi.“Kondisinya kurang baik hari ini, tapi aku sudah bisa menanganginya. Datanglah ke sini, mungkin dia merindukan kamu, dan satu lagi ada hal penting yang aku ingin bicarakan sama kamu.”“Iya, aku tau. Dan aku akan segera mendapatkannya.” Noah mengakhiri panggilannya. Dia beranjak dari tempatnya dan pergi dari sana, Noah memacuh motornya membela jalanan pagi itu yang masih sepi.***Brem ...Brem ...Brem ....Suara mesin sepeda motor yang sedang di gas berkali-kali, terdemgar riuh, dan suasana di sana sangat ramai, banyak sekali orang berkumpul dan juya banyak pengendara kendaraan bermotor sedang berjejer yang siap mengaduk kecepatan mereka.
Daniel melihat seorang gadis yang sedang menari dengan teman-temannya, dan entah kenapa dia tertarik melihat wajah gadis yang baginya menggemaskan itu. Daniel membawa dua gelas whiskey."Hai ... Apa aku boleh kenalan sama kamu?" tanya Daniel pada gadis berambut ikal berwarna coklat yang sedang menari bersama 2 orang teman wanitanya."Oh tentu saja boleh. Nama kamu siapa? Aku Tsamara." Gadis itu masih terus bergerak mengikuti irama musik dengan tangan menjulur pada Daniel.Daniel sangat senang, dia menyambut tangan Tsamara dengan antusias. "Aku Daniel, Mara.""Okay! Kamu boleh memanggilku Mara." Gadis itu tersenyum senang pada Daniel dan mereka pun menari bersama.Di tempat lain. Di sebuah rumah yang lebih mirip flat sederhana. Noah berdiri di depan pintu setelah berpikir sejenak di sana.Ceklek ...Pintu dibuka oleh seseorang dari luar dan dia berjalan masuk ke dalam ruangan yang memiliki pencahayaan yang tidak terlalu terang. D
Lana masih terdiam, jujur saja dia belum pernah bertemu orang asing, jadi sedikit banyak dia harus berhati-hati. "Jangan takut denganku, aku tidak akan menyakiti atau menculik kamu, aku hanya bermaksud menolong." Noah seolah tau apa yang dipikirkan oleh Lana. Lana berpikir lagi, jika dia tidak segera berangkat, dia bisa terlambat, jika dia terlambat, Lana tidak akan boleh mengikuti ujian. Dan tentu saja nilainya akan jelek, lebih parahnya lagi, dia akan mendapat omelan bahkan kemarahan kedua orang tuanya. "Sudahlah, ayo! Kalau kebanyakan berpikir, sekolah kamu bisa terlambat." Lana segera mengambil tasnya dan dia berjalan menuju motor Noah. "Motor?" Lana sedikit terkejut. "Apa kamu tidak pernah naik motor?" Noah sekali lagi memberikan senyum miringnya yang sangat manis. Noah memakai helmnya dan menyuruh Lana naik ke atas motornya. Lana naik dengan ragu-ragu. Kedua tangannya berpegangan pada belakang motor Noah. "Apa kamu tidak
"Kamu pernah merasakan bercinta dengan kekasih kamu?" tanya Lana penasaran.Muka gadis di samping Lana itu bersemu merah. "Menurut kamu? Lana, hal itu wajar di lakukan, dan suatu saat kamu harus mencobanya. Lagipula kita sudah dewasa. Apa kamu mau terkekang terus hidup kamu dengan segala aturan kedua orang tua kamu?"Sahabat Lana ini sebenarnya gadis yang baik, hanya saja dia tidak mendapat perhatian dari kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya sudah bercerai dan sahabat Lana ini tinggal dengan mami yang tidak pernah mengurusinya, hanya memberinya kemewahan tanpa kasih sayang. Papinya pun sama, tidak pernah memperdulikannya, karena sudah memiliki keluarga baru."Aku tidak mau memikirkan hal itu dulu. Sini!" Lana mencoba mengambil alat pengaman itu.""Eh! Kenapa kamu bawa lagi? Aku akan menyimpannya dan nanti malam aku mau menggunakannya dengan kekasih baruku di rumah. Kebetulan mamiku sedang pergi, jadi aku bebas melakukan apapun." Gadis itu tersenyum pada
