Share

Bab 2 ~ Two

Langkah Zetta semakin cepat ketika mendapati teriakan Noe yang begitu kencang.

"Enggak! Tolong! Zettaaaaa .... "

Cewek itu segera masuk ke ruangan dimana Noe berada. "Kenapa?" tanya Zetta begitu masuk ke ruangan.

Terdapat tujuh kelas ruangan di RSJ tempat Noe di rawat. Ruang kelas VVIP yang hanya ada satu tempat tidur. Ruang kelas VIP dengan empat tempat tidur. Ruang non kelas dengan lima tempat tidur. Ruang kelas satu dengan sebelas tempat tidur. Ruang kelas dua dengan dua puluh empat tempat tidur. Ruang kelas tiga dengan seratus lima puluh tiga tempat tidur. Terakhir, ruang isolasi dengan tujuh puluh tujuh tempat tidur.

Noe berada di ruang kelas VVIP yang hanya di huni oleh satu orang. "Kami mau menyuntikkan obat tenang buat Noe tapi dia berontak," jelas salah satu perawat yang sedang memegangi Noe.

Wajah Zetta terlihat sangat marah. "Kenapa? Kenapa di kasih obat tenang?"

"Dari tadi Noe berontak terus, kami kewalahan."

Zetta segera menghampiri Noe yang sudah menatapnya dengan tatapan sedu. Cewek itu memeluk Noe dengan sangat erat, memberi ketenangan untuk sahabatnya itu.

"Tenang Noe, ada gua. Ada gua di sini," bisik Zetta. Perlahan tubuh Noe yang tadinya meregang kini mulai melemas.

Tiga perawat yang menangani Noe melepaskan pegangannya, karena Noe sudah tidak berontak. "Mbak, Mas, biarin Noe sama saya dulu."

Ketiga perawat itu mengangguk. "Baik kak Zetta, kami pamit dulu. Kalau ada apa-apa silahkan panggil kami."

Hampir semua perawat, resepsionis, bahkan dokter di sana mengenal Zetta. Hampir setiap hari gadis itu menemui Noe.

Zetta melepaskan pelukannya kala di rasa Noe sudah bisa di kontrol. Zetta menatap wajah Noe yang sekarang pandangannya sudah beralih ke arah luar jendela.

"Padahal tadi lo udah liat gua bahkan manggil nama gua Noe. Tapi halaman di depan lebih menarik ya, Noe?"

Tidak ada respon. Zetta duduk di samping Noe dengan terus menggenggam lengan sahabatnya itu. Tak terasa air mata Zetta luluh begitu saja ketika kenangannya dengan Noe terputar bak film di kepalanya.

"Zet, nanti gua pengen kuliah di UI deh. Sumpah ya Zet, pengen banget tau!" seru Noe pada Zetta ketika mereka sedang menonton drakor di rumah Noe.

Zetta mengerutkan dahinya. "Iya ... iya ... nanti lo di UI deh. Tapi ada syaratnya tau Noe."

"Apa Zetta?"

"Kalo temennya lagi fokus nonton drakor jangan di ganggu. Kalo di ganggu bisa bikin lo gagal masuk UI," ucap Zetta dengan serius. Kemudian kembali lagi pada drakornya.

Noe terlihat memajukan bibirnya beberapa centi ke depan. "Ah Zetta."

Zetta tertawa kecil mendapati sahabatnya itu menekuk kan wajahnya. "Iya Noe, lu pasti bakal masuk UI sastra Indonesia deh. Lo kan pinter, gua yakin pasti masuk ko."

"Lo seyakin itu gak Zet?"

"Seratus persen."

Dunia Zetta seakan kembali lagi pada kenyataannya pahit. Dia melihat wajah pucat Noe dengan seksama. Rasa rindunya pada Noe sudah di batas maksimal. Rasanya, tidak adil kalau harus Noe yang di renggut mimpinya.

"Lo pasti bakal masuk UI Noe. Lu pasti bakal sembuh. Percaya sama di lo sendiri, gua bakal usaha supaya orang yang bikin lo kaya gini bisa dapet hal yang setimpal dengan apa yang lo alami sekarang."

Noe menganggukkan kepalanya. Menoleh ke arah Zetta membuat dua pasang mata Zetta membulat kontan. Kaget sekaligus senang. "Terimakasih, Zetta."

