Share

Yuanrang Pendekar Pemburu Monster
Yuanrang Pendekar Pemburu Monster
Penulis: Henry Hafidz

1. Yuanrang, Miaocai dan Mengde

“Kira-kira dimana lipan raksasa itu bersembunyi, Tuan?” tanya Yuanrang ke salah satu penduduk desa.

Penduduk desa yang sibuk berkemas itu menjawab dengan panik, “Di hutan utara. Sekitar tiga li dari sini. Di sana ada gua yang cukup besar. Diapit banyak formasi pohon bambu.”

“Anda yakin, Tuan?”

Pria berumur empat puluh tahunan itu menunduk sejenak lalu menatap mata Yuanrang lagi,

“Sejujurnya aku tidak tahu. Aku hanya pengrajin, Nak. Bukan pencari kayu atau pemburu. Tapi tetanggaku yang penebang hutan menceritakan itu padaku. Lima hari lalu, tetanggaku melacak makhluk itu ketika kembali ke sarangnya. Lipan raksasa itu masuk ke gua. Tentu saja tetanggaku tidak berani mengikutinya sedalam itu. Dia langsung pulang, menceritakan dan mengingatkan kami semua.”

“Baik, terima kasih atas informasinya, Tuan. Sebagai gantinya, izinkan kami membantu Anda berkemas. Mana yang harus kami kemas.”

“Ah … ya … terima kasih,” kata pengrajin yang sedikit bingung.

Pria pengrajin menatap penampilan dua anak remaja yang berdiri di hadapannya ini. Yuanrang yang memakai baju besi. Tangan kanan Yuanrang menggenggam pedang besi yang terlihat cukup kokoh. Sementara pemuda yang berdiri di sisi kanan Yuanrang juga memakai pakaian perang yang tidak jauh beda. Hanya senjata yang dia pakai berbeda. Pemuda yang dari tadi tidak mengatakan apapun itu menggenggam tombak yang dilengkapi oleh busur dan kumpulan anak panah. Pria itu menghela nafas. Si pengrajin sangat yakin dengan informasi yang baru saja diutarakan. Tapi dua anak muda ini tidak terlihat meyakinkan. Lebih terlihat mau setor nyawa secara ceroboh. Meski begitu, pengrajin sebisa mungkin tidak ingin menyinggung niat baik dua remaja ini.

“Apa yang akan kalian lakukan?” sebenarnya pria ini tahu niat mereka. Cuma basa-basi saja.

“Jelas. Kami akan membunuh lipan raksasa yang menyerang desa ini,” kata pemuda di sisi kanan Yuanrang dengan penuh semangat.

Pengrajin memaksakan senyum, “Kalian berdua ya?”

“Sebenarnya kami bertiga. Yang satunya masih belum datang,” kata Yuanrang.

“Kalian berasal darimana?”

“Kami berasal dari daerah Qiao, Tuan,” kata pemuda di sisi kanan Yuanrang.

“Nak, kalian bertiga sangatlah pemberani. Tapi kenapa kalian tidak menunggu prajurit saja supaya pekerjaan kalian lebih mudah?” kata pengrajin. Pemilihan kata yang sangat tepat. Sangat tidak menyinggung.

“Penguasa menghubungi guru kami. Meminta tolong guru kami untuk membunuh lipan raksasa. Lalu, guru memerintahkan kami untuk membunuh lipan raksasa. Penguasa tidak mau kehilangan tentara mereka,” jawab Yuanrang.

Kalimat bocah bernama Yuanrang ini terdengar tidak masuk logika. Pengrajin pun terdiam. Bagaimana mungkin seorang penguasa mempercayakan misi ini ke tiga remaja aneh? Bahkan lebih mempercayai tiga remaja ini daripada sekelompok tentara yang pada dasarnya memang terlatih untuk bertarung dan secara mental lebih siap mati. “Penguasa tidak mau kehilangan tentara?” kata mereka. Terdengar mirip seperti omong kosong. Tapi pengrajin tidak mau membantah. Pengrajin pun segera menyelesaikan pekerjaan mengemas dan berterima kasih pada dua remaja ini.