“Hei!” panggilan seseorang dari kejauhan memanggil Lana. Kedua mata Lana membulat melihat siapa yang memanggilnya.“Itukan cowok menyebalkan itu,” ucapnya kesal. Lana membuka pintu belakang dan memberitahu mamanya jika dia ingin mengembalikan jaket kepada cowok pemilik jaket itu.Mama Lana menoleh ke arah jendela belakang dan benar, beliau melihat seorang cowok dengan penampilan yang tidak rapi sedang bersandar di atas motornya.“Sebentar ya, Ma?” Wanita cantik di dalam mobil itu mengangguk, Lana berjalan mendekat ke arah Noah. “Ini jaket milik kamu, dan aku sudah tidak membutuhkannya lagi.” Lana memberikan jaket itu dengan sedikit kasar dan kesal. Bukan karena suatu hal Lana melakukan hal itu, itu karena Lana teringat dengan benda yang dibawa oleh Noah. Lana menganggap jika Noah bukanlah cowok baik-baik, kalau dia baik-baik dia tidak akan menyimpan benda seperti itu.“Hei! Apa kamu ti
Mama mereka menyuruh Lana dan Leon duduk di depannya. Lana terdiam duduk di tempatnya, Lana agak takut jika nanti apa yang di ucapkan Leon akan membuat mamanya marah. “Kalian mau bicara apa?” Tatapnya tajam. “Ma, apa boleh aku mengajak Lana pergi ke acara pesta ulang tahun temanku besok malam?” “Pesta? Memangnya teman kamu ada yang berulang tahun?” “Ada, Ma, dan aku ingin mengajak Lana. Kasihan Lana, lagian dia, kan, sudah selesai ujian sekolahnya, dan liburan yang Mama dan Papi janjikan juga tidak tau kapan akan terlaksana?” Leon memutar bola matanya jengah. “Sudahlah, Leon! Aku juga tidak apa di rumah saja, aku bisa membaca buku seperti biasanya?” Lana tidak mau sampai Leon mendapat masalah nantinya. “Membaca buku terus, apa yang menyenangkan dengan membaca buku? Lagian kamu itu sudah dewasa, Lana, dan sudah saatnya merasakan bersenang-senang sedikit. Boleh, ya, Ma?” tanyanya lagi. “Kamu tumben sekali mau mengajak Lana? Memangn
Noah berjalan masuk ke gedung itu, sebelahnya Daniel sedang mengamati setiap sudut bangunan itu."Noah, untuk apa kita kemari? Tempat ini lebih mirip rumah sakit tua, tapi menyeramkan sekali.""Ini memang rumah sakit yang di bangun untuk merawat pasien dengan gangguan kejiwaan.""Apa?!" Kedua mata Daniel membulat sempurna."Kamu mau apa ke sini?""Aku mau menemui seseorang.Tidak lama dari arah berlawanan datang seorang laki-laki paruh baya dengan baju putih dan ada taq name sebelah kirinya."Halo, Dok.""Noah, kamu ke sini lagi? Lalu ini siapa?" Dokter itu melihat ke arah Daniel."Aku Daniel, sahabat Noah. Anda dokter?" tanya Daniel."Saya dokter Steve, saya dokter yang merawat kakak Noah." Dokter itu menjabat tangan Daniel, dan Daniel membalasnya."Noah memangnya kakak kamu sakit apa? Bukannya kamu bilang dulu kalau kakak kamu bersama dengan ayah kamu? Lalu kenapa sekarang kakak kamu ada di rumah sakit ini?"
Noah menatap tidak suka pada supir Lana. Dia malah dengan muka marahnya mendorong tubuh supir itu."Jangan ikut campur! Aku cuma ingin bicara dengan nona kamu.""Tapi kamu orang asing dan aku tidak akan membiarkan kamu mendekati Nona Lana." Supir itu sebenarnya takut, tapi dia harus melindungi majikannya sesuai dengan yang di pesankan oleh mamanya Lana."Aku hanya ingin bicara!" Noah mulai memperlihatkan sifat kasarnya. Dia mencengkeram kra baju supir Lana."Berhenti! Lepaskan supirku." Lana mencoba melepaskan tangan Noah. "Pak, aku tidak apa-apa, aku akan bicara sebentar dengan cowok ini." Lana berjalan agak jauh dari mobilnya, Noah malah memberi seringai pada supir Lana."Kamu mau bicara apa lagi? Bukannya jaket kamu sudah aku kembalikan?" Bentak Lana kasar pada Noah yang sudah berdiri di depannya."Bukan masalah jaket itu, tapi kamu masalahnya.""Aku?" Lana tampak bingung, kenapa Noah malah menyebut Lana yang menjadi masalahnya.