Share

Lelaki Mesum

Kate hanya diam mematung melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya. Bukan visi indah, melainkan adegan yang tak sepantasnya dilakukan di ruang kerja.

Dua orang itu saling berciuman. Satu tangan sang pria memegang tengkuk si wanita, sementara tangan lainnya berlabuh di pinggang ramping itu dan membawanya semakin erat ke tubuhnya. Terlihat sekali pria itu mendominasi dengan kelihaian bibirnya yang membuat si wanita semakin menikmati permainannya.

Suara peraduan bibir mereka memenuhi seluruh ruangan. Mereka saling mencecap rasa masing-masing dengan lidah yang bertautan untuk saling menggoda. Sebuah ciuman yang dalam dan panas hingga desahan sesekali lolos, meski teredam oleh gairah panas mereka.

Kate menelan ludahnya dengan susah payah. Pemandangan itu menghadirkan sensasi aneh di tubuhnya. Perutnya serasa diaduk dan bibirnya ikut mendambakan ciuman panas itu. Sialan! Dan lebih sial lagi, kenapa ingatannya kembali pada kejadian malam itu--detik-detik saat Liam menempelkan bibirnya di atas miliknya?

Dia mendengus. Mendadak, rasa kecewa merambati hatinya. Tunggu. Kecewa? Tidak mungkin. Dia cuma merasa kesal. Ya, ini pasti hanya kekesalannya karena Liam tak melakukan hal serupa padanya.

Eh?

Tidak. Ini salah.

Kate menggelengkan kepalanya cukup keras untuk menghapus pemikiran aneh yang merasuki otaknya. Liam dan ciuman panasnya. Bagaimana mungkin dia juga menginginkannya?

Reaksi Kate agaknya berhasil menarik perhatian dua orang yang kini telah melepaskan tautan bibir mereka. Kedua tubuh dewasa itu menjauh dan salah satunya tampak menunjukkan keterkejutannya melihat Kate berdiri di ambang pintu dan tentu saja, menyaksikan perilaku mereka.

Mi-Miss Whitelaw,” sang wanita yang merupakan sekretaris Liam memanggil nama Kate dengan sedikit terbata.

Mendengar panggilan itu, Kate kembali menguasai diri dan memasang raut tenangnya seolah-olah ciuman mereka tak sempat mempengaruhinya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Dia bertanya dengan nada angkuhnya.

Well, technically ini adalah kantorku,” Liam mulai menjawab.

Not you,” potong Kate cepat. Dia menatap Liam tajam sebelum beralih pada sekretaris pria itu yang berdiri canggung di dekatnya. “Maksudku kau.” Dia menunjuk sang sekretaris dengan sorot tajamnya.

“Kate,” panggil Liam pelan.

“Keluar! Sekarang juga!”

Dan sekretaris Liam pun bergegas keluar dari ruangan tersebut. Kate menanti hingga wanita itu hilang dari pandangannya dan pintu di belakangnya kembali menutup.

“Sikapmu tadi bisa menimbulkan asumsi yang salah tentang kita,” tukas Liam seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Gaya santai yang membuat Kate mendecih muak.

“Apa kamu lupa bahwa ini adalah kantor, Mr. Ortiz? Dan kamu pasti ingat peraturannya.” Kate mencibir kelakuan Liam. Lelaki itu memang tidak tahu malu. Berani-beraninya dia berbuat mesum di area kantor dan di jam kerja pula.

“Mungkin kamu sedang berkhayal. Jelas-jelas tadi aku sedang berdiskusi dengan sekretarisku saat kamu masuk tanpa pemberitahuan.”

See? Bisa-bisanya dia mengarang alasan absurd itu. Hanya Liam dan cuma dia satu-satunya yang berani melakukannya. Sekali lagi, karena dia berbakat. Perusahaannya masih membutuhkan kemampuan Liam. Oleh sebab itulah, mereka menutup mata pada keburukan Liam selama pria itu masih menghasilkan keuntungan bagi Whitelaw Corp.

Kate benci mengakuinya, tapi semua itu memang benar.

“Harusnya kamu mengetuk pintu sebelum masuk.”

Kate memutar bola matanya malas. “Sekretarismu pasti terburu-buru untuk segera berdiskusi denganmu sampai-sampai lupa menutup pintu dengan benar. Aku bahkan bisa mengintip dari luar betapa sibuknya kalian berdiskusi.” Dia berkata dengan nada sarkastisnya.