“Istriku, bisa tolong siapkan tiga makanan dan tiga botol air untuk mereka?” tanya pengrajin.

“Baik, sayang,” kata istri si pengrajin yang segera berdiri dan berjalan ke belakang.

“Tolong tunggu sebentar ya,” kata pengrajin pada dua pemuda.

“Sekali lagi, terima kasih atas informasi dan bekalnya.”

Yuanrang berasal dari daerah Qiao, Negara bagian Pei, di masa Dinasti Han. Dia berguru pada seseorang bernama Yudhistira. Seorang pertapa yang datang dari negeri yang jauh bernama India. Yuanrang berangkat untuk memburu lipan raksasa karena dia sudah menunjukkan kemampuannya dalam pengendalian logam pada penguasa setempat. Kelak, ketika China masuk ke Era Tiga Kerajaan, Yuanrang dikenal sebagai Xiahou Dun.

Pemuda yang dari tadi menemani Yuanrang bernama Miaocai. Dia berasal dari daerah yang sama dengan Yuanrang. Miaocai juga sudah menunjukkan kemampuannya dalam berpedang, memanah dan kemampuan spesialnya yaitu mengendalikan es. Kelak, ketika China masuk ke Era Tiga Kerajaan, Miaocai dikenal sebagai Xiahou Yuan.

Muncullah istri si pengrajin yang membawa tiga set bekal yang masing-masing dibungkus kain, “Ini bekal kalian dan satunya untuk teman kalian.”

“Terima kasih, Nyonya,” jawab Miaocai

“Kalian berangkat sekarang?” tanya pengrajin.

“Iya, Tuan,” kata Yuanrang.

“Sampaikan salam kami ke teman yang akan kalian temui,” kata pengrajin, “Berhati-hatilah. Lipan raksasa sudah memakan banyak orang. Entah warga sini atau para pedagang. Semoga kalian beruntung.”

“Baik, Tuan,” kata Miaocai. Dua pemuda itu mengucap salam.

Yuanrang dan Miaocai berjalan ke utara desa. Arah mereka berjalan sangat berlawanan dengan arah penduduk desa. Penduduk desa terburu-buru bergerak ke selatan. Mencari perlindungan di benteng penguasa. Mereka membawa gerobak, kuda dan perbekalan seadanya. Beberapa balita menangis di pelukan ibu dan ayah. Seolah mereka memahami kepanikan ini. Mereka tidak mau dicabik-cabik isi perutnya dan menjadi makanan lipan raksasa.

“Kira-kira nanti Mengde akan membawa apa ya?” tanya Yuanrang.

“Semoga saja logistik yang cukup. Seperti makanan, tenda, kayu bakar, anak panah, kuda dan kereta yang ada atapnya,” kata Miaocai.

“Yah, semoga sesuai yang dijanjikan pada kita,” Yuanrang menghela nafas, “Aku juga akan senang kalau fasilitasnya lengkap seperti yang kau ceritakan.”

Yuanrang dan Miaocai tidak langsung berangkat ke hutan. Mereka menemui Mengde dulu di area persawahan di sisi utara desa. Harus berkoordinasi dulu, pengecekan perbekalan dan membuat perencanaan perbekalan. Karena misi ini mungkin akan memakan waktu beberapa hari. Harus seefektif mungkin supaya mereka tidak kelaparan sampai berhasil pulang ke tempat Guru Yudhistira.

Area utara desa sudah sangat sepi. Hanya rumah-rumah kosong milik petani yang sudah ditinggalkan. Tidak ada siapapun di sana. Di ujung utara desa, hanya terlihat seorang remaja laki-laki yang tiduran di punggung seekor kuda. Dari kejauhan, Yuanrang dan Miaocai kegirangan karena semua sesuai yang dijanjikan.

