Share

Malam bersama Zen

Karena permintaan Alesya, Zen terpaksa membawa wanita itu keluar. Awalnya Zen menolak. Pertama, ia sama sekali tidak mengenal Alesya. Kedua, ia tidak ingin dikira telah menyewa perempuan itu. Enak saja, dirinya adalah pria terpelajar, mana mungkin ia bermain-main dengan wanita malam di club ini.

Alesya tidak lagi memakai lingerie, melainkan helaian kain dress yang masih tidak cukup membalut tubuh mulus nan jenjangnya. Panjang dres hitam itu bahkan tidak sampai menutupi lutut, hanya sebatas paha mulus wanita itu.

Karena risih, Zen melepas jaketnya kemudian membalurkannya pada tubuh wanita itu. "Tubuhmu itu sangatlah indah, cobalah untuk menjaganya dari kucing-kucing liar disini"

Pungkas Zen tanpa menatap ke arah Alesya.

Wanita itu mendengarkan dengan sedikit malas, ia menarik helaian rambut yang jatuh ke wajahnya dengan jari jemarinya ke belakang telinga.

Alesya berhutang budi pada Zen, karena pria itu telah menyelamatkannya dari pria tua yang haus dengan birahinya. Padahal, pria yang bernama Frengky itu pun bukan satu-satunya pria yang pernah ia layani. Sudah puluhan pria yang tidak terhitung usianya telah menikmati tubuh indah Alesya.

"Itu memang pekerjaanku, untuk apa aku menjaganya" elak Alesya melawan nasehat Zen, pria yang akhirnya berani menatap matanya. Sedetik, Alesya merasa terhipnotis dengan tatapan pria disampingnya itu. Tatapan Zen tajam, tapi menyejukkan. Alesya yang biasanya centil menggoda para pria, kini justru ia yang lebih dulu menghindari tatapan pria setampan Zen Alensky.

Dari tatapan Zen, Alesya bisa menangkap jawaban tak tersirat dari pria itu. Ia tahu ini memang bukan pekerjaan suci, tapi ia juga merasa buntu, tak bisa menghindari takdir juga, pikirnya.

"Kenapa kau memilih pekerjaan ini?" tanya Zen akhirnya. Tak bisa berbohong, ia pun sejujurnya cukup terpukau dengan kemolekan dan kecantikan yang dimiliki Alesya. Jika Alesya memposting dirinya di media sosial, Zen yakin akan banyak sekali yang iri pada kesempurnaan tubuh dan wajahnya.

Alesya membuang tatapannya dari Zen. Sepertinya, laki-laki itu bukan orang pertama yang bertanya hal yang serupa padanya.

"Kenapa kau diam?" perkataan Zen memecah keheningan, Alesya menatapnya lagi, kali ini dengan senyuman samar.

"Bagiku, orang-orang sepertimu hanya penasaran pada hidupku. Bukan peduli" tukasnya menohok Zen. Alesya memasang raut tak suka setelah mengatakannya.

"Kepedulian memang berawal dari rasa penasaran, 'kan?" ungkap Zen.

Pria itu kembali meluruskan pandangannya, mengundang decakan sebal dari perempuan cantik yang sedari tadi berusaha meredam getaran di dadanya yang bertalu cukup kuat mengganggu konsentrasinya.

Zen bangkit, kepala Alesya mengikuti arah pria itu berdiri. "Mau kemana?" tanya Alesya spontan, Zen menunduk menatap wanita yang masih duduk di tempatnya.

"Pulang. Kau mau tetap disini atau ku antar sekalian?" tanya Zen dingin. Ia paling anti untuk berada satu mobil dengan wanita yang tidak ia kenali, terlebih status pekerjaan wanita itu yang pasti akan mengundang gunjingan orang-orang. Akan tetapi, melihat Alesya yang sedang dalam keadaan kacau membuatnya khawatir juga.

Alesya mengulum senyum, setelahnya ia berdehem beberapa kali guna menghilangkan kecanggungannya pada lelaki baik hati ini.

