Share

Bab 1 ~ One

Zean berjalan masuk ke dalam kelasnya. Belum sempat masuk langkahnya terhenti kala Fasha, teman satu kelasnya menepuk pundak Zean.

Zean tersenyum paksa. "Tumben berangkat pagi? Ada apa nih?" tanya Fasha pada sahabatnya.

"Nyari contekan. Bisa ga biarin gua masuk dulu ke dalem? Hawa ga enak nih."

"Halo Kak Zean, ini ada coklat buat Kakak."

"Ini aja Kak, aku bikin kue ini dari semalem loh, cobain ya?"

Benar saja yang di rasa Zean, dua cewek kelas satu kini sudah berada di hadapannya. Zean, ketua geng motor sekaligus ketua tim basket di SMA Brinlight. Semua cewek mau itu kelas satu ataupun dua begitupun tiga. Semuanya pernah memberikan hadiah untuk cowok ini. Hasilnya? Di tolak mentah-mentah!

Zean tersenyum kecut. "Makasih, tapi gua lagi diet," ucap Zean sambil melangkah masuk ke dalam kelasnya menghiraukan dua cewek semok itu.

Mata Fasha berbinar kala melihat coklat yang di pegang oleh cewek berambut pendek. "Boleh buat gua aja ga coklatnya?"

Kedua cewek itu bergidig, mereka melihat sinis ke arah Fasha. "Gak."

11 IPS 5. Kelas unggulan yang isinya hanya siswa siswi berprestasi. Itulah kelas Zean, ia duduk di kursi paling belakang pojok sebelah kiri. Tempat yang strategis untuk menyontek atau sekedar ngemil.

"Pagi Zean." Bianca. Orang yang di nobatkan menjadi siswi tercantik di SMA Brinlight. Dia sangat tergila-gila pada Zean, konon katanya semua siswa sangat tergila-gila padanya. Hanya Zean yang menganggapnya biasa saja.

"Apa?"

Pada Bianca, Zean masih bisa menjawabnya walaupun dengan wajah yang tidak berekspresi. Bianca adalah teman masa kecil Zean, hanya sebatas itu.

"Lo udah belom tugas sosiologi? Gua udah nih," kata Bianca sambil menyerahkan buku tugas sosiologinya pada Zean.

Cowok itu tersenyum puas. Hanya ada tiga hal yang bisa membuat Zean tersenyum. Pertama, saat balapan motor. Kedua, mencetak poin saat main basket. Ketiga, dapat contekan.

Ya, apa lagi selain itu? Tidak ada.

"Thanks Bi," ucap Zean. Tak lama dari itu dia tersadar dengan apa yang baru saja dia katakan.

Ada tiga hal yang tidak boleh Zean katakan pada Bianca. Pertama, cewek gatel. Itu akan membuat Bianca semakin gencar mengejar Zean. Kedua, cabe. Sama dengan alasan pertama. Ketiga, menyebutnya dengan panggilan 'Bi'. Itu akan membuatnya seperti ;

"AAAAA ZEAN MANGGIL GUA BABY. MULAI HARI INI BERARTI KITA UDAH RESMI PACARAN!"

Ya, seperti itu kurang lebihnya.

"Stttt... berisik banget buntut lo Ze," sahut Fasha dari arah belakang Zean. Sepertinya aksi menyontek Fasha terganggu oleh teriakan Bianca barusan.

"Heh kutu kupret, diem lo. Zean gua keganggu sama ocehan lo," ketus Bianca pada Fasha.

Fasha menaikkan satu alisnya. "Ngaca. Dasar nenek lampir!"

"Yang berisik tu lo. Sadar dikit apa, cantik si, tapi mulut kek toa," lanjutnya.

Fasha. Orang kedua yang menolak kecantikan Bianca. Satu-satunya orang yang paling Fasha cintai adalah, Vica.

"Hai sayang aku. Udah duduk aja di singgasananya ya. Lupa jemput aku ya?"

Wajah Fasha memucat. "Eh sayang, maaf tadi ban mobil aku pecah jadi nebeng Zean."

"Bohong," sahut Zean yang masih sibuk berkutat dengan bukunya.