“Kenapa kalian lama sekali?” tanya Mengde sambal menghela nafas.

“Sudah. Jangan rewel,” kata Yuanrang yang menyerahkan bekal, “Ini untukmu, brengsek.”

“Ah, makanan,” wajah Mengde berubah dari cemberut menjadi tersenyum lebar, “Keterlambatan kalian kumaafkan.”

Remaja yang ketiga ini bernama Mengde. Hampir setiap saat dia menunjukkan ekspresi santai dan serius secara bersamaan. Dia membawa pedang dengan dua mata. Cukup besar ukuranya. Kira-kira hampir sebahu Mengde. Seperti Yuanrang dan Miaocai, Mengde berasal dari tempat yang sama. Dia mampu mengendalikan api. Kelak, Mengde akan dikenal sebagai Cao Cao. Pendiri Kerajaan Cao Wei di Era Tiga Kerajaan.

“Kapan kita akan berangkat?” tanya Miaocai.

“Sekarang. Kita jalan sambal makan. Kalian berdua duduk saja di gerobak. Biarkan aku yang di atas kuda,” kata Mengde, “Ngomong-ngomong berapa jarak hutan dari desa ini?”

“Kata penduduk desa, lipan itu bersembunyi di hutan yang berjarak sekitar tiga li dari utara desa,” jawab Yuanrang, “Di sana ada gua yang ada di sekitar pohon bambu. Di situlah sarangnya.”

“Berarti valid, ya. Aku tadi juga tanya beberapa penduduk desa dan mereka memberi jawaban yang sama.”

Bicara tentang li, li adalah satuan jarak yang biasa digunakan oleh penduduk China di masa kuno. Jika dibandingkan dengan satuan ukur modern, satu li sama dengan setengah kilometer. Jika jarak hutan sejauh tiga li, maka sama dengan satu setengah kilometer. Tidak terlalu jauh dari desa.

Sambil makan, Mengde berdiskusi bagaimana formasi tempur nanti jika sudah berhadapan dengan lipan raksasa. Yuanrang beraksi sebagai ujung tombak pertarungan. Berada di garis depan bersama Mengde. Bekerja dua hal sekaligus yaitu pertahanan dan penyerangan. Yuanrang mendapat peran ini karena punya kemampuan fisik dan kemampuan bertarung jarak dekat yang lebih hebat daripada Mengde dan Miaocai. Sementara Mengde berperan sebagai ahli strategi. Karena Mengde yang paling cerdik di antara mereka bertiga. Dia akan berdiri di garis depan bersama Yuanrang. Sedangkan Miaocai berada di bagian belakang. Menghujani musuh dengan panah. Ini karena bakat Miaocai dalam pertarungan jarak jauh dan menengah paling menonjol di antara mereka bertiga.

“Perhitungkan juga kemungkinan terburuk. Maksudku jika ternyata ada lebih dari satu lipan atau lipan itu memiliki bayi,” kata Mengde.

“Bayi lipan enak dibakar?” tanya Miaocai.

“Pasti renyah. Iya kan?” tawa Yuanrang.

“Hei, hei, hei … jangan jadi pemakan segala. Siapa tahu lipan itu beracun, kan?” kata Mengde.

“Memang sangat Mengde,” senyum Yuanrang.

Mengde menghela nafas, “Apa maksudmu ‘sangat Mengde’?”

“Bukan Mengde kalau tidak waspada dan tidak ada persiapan untuk menghadapi semua kemungkinan,” kata Yuanrang.

“Hah? Bukankah di kehidupan kita harus seperti itu?” kata Mengde, “Ada-ada saja kau, Yuanrang.”

“Kemungkinan apa lagi yang kau pikirkan?” tanya Yuanrang.