“Wah, wah. Aku nggak tahu kamu sebegitu perhatiannya pada diriku. Aku sangat tersanjung.”

Fix! Lelaki itu memang sakit.

“Perlu aku ingatkan, Mr. Ortiz. Aku bisa memecatmu kapan saja,” ancam Kate, mengingatkan Liam akan siapa dirinya.

Liam mengendikkan bahunya santai. “Silakan saja. Aku yakin Whitelaw Corporation akan mengalami kerugian besar dengan memecat talent terbaiknya,” balasnya acuh tak acuh. “Lagi pula, hanya ayahmu yang bisa memecatku.”

Kate mengepalkan kedua tangannya, geram. Pria itu selalu tahu bagaimana membangkitkan emosinya. Ah, cuma mendengar namanya saja sudah memunculkan rasa muak.

Liam bergerak untuk mengambil jasnya yang sengaja dia sampirkan pada sandaran kursi kerjanya. Dengan cekatan, dia mengenakan jas hitam tersebut sembari melangkahkan kaki ke arah Kate. “Ayo,” ujarnya tepat di hadapan wanita itu.

Bak orang bodoh, Kate membalas, “Hah?”

Sebuah kerutan tercetak di dahi Liam. “Kita mempunyai janji makan siang dengan CEO Darts Group. Kamu kemari untuk alasan itu, bukan?” Dia mempertanyakan reaksi Kate yang menurutnya janggal itu.

“Ayo, atau kita akan terlambat,” ajaknya lagi. Kali ini, dia mulai begerak mendahului Kate dengan membuka pintu kantornya dan sengaja membiarkannya terbuka sambil berucap, “Ladies first.”

Kate setengah tak percaya melihat perubahan sikap Liam yang mendadak tersebut. Dari yang awalnya terpergok tengah berdiskusi mesra dengan sekretarisnya, respon santai menghadapi ancamannya, dan kini beralih menjadi COO profesional yang tidak ingin terlambat menghadiri pertemuan bisnis. Padahal, jika dia tak menginjakkan kakinya di kantor pria itu, Kate yakin mereka akan benar-benar terlambat.

Namun, Kate sudah malas untuk mendebat Liam. Lebih cepat mereka pergi, lebih baik. Pertemuan mereka segera terlaksana, dan dia dapat secepatnya lepas dari Liam. Ralat. Bebas.

Kate berjalan melewati Liam tanpa ada niatan untuk menoleh ke arahnya, apalagi mengatakan terima kasih. Dia terus mengayunkan kakinya menuju lift, tak peduli rekan kerjanya masih tertinggal di belakang. Dan tentu saja, dia mengabaikan sekretaris Lima ketika mereka berpapasan.

“Kamu benar-benar terlihat seperti wanita yang sedang cemburu,” komentar Liam usai pintu lift yang mereka tumpangi menutup dengan sempurna.

Melalui pantulan dinding-dinding lift, Liam bisa melihat Kate meliriknya tajam. Tapi, dia mana peduli. Atau justru dia suka menyaksikan wanita itu bereaksi demikian. “Apa kamu nggak melihat ekpresi ketakutan Anna saat berpapasan denganmu tadi? Dia pasti menyangka kamu sedang cemburu padanya.”

“Yang benar saja?!” Kate nyaris frustasi karena Liam tak hentinya membuat emosinya naik.

“Maka dari itu, aku ingin menanyakan langsung padamu. Apa kamu sedang cemburu?”

Never!” tukas Kate cepat.

Liam menghela napas seolah-olah jawaban Kate memberikan kelegaan untuknya. “Syukurlah. Aku takut kamu benar-benar cemburu. Terlebih setelah insiden ciuman itu, aku sangat takut kamu jatuh cinta padaku.”

Dan Kate sungguh ingin menenggelamkan Liam ke dasar samudra terdalam agar pria itu tak pernah lagi muncul ke permukaan. Atau mungkin, dia akan meminta NASA membuang manusia memuakkan itu ke luar angkasa dan memutus kemungkinan untuk kembali ke bumi tempatnya berpijak.

Apa pun itu, asalkan Liam bisa lenyap selamanya, dia akan melakukannya. Ini juga demi ketenangan kehidupan di bumi. Kehilangan satu sosok pria seperti Liam, walaupun pengaruhnya sangat kecil, tetapi cukup membantu menciptakan kedamaian. Setidaknya, bagi Kate dan ketenangan hidup yang dia dambakan.

Setuju?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status