Tatapan Vica sudah seperti ingin melahap Fasha. "Sekali-kali tolongin gua apa Ze, tai juga lu."

~~~

Zetta masuk ke dalam ruang kepala sekolah. Hari ini adalah hari pertamanya masuk ke sekolah barunya. Banyak harapan yang Zetta do'akan agar terkabul. Ya, sampai sebelum mengetuk pintu ruang kepala sekolah dia berdo'a terlebih dahulu.

"Selamat pagi Pak," sapa Zetta pada seorang lelaki paruh baya dengan kacamata dan perut buncitnya.

"Kamu Zetta ya? Selamat pagi. Silahkan duduk dulu," sambut ramah Pak kepala sekolah pada Zetta.

Cewek itu duduk dengan anggun sambil tersenyum pada Pak kepala sekolah SMA Brinlight.

"Nama saya Baron. Kamu bisa panggil saya Pak Baron."

Pak Baron sibuk membuka berkas-berkas Zetta yang ia dapatkan dari sekolah lamanya.

"Zetta Alvana, kamu masuk di kelas 11 IPS 5 ya. Kamu cukup berprestasi di sekolah lamamu. Nilai kamu juga sangat tinggi dengan skor 90 ke atas. Ini seragam kamu, silahkan ganti dulu di toilet setelah itu kembali lagi ke sini."

Zetta menerima satu set seragam barunya. "Baik Pak Baron, tolong tunggu sebentar."

Pak Baron mengangguk. "Silahkan Zetta."

Zetta berjalan keluar dari ruangan Pak Baron. Salahnya, dia tidak tahu lokasi kamar mandi di sini. Ingin balik lagi ke ruangan Pak Baron tapi akan sangat memalukan.

"Hai, permisi. Toilet wanita di sebelah mana ya?" tanya Zetta pada seorang cewek yang sedang berdiri di depan Mading yang berada di samping ruang kepala sekolah.

"Oh hai, kamu bisa lurus ke sebelah kanan ini. Nanti mentok belok kiri di situ toiletnya," arah cewek dengan rambut ikal itu pada Zetta.

Zetta berterimakasih lalu menuju ke toilet untuk mengganti pakaiannya.

"Ini awal baru buat gua, tunggu Noe. Tunggu sampai gua bisa bales apa yang terjadi sama lo."

Setelah di rasa cukup, Zetta kembali lagi ke ruangan Pak Baron. Ternyata sudah ada seorang guru yang sangat cantik dan terlihat muda yang sudah menunggu Zetta.

Zetta bertaruh kalau guru itu masih kepala dua. Lebih tepatnya setengah dari kepala tiga.

"Ini wali kelas kamu Zetta," ucap Pak Baron.

Zetta mengangguk. "Hai, nama Ibu, Monica. Panggil saja Bu Monic. Selamat datang ya di sekolah ini juga di kelas saya Zetta."

"Baik Bu. Terimakasih."

"Silahkan Bu Monic, ajak Zetta masuk ke kelas."

"Baik Pak."

"Mari Pak."

Zetta dan Bu Monic berjalan sejajar. Sebentar lagi Zetta akan melaksanakan misinya. Dia sangat berharap, tidak ada masalah yang akan menghambat rencananya.

"Baik, selamat pagi murid-murid semuanya. Kita kedatangan murid baru dari SMA saudara kita. Yaitu, SMA Starlight. Silahkan Zetta perkenalkan diri kamu."

Zetta mengangguk dengan senyum anggunnya. Di sini dia tidak akan menjadi dirinya. Lagipula, yang bisa melihat Zetta dengan sifat aslinya hanya Noe. Tidak ada yang lain.

"Hai, gue Zetta Alvana. Panggil gue Zetta. Gua pindah dari sekolah sebelah karena sudah tidak ada lagi keadilan yang menegak, gue harap SMA Brinlight penuh dengan keadilan. Begitupun dengan kelas ini. Salam kenal."

Salah satu cowok dengan kacamata dan rambut rapihnya mengangkat tangan. "Ya, silahkan Dilan."

Dilan mengangguk. "Izin bertanya. Keadilan seperti apa yang tidak ada di sana?"

Zetta tersenyum getir. Dia melirik ke arah Bu Monic lalu mendapat anggukan tanda di perbolehkannya Zetta menjawab.

"Ada seorang siswa laki-laki yang sangat pengecut untuk sekedar tanggung jawab dan mengakui atas apa yang telah dia perbuat. Memaksa pihak sekolah untuk tetap bungkam dengan kesalahannya yang patut di bawa ke meja hijau. Berlindung dengan nama orang tuanya yang kebetulan seorang donatur sekolah. Lelaki yang selamanya akan terus jadi banci dengan sekolahnya yang tak lain dari simbol kehancuran moral itu sendiri."

Dilan tersenyum puas dengan jawaban Zetta. Terlihat ketertarikan dari sorot matanya. Seluruh siswa di kelas bertepuk tangan atas apa yang Zetta bicarakan. Kecuali, Zean.

Zean hanya menatapnya dengan tatapan datar. Tidak berekspresi sama sekali. Namun itu menarik perhatian Zetta.

"Baik, silahkan Zetta duduk di kursi samping Dilan ya?" Zetta mengangguk. Dia berjalan menuju kursi kosong itu dengan sesekali melirik ke arah Zean.

"Perilaku Zetta ini patut di contoh anak-anak sekalian, perilaku tegas yang ingin menegakkan keadilan. Kita tidak ada yang tahu kejadian semacam apa yang terjadi, tapi tidak pantas juga untuk menanyakannya."

"Hai, gua Dilan," bisik Dilan pada Zetta. Cewek itu menoleh lalu tersenyum dengan sangat manis pada Dilan.

"Gua Zetta."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status