“Secara umum, jangan bertarung di kandang musuh. Hutan adalah kandang musuh. Apalagi di dalam gua,” kata Mengde, “Kita siapkan saja jebakan di sisi selatan hutan. Lalu kita pancing dia keluar dan bawa ke jebakan.”

“Bagaimana persiapan perbekalan kita dalam beberapa hari ini?” tanya Miaocai.

“Aku membawa banyak ikan, tanaman dan kayu bakar. Kuletakkan di dalam kotak. Tenang. Semua akan awet. Kita gunakan kemampuan pengendalian esmu untuk mengawetkan bahan makanan kita, Miaocai,” kata Mengde.

Sekitar satu jam kemudian, tiga remaja petarung ini sudah sampai di sisi selatan hutan. Hutan yang menjadi target mereka berjarak sekitar seratus langkah di depan. Ada perbedaan kondisi lingkungan yang terasa. Hutan terlihat begitu lebat dan gelap. Seolah sinar matahari tidak bisa menembus kegelapan hutan ini.

“Kita ini berada di wilayah mana sebenarnya?” tanya Mengde tiba-tiba.

“Bagaimana mungkin pertanyaan sebodoh itu keluar dari mulut orang secerdas dirimu,” kata Yuanrang.

“Yang membuatku heran, wilayah ini seharusnya aman-aman saja. Sekalipun ada makhluk aneh, pasti sudah diselesaikan oleh tenaga petarung lokal. Lipan ini bukan monster aneh biasa. Menurut informasi yang kudapatkan. Sepuluh petarung local sudah terbunuh. Jelas ini bukan monster biasa. Monster-monster sulit biasanya datang dari wilayah utara. Aku punya teman dari suku Hun yang tinggal jauh di utara. Seperti yang kalian tahu, suku Hun menjalani nomaden. Selama nomaden, temanku pernah menghadapi lipan raksasa.”

“Terus? Kan kita memang sedang di utara,” kata Miaocai.

“Ya tapi tidak sejauh wilayah bangsa Hun juga kan. Maksudku, yang ingin kutekankan. Kenapa lipan raksasa ini tiba-tiba muncul? Apa yang membuatnya datang kemari?” kata Mengde, “Misterinya, ada apa di utara?”

Yuanrang dan Miaocai terdiam mendengarkan pertanyaan Mengde. Mereka berdua mempercayai sepupunya ini. Kecerdasan dan insting bertarungnya cukup tajam. Kalau seorang Cao Mengde mencurigai suatu kondisi, berarti kemungkinan besar memang ada yang tidak beres. Angin berhembus kencang dari utara. Suara gemerisik daun terdengar kencang.

“Ya sudahlah. Kita pikirkan nanti saja setelah menjadi pembasmi serangga,” kata Mengde, “Kita akan mencari informasi setelah di utara setelah lipan raksasa musnah.”

“Sekarang bagaimana? Kita pasang jebakan?” tanya Miaocai.

“Gunakan pengendalian esmu untuk menciptakan duri-duri es. Juga menandai pohon supaya kita tahu jalan pulang,” kata Mengde.

Tiga pendekar remaja ini memasuki hutan bambu melalui jalan setapak. Yuanrang berada di paling depan. Untuk sementara, Miaocai tidak memasang penanda es karena masih jalan setapak. Semakin masuk ke hutan, mereka semakin waspada. Memang situasi cukup tenang. Namun, jika semakin tenang maka semakin mencurigakan. Bukankah buaya lebih suka hidup di arus air yang tenang?

Yuanrang menghentikan langkah. Tentu ini membuat Mengde dan Miaocai heran. Tanpa berkata-kata, Yuanrang memberi kode pada Miaocai. Kode berupa jari telunjuk dan jari tengah. Tiba-tiba saja Yuanrang menunjuk sisi timur. Sudah paham, Miaocai segera mengambil busur, mengambil anak panah dan menembak sesuai instruksi Yuanrang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status