Share

Pria Misterius

Zen menekan rem mobilnya. Ia menghentikan kuda besi mewah miliknya saat wanita disampingnya ini tak kunjung mengatakan letak kediamannya.

Zen menatap tajam pada Alesya yang masih menatap lurus ke depan. Wanita dengan rambut cokelat lembutnya itu membalas tatapan Zen.

"Kenapa berhenti?" tanya Alesya dengan nada pelan.

"Mau sampai kapan aku membawa mobilku? Dimana rumahmu sebenarnya?" balas Zen. Sejak tadi ia bertanya perihal rumah tempat Alesya tinggal, namun wanita itu selalu berkata, "jalan saja, nanti juga kau akan tahu".

Alesya tertawa pelan, ia lantas menjawab. "Aku tidak memiliki rumah" ucap wanita itu dengan sorot datar. Percayalah, saat ini pikiran dan perasaan Zen mulai banyak berspekulasi kacau. Rentetan pemikiran mulai mengganggu konsentrasinya. Jangan-jangan, wanita ini bukan manusia, pikir Zen. Zen bergidik ia lantas mengusir Alesya dari mobilnya.

"Keluar kau! Keluar sekarang juga!" usir Zen dengan rasa takut yang mulai menggerayanginya. Berbeda dengan Zen, Alesya justru menautkan kedua alis heran. Apa pemuda ini pikir dia adalah setan?

Tapi, telinga Alesya sampai berdenging mendengar pekikan Zen yang sangat menjengkelkan.

Hingga saat itu juga ia keluar dan pergi dari tumpangan pria itu.

Zen mengatur napasnya, ia tidak ingin melihat Alesya. Dadanya sampai naik turun gara-gara rasa takut yang membayanginya. Keyakinannya bertambah saat ia melihat pada spion sebelah kiri, Alesya menghilang. Ia bahkan tidak menunjukkan jejak sedikitpun. Zen lantas menggas mobilnya kencang, melaju pergi meninggalkan tempat menyeramkan dimana Alesya yang hilang bak ditelan kegelapan.

____

"Kau tidak cukup pintar untuk melarikan diri, anak manis!" ungkap Grace mendesis di depan wajahnya dengan telunjuk menjawil dagu runcing milik Alesya.

Grace berhasil menangkap Alesya saat perempuan itu tengah berjalan sendirian di jalanan. Sepanjang setelah tahu kepergian Alesya Grace segera memerintahkan anak buahnya agar mencar mencari keberadaan anak kecil itu. Alesya adalah aset bagi Grace. Dibanding anak-anak asuhnya yang lain, Alesya seolah memiliki letak istimewa di hati perempuan 'Germo' tersebut.

Alesya menjadi penyumbang terbesar untuk kekayaannya yang terus bertambah. Tidak pernah ada satu milyarder pun yang menolak tawaran Grace saat menunjukkan Alesya ke hadapan pria-pria haus belaian itu.

Grace menyesap rokok kemudian seperti biasa mulutnya menguarkan napas sampai udara berasap itu bertebaran hingga ke wajah Alesya yang sudah dikunci dengan tali berwarna putih di belakangnya.

Alesya memalingkan wajahnya beberapa kali sampai terbatuk-batuk karena asap yang merangsek ke hidungnya.

Uhuk..! Uhukk..!

"Kenapa anak cantik, kamu terganggu dengan asap rokokku?" tangan Grace mengitari wajah cantik Alesya perlahan-lahan hingga kepalan tangannya bergeser ke belakang dan menarik rambut Alesya sampai perempuan itu terjengit kaget merasakan kebas yang menjalar semakin sakit di belakang kepalanya.

"Aw ishh!"

Wajah Alesya merintih, air mata mulai perlahan saling menyusul, berduyun di atas permukaan pipi mulusnya. Alesya menahan rasa sakit tiap Grace mengamuk saat ia membuat kesalahan.

"Kenapa, sakit ya?" Kepalan tangannya semakin menguat. Grace terkikik geli melihat rintihan anak kesayangannya yang terdengar pilu.

Perlahan mimik wajah Grace berubah bengis, dengan bibir menipis kuat ia memperingatkan Alesya agar tidak main-main lagi.

"Dengar Alesya, nasib orang tuamu berada di tanganku. Sekali aku menyuruh anak buahku untuk menghabisi mereka, maka mereka semua akan habis!" Grace menghempaskan lengannya dari rambut yang semula menjambak Alesya. Alesya tersentak sampai wajahnya berantakan tertutup oleh anak rambutnya sendiri.