"Kau tidak keberatan?" tanyanya memastikan.

Sebenarnya, ia sedikit ragu tapi semoga saja Zen akan berbalik hati mengantarnya pulang. Pulang? Bukankah dirinya tak pernah memiliki hunian, lalu kemana rumah yang ingin ia tuju?

Zen terdiam, lalu berkata, "Tentu saja aku keberatan. Hanya saja meninggalkanmu sendirian disini akan membuatku merasa jahat sekali. Kau ini perempuan, seharusnya berada di rumah dengan tenang.

Jika pun di luar seharusnya ada yang menemani, selain itu juga pakaianmu harus tertutup" ucap Zen panjang lebar, Alesya kembali mengembangkan senyumnya. Mungkinkah ia jatuh cinta pada pria yang baru dikenalnya ini?

"Baiklah, kalau begitu antarkan aku ke rumah"

Alesya bangkit, seperti anak-anak ia berjalan antusias mengikuti langkah Zen menuju kuda besinya.

Mobil mewah milik Zen melenggang meninggalkan jalanan malam yang kian sepi. Sesaat, Alesya cukup menikmati perjalanannya kali ini. Hampir setahun ini ia tidak pernah melihat indahnya kelap-kelip pada bangunan kota metropolitan pada malam hari seperti ini.

"Ku kira kau harus segera meninggalkan pekerjaan itu" cetus Zen tiba-tiba mengalihkan perhatian Alesya. Wajah yang semula tersenyum seketika hilang saat mendengar ucapan Zen.

"Bisa kah kau diam saja, dan jangan mengomentari hidupku, Tuan?" desis Alesya merasa tidak nyaman. Zen menatapnya santai kemudian mengalihkan tatapannya ke depan kemudi lagi.

"Oke, up to you," balas Zen. Ia sedikit menambah kecepatan mobilnya di jalanan yang cukup lengang tersebut.

_____

"Benar, Nyonya! Nona Alesya tadi pergi dengan seorang pria" lapor seorang pria berpakaian serba hitam yang merupakan satu dari sekian ajudan yang dimiliki Grace.

"Seharusnya dia berada di kamar 113 kan?" Grace terlihat geram, kenapa bisa anak dungu itu lolos dari pengawasan ketat disana. Tuan Frengky sudah membayarnya, barusan ia menghubungi Grace dan meminta uangnya dikembalikan.

"Betul, Nyonya. Tapi, karena ia pergi dengan seorang pria jadi saya pikir pria itu tengah menyewanya" kata sang anak buah dengan tatapan menunduk.

"Dasar bodoh!" maki Grace. Bahkan, tubuh pria di hadapannya sampai bergetar mendengar sentakan Grace yang sangat tajam.

Grace membanting gelas skoli di hadapannya. Beberapa orang tersentak melihat reaksi wanita itu, ia menyalakan selinting roko dengan korek gas kecil miliknya, kemudian menyesapnya. Grace melepaskan napas yang membuat asap rokok itu menguar bertebaran.

"Sialan, akhir-akhir ini, anak kecil itu mulai sering membangkang!" cerocosnya, sedangkan anak buah yang sedari tadi berdiri di hadapannya hanya tertunduk diam tak menanggapi amukan Grace.

"Awas saja kau Alesya, kau akan habis jika ku temukan nanti"

"Apa tugas saya selanjutnya, Nyonya?" tanya ajudannya lagi.

Grace hanya diam, ia hanya menampakkan raut misterius. Sepertinya, isi kepalanya telah penuh dengan rencana untuk si semut kecil itu.

"Perketat pengawasan, saya ingin saat anak itu kembali, segera sergap dan kurung dia di ruang biasa." Perintah Grace yang segera di balas anggukan patuh oleh anak buahnya.

"Anak itu harus lebih diberi pelajaran" desis Grace melempar lintingan rokok yang baru diisapnya lalu menginjaknya kesal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status