"Noe! Noe! Lu ngomong sama gua barusan? Noe hey," seru Zetta sangat senang dengan respon sahabatnya itu.

Ini kemajuan yang sangat besar. Selama beberapa bulan ini Noe tidak pernah merespon Zetta. Untuk menatap Zetta atau sekedar melirik pun tidak. Tapi dua kata yang keluar dari mulut Noe barusan adalah kemajuan yang sangat besar.

Kini tatapan Noe sudah kembali pada spot favoritnya, halaman depan. "Gak usah bilang makasih sama gua Noe. Gua akan lakuin apapun demi itu, tolong Noe. Tolong sembuh buat gue. Tolong."

~~~

"Sudah mau pulang Kak Zetta?" tanya resepsionis kala Zetta melewatinya untuk keluar dari gedung RSJ.

"Iya Mbak, saya titip teman saya ya. Kalau ada apa-apa kaya biasa aja. Kabari saya."

"Iya kak, yang sabar ya. Semoga temannya cepat sembuh."

"Terimakasih Mbak. Mari."

Langkah Zetta terhenti kalah berpapasan dengan lelaki yang memakai seragam SMA Brinlight. Terlepas dari itu, Zetta mengetahui itu siapa.

"Siang kak Zean, mau ketemu Ibu ya?"

"Ibu?" batin Zetta.

"Iya Mbak, mari."

Zetta kembali menghampiri resepsionis kala Zean sudah pergi. "Mbak, itu tadi siapa namanya?"

"Oh itu kak Zean. Dia juga sama kaya kakak setiap hari mampir ke sini, tapi kecuali hari minggu. Memangnya belum pernah ketemu?"

Zetta menggeleng. Seingatnya dia tidak pernah bertemu dengan Zean di sini. Lagipula dia baru tahu kalau namanya Zean. Entah Zetta yang tidak ingat atau gimana. Tapi, rasanya baru kali ini.

"Oh gitu, belum pernah Mbak. Kalau gitu saya pulang dulu ya Mbak, makasih."

Zean tersenyum kala melihat sang Ibu yang sedang bermain di taman dengan kursi rodanya. "Ibu, Zean pulang."

"Kamu siapa?"

Raut wajah Zean langsung berubah ketika sang Ibu ternyata belum juga mengingatnya. "Ini Zean anak Ibu, Ibu liat nih Zean bawa apa," ucap Zean dengan suara bergetar nya menahan tangis.

Zean mengeluarkan satu coklat yang menjadi kesukaan sang Ibu ketika masuk ke RSJ. "Ibu kan suka banget sama ini, ini buat Ibu."

Ibu Zean menatap raut wajah Zean dengan seksama, seperti sedang meneliti tiap inci wajah anak semata wayangnya itu. "Ibu gak tahu kamu siapa, tapi makasih ya coklatnya."

Lelaki itu tersenyum simpul. Tak apa jika sang Ibu tidak mengingatnya sekarang. Melihatnya tersenyum saja sudah membuat Zean sangat senang. "Terimakasih ya Bu, terimakasih sudah tetap hidup."

Seperti biasanya, Zean akan menemani sang Ibu sampai menjelang malam. Jam besuk hanya sampai pukul empat, namun pengecualian untuk Zean.

"Ibu, Zean minggu depan ada tanding basket. Pengen banget Ibu liat Zean, tapi gak apa-apa kalo Ibu engga liat juga. Ibu kasih semangat ya buat Zean?"

Ibu Zean mengerutkan dahinya bingung. "Tanding basket itu apa?"

"Tanding basket itu perlombaan Bu. Nanti yang menang bisa dapet hadiah."

"Hadiahnya coklat?"

Zean tersenyum dengan menahan tangisnya. "I-Ibu bisa beli coklat yang banyak kalau Zean menang. Hadiahnya coklat Bu."

Tak terasa air matanya luluh begitu saja. Zean segera menghapusnya.

"Ko kamu nangis? Kamu seneng ya kalo menang?"

"Seneng. Soalnya bisa beliin Ibu coklat yang banyak."

"Berarti kamu harus menang."

Zean sudah tidak dapat lagi menahan tangisnya. Dia memeluk sang Ibu dengan sangat erat. Tidak peduli Ibunya akan berontak atau tidak nantinya. Zean sangat menyayangi bidadari nya ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status