Share

Ancaman dan Pernikahan

“Ayah baru tahu ternyata kamu mempunyai hubungan istimewa dengan Liam.”

Kate nyaris tersedak minumannya ketika ayahnya menuturkan kalimat tersebut. Kunjungannya ke kantor Howard Whitelaw, sang CEO, tak lain adalah untuk membicarakan tentang ide perjodohan yang tak lelah digagas ayahnya. Dia ingin ayahnya menghentikannya. Kali ini sungguh-sungguh berhenti.

Kate tak menduga ayahnya telah mendengar insiden memalukannya semalam. Agaknya, mulut pria mantan ‘calon suami’-nya tak bisa dijaga. Dia pasti sudah membocorkan informasi itu. Dari mana ayahnya tahu jika bukan saksi peristiwa itu yang berbicara? Hanya ada dia, pria itu, dan Liam yang berkepentingan dan memiliki akses langsung dengan ayahnya. Liam tidak mungkin melakukannya. Jadi, pasti pria itu pelakunya.

No, Dad. Hubunganku dengan Liam nggak lebih dari rekan kerja. Semalam Liam mabuk dan aku hanya membantunya,” kilah Kate, berharap ayahnya percaya akan kebohongannya. Tapi, hey! Dia tidak berbohong, bukan? Tidak pernah ada hubungan khusus antara dirinya dan Liam. Tidak akan pernah ada.

“Dengan berciuman?” Howard mempertanyakan inti dari insiden memalukannya.

“Dia mabuk, Dad,” ulang Kate, mengingatkan. Dia berusaha menjaga ketenangan dalam suaranya.

“Yang Ayah dengar bukan seperti itu. Ethan mengatakan kalian berciuman. Dan tidak ada yang mabuk.”

Benar dugaannya. Pria itu pelakunya. Dasar pengadu!

“Aku datang kemari bukan untuk membicarakan tentang kejadian semalam.” Kate mengalihkan topik pembicaraan mereka. “Aku ingin-“

“Ayah sudah memutuskan,” sela Howard.

Kate sedikit tergagap saat ayahnya tiba-tiba memotong ucapannya. “Ap-Memutuskan apa?”

“Kamu harus menikah.”

Kate mendengus sebal harus diingatkan perihal pernikahan, padahal sudah berulang kali dia mengatakan tidak ingin menikah. Dia sudah bersiap menyuarakan protesnya ketika ayahnya mendahuluinya berucap.

“Dan memiliki anak.”

Kate melongo dibuatnya. Seluruh kesadarannya menolak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. “Ayah bilang apa?” tanyanya, berharap indra pendengarannya salah, atau ayahnya yang salah bicara.

“Menikah dan memiliki anak.” tegas Howard.

“Ayah pasti sedang bercanda!” Kate menolak untuk percaya. Ayahnya jelas tahu ketidakinginannya untuk menikah. Tidak mungkin, bukan, pria paruh baya itu menyuruhnya mempunyai anak? Ya, ayahnya pasti bercanda.

“Ayah serius, Sayang.”

Dan jawaban sang ayah telah berhasil menyulut emosinya yang sedari tadi diredamnya. “Jangan bercanda, Dad! Aku nggak ingin menikah, apalagi memiliki anak!” Kate nyaris berteriak.

“Satu tahun.” Howard berujar, masih dalam ketenangan yang sama. Sungguh berbanding terbalik dengan putrinya yang lebih mudah meledakkan amarahnya. “Jika dalam satu tahun tidak ada tanda-tanda hadirnya cucu Ayah, seluruh saham keluarga akan Ayah donasikan,” lanjutnya, memperjelas maksudnya.

“Ayah mengancamku?”

“Iya, Sayang.” Nada suara Howard melembut, namun tetap tegas. Menghadapi putrinya yang keras kepala memang membutuhkan usaha yang sedikit ekstrim.

Kate terdiam. Dia memang keras kepala, tapi ayahnya jauh berkepala batu darinya. Sekali membuat keputusan, tidak ada yang bisa merubahnya, meskipun itu putrinya sendiri. Mungkin, cuma ibunya yang sanggup menggoyahkan pendirian ayahnya. Sayangnya, ibunya sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu. Orang yang mampu melunakkan kerasnya sang Ayah telah pergi.

Dia menghempaskan tubuhnya ke belakang. Dipejamkannya matanya untuk meredakan emosi sekaligus memberikannya waktu untuk berpikir. Dia membutuhkan rencana baru. “Apa Ayah benar-benar akan memberikan seluruh saham keluarga padaku?” tanyanya memastikan.

“Ya, apabila kamu menuruti semua persyaratan dari Ayah. Menikah dan melahirkan penerus Whitelaw.”

“Ayah nggak akan menarik perkataan Ayah, bukan?”

“Tentu saja.”