"Hiks!" Alesya menutup rapat mulutnya dengan punggung tangan.

Grace dan anak buahnya sudah meninggalkan Alesya di dalam ruangan kecil yang berada jauh dari pemukiman. Hanya terdapat sebuah busa tipis tempat untuk Alesya bisa sejenak berisitirahat. Setiap sudutnya dipenuhi oleh beberapa kayu penuh debu, ruangan itu layaknya seperti gudang yang sudah lama tidak didatangi.

Alesya berusaha membuka tali putih yang begitu kuat mengikat pergelangan tangannya. Namun, ia begitu kesulitan. Alesya kemudian menggesek-gesekkan tali belakangnya itu ke sudut kayu yang sedikit runcing.

Hingga beberapa kali mencoba, tubuh Alesya sampai dipenuhi keringat karena kelelahan. Ruangan itu begitu pengap, hanya terdapat kaca jendela yang tertutup tak memiliki cekalan untuk bisa dibuka. Dan, hanya terdapat satu fentilasi kecil di atas kaca jendela tersebut.

Sret!

"Argh!'

Tali berhasil terbuka namun kulit di sisi nadi Alesya sedikit terluka. Alesya menatap luka itu nanar, ia lantas meniupi pelan lengannya yang mengeluarkan darah segar.

Alesya tak ingin berlama-lama disana. Tapi, ia juga tak akan bisa kabur begitu saja. Alesya terduduk di tepi ranjang, pikirannya memutar kilas balik, saat ia baru saja keluar dari mobil pria itu yang telah mengusirnya. Hanya baru beberapa langkah berjalan tiba-tiba sebuah mobil kijang hitam menyorotnya begitu tajam, sampai-sampai Alesya menutup wajah dengan lengannya.

Saat cahaya di depannya mulai meredup, Alesya mulai bisa menangkap sosok orang-orang yang mendekat ke arahnya kemudian menangkapnya tanpa ampun.

"Eh apa-apaan kalian!" elaknya menghempaskan tangan-tangan kekar yang menarik tangannya kasar. Kepalanya ditutup oleh kain hitam dan kedua tangannya diikat ke belakang. Alesya sudah seperti tahanan yang kabur dari sel penjara. Mulut Alesya dibekap kain hitam yang membuatnya tak bisa berteriak.

Sayup-sayup Alesya bisa mendengar saat tubuhnya diseret mendekat ke dalam mobil.

"Jangan terlalu kasar, anak itu aset terbaikku. Tak lama lagi akan dipakai oleh pengusaha kaya raya, Aku tidak mau ada luka di tubuhnya" titah Grace pada anak buahnya. Alesya bisa sangat mengenal suara wanita itu. Wanita yang sudah merenggut masa muda keemasannya. Menghancurkan mimpinya saat ingin menggapai cita-citanya.

Berkali-kali mengelak, Alesya akhirnya diam saat bisikan wanita iblis itu kembali berdengung di telinganya. "Diam atau ayah ibumu aku habisi!"

Dibalik kain hitam yang menutup seluruh kepalanya, Alesya menangis pilu. Hatinya hancur berkeping-keping. Tidak bisakah ia keluar dari garis takdir memuakan ini? Kenapa harus dirinya? Kenapa Tuhan begitu jahat padanya?

Disampingnya, Grace hanya tersenyum tipis mengangkat sudut bibirnya. Sudah menjadi kesenangannya melihat penderitaan Alesya. Setiap rintihan napas lelah Alesya akan kehidupan selalu menjadi pemuas batin yang serasa terbalaskan pada diri Grace. Entah, apa yang sebenarnya terjadi padanya Alesya bahkan tidak mengerti.

Alesya menghapus air mata di wajahnya. Sejenak Alesya melupakan kesedihannya. Bagaimana pun caranya ia harus melarikan diri.

Alesya terdiam saat mendengar seseorang membuka kunci kamar pengap itu. Ia bersiaga saat mengira kalau yang membuka kamar itu adalah Grace.

Namun, ketakutannya menjadi luruh saat menangkap wajah seorang pria yang melihatnya dengan tatapan datar.

"Kau.." telunjuk Alesya menggantung di depan pria itu.

"Dengar, jangan pernah melawan Grace, ikuti kemauannya maka nanti akan kau temukan kebenaranmu!" perkataan pria misterius itu berhasil membuat Alesya mematung. Setengah hatinya tidak percaya, karena Grace adalah pembawa malapetaka selama hidupnya, sampai kapanpun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status