Kate menarik napas dalam. Sebuah rencana baru telah dibuat. Dan dia sudah memutuskan. “Baiklah. Aku akan melakukannya.”

“Kamu bersedia untuk menikah?” Howard cukup terkejut mendengar betapa cepatnya putrinya mengubah pendiriannya. Tahu begitu, dia menyesal kenapa tidak sejak dulu dirinya menerapkan rencana tersebut. Jadi, dia tak perlu pusing menyiapkan perjodohan untuk putrinya.

“Ya, dan melahirkan cucu Ayah. Pastikan saja Ayah menepati janji Ayah.” Kate berbalik mengancam ayahnya.

“Pasti, Sayang.”

--

Kate memijat pelan pelipisnya yang terasa pening. Percakapannya dengan sang Ayah rupanya telah berhasil menyedot seluruh pikiran dan tenaganya. Lihat, dia bahkan tak sanggup lagi membayangkan kelanjutan hidupnya di masa depan.

Menikah? Mempunyai anak?

Kedua hal itu sama sekali tak pernah ada dalam bagian rencana kehidupannya. Untuk jatuh cinta pun dia sama sekali tak pernah mempertimbangkannya. Ralat. Jatuh cinta lagi.

Sebagai satu-satunya putri ayahnya, sudah sedari kecil dia disuguhkan janji manis bahwa dirinyalah pewaris tunggal Whitelaw Corporation, perusahan keluarga yang didirikan kakeknya puluhan tahun yang lalu. Untuk itulah dia giat belajar. Dia ingin membuktikan bahwa kemampuannya memang layak untuk menjadi seorang pemimpin, bukan semata warisan jabatan secara turun-temurun—walaupun kenyataannya memang seperti itu.

Helaan napas berat keluar dari bibir Kate. Dia kembali memaksa otaknya untuk berpikir. Setelah mengiyakan persyaratan ayahnya, sekarang dia harus memikirkan bakal calon suaminya nanti. Dia tidak mau gegabah karena pria itu nantinya juga akan menjadi ayah dari anaknya. Oh, memikirkannya saja sudah membuatnya bergidik ngeri.

Tenang, Kate. Tenang.

Kate menarik napas panjang lalu mengeluarkannya secara perlahan. Dia melakukannya berulang kali hingga ketenangan kembali menguasainya.

Dia teringat ucapan ayahnya tentang ‘daftar calon suami Kate’-nya. Kelihatannya, masih banyak pria yang belum ditemuinya atau sedang menanti gilirannya untuk menjadi kandidat calon suami setelah nama-nama sebelumnya tercoret. Terang saja dia menolak mentah-mentah ide tersebut. Sudah dipaksa menikah, kemudian mempunyai anak, suaminya pun dipulihkan ayahnya. Big no! Jelas, dia tidak setuju. Dia akan memilih sendiri pasangannya. Siapa pun itu.

Tetapi, siapa?

Dia tidak memiliki hubungan yang baik dengan para pria. Mereka semua payah dan memuakkan, kecuali ayahnya—pengecualian perihal ancamannya. Dan kini dia harus mengandalkan pria-pria yang dibencinya itu untuk memenuhi keinginannya. Sungguh munafik sekali, bukan, dirinya?

Kate mendesah pasrah. Usai menyortir nama-nama pria yang dikenalnya, dia menyerah. Tidak ada yang layak menjadi suaminya. Mendekati pun tidak. Mereka sama berengseknya seperti Liam.

Liam?

Tunggu.

Lelaki itu memang berengsek—oh, ingatkan dia tentang ciuman kurang ajar Liam semalam. Namun tak dapat dipungkiri, pria itu cerdas dan berbakat. Buktinya, ayahnya lebih mempercayai Liam dibandingkan putrinya sendiri untuk duduk di jajaran elit perusahan dan mengelola Whitelaw Corp di bawah perintah langsung sang CEO. Jabatan Liam bahkan lebih tinggi darinya.

Ah, tidak. Tidak.

Kate menggelengkan kepalanya keras untuk mengenyahkan pikiran baiknya mengenai Liam. Lelaki itu memang berbakat. Tapi, pujian itu hanya berlaku untuk kemampuannya mengelola perusahaan. Selain itu, dia sampah yang cuma tahu merayu perempuan. Hampir seluruh karyawan wanita di gedung ini pernah mendapatkan rayuannya. Dan yang tidur dengannya? Kate tak mau membayangkan.

Lalu, siapa?

Siapa yang akan dinikahinya nanti?

Kepala Kate serasa ingin pecah memikirkannya. Terlalu banyak dan sama sekali tidak ada… ternyata keduanya sama buruknya. Yang satu dibuat bingung memilih. Satunya lagi bingung karena tidak ada pilihan. Benar-benar membuat dilema.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status