Semua Bab Retrocognition (Melihat Masa Lalu): Bab 41 - Bab 50
98 Bab
Wira Sadar
Aisya meneruskan langkahnya memasuki ruang perawatan Wira. Hatinya benar-benar kesal. Beruntung mamak sedang tidur, sehingga kata-kata sindirannya tadi tak didengarnya. Jika mamak sadar ia tak akan berani sefrontal itu berbahasa dengan Niken.Tas ransel yang begitu berat itu Aisya letakkan di sudut ruang. Begitu juga kantung plastik berisi makanan untuknya dan mamak. Beberapa perlengkapan mandi dan makan juga tak lupa ia bawa.“Sudah datang, Sya?” Mamak bergerak dan merenggangkan seluruh tubuhnya.“Baru aja sampai, Mak. Ini aku bawain makan siang sama cemilan. Mamak makan duluan ya, ada yang mau aku urus di bawah,” ucap Aisya ramah.Mamak mengangguk, berpura-pura tidur ternyata membosankan. Sebenarnya ia ingin sekali mendengar Aisya mengadu perihal keberadaan Niken di sisi Wira tadi. Namun ternyata perempuan itu amat dewasa dalam bersikap.Aisya melangkah cepat hendak keluar dari kamar itu, sesaat gawainya berdering. Keningn
Baca selengkapnya
Sembuh
“Masya Allah sekarang sudah berhijab. Selamat ya, Nad. Baru datang ya? Pantas aku lihat sedan hitam di parkiran,” ujar Aisya sekaligus memberi tekanan.“Sedan hitam?” tanya Wira. Pemuda itu mengernyitkan kening mencoba mengingat sesuatu.“Ah, Mbak bisa aja. Nadya bawa motor kok, Mbak. Punyanya cuma itu,” kilah Nadya.Bahasa tubuh Aisya begitu mengintimidasi. Meski ia tengah menyuapkan air pada Wira, tapi pandangannya menusuk telak ke sisi psikologis Nadya. Selain menciptakan rasa tak nyaman, Nadya juga merasa tersudut.Aisya tersenyum simpul. Ia begitu yakin bahwa sedan hitam yang ia lihat masuk ke halaman rumah sakit adalah mobil yang sama dengan yang ia lihat kemarin. Tepat seperti dugaannya, Nadya yang Wira curigai memang ada di rumah sakit ini.“Apa yang dirasa, Wir? Butuh apa lagi?” tawar Aisya penuh perhatian.“Bisa tolong lepasin selang di bawah hidungku ini, Sya. Aku sudah baik-ba
Baca selengkapnya
Riwayat
“Nadya!” seru Wira. Mamak dan Aisya terkejut. Tak pernah sebelumnya Wira berkata dengan nada setinggi ini. “Kamu kenal Firman?” Nadya tersentak, diikuti dua pasang mata perempuan yang sorotnya turut serta menghardik. Gadis itu baru menyadari ia tak mengenakan lensa kontak. Kali ini ia tak akan bisa mengelak, seperti kemarin hingga menyebabkan Wira dirawat. Gadis itu membisu, ia tak tahu harus menjawab apa. Wira di hadapannya masih terus menguliti masa lalunya yang penuh dosa. Nasibnya kini diujung tanduk. Mamak dan Aisya perlahan mendekat. Entah akan ikut mendesak, atau menjaga agar Nadya tidak kabur. “Jawab aku, Nad!” pekik Wira. “Maafin Nadya, Mas ... Mak, Mbak Aisya juga,” pinta Nadya sendu. “Ada apa ini, Wir?” tanya Mamak. Wanita ini merasa ada hal besar yang tengah dilihat anaknya dan berhubungan dengan Nadya. “Mamak tanya aja ke dia, Nadya tahu segalanya! Dia ini yang bikin aku masuk rumah sakit!” hardik Wira. Kini emosinya semak
Baca selengkapnya
Pengkhianatan
Wira dan Aisya saling tatap. Wira merasa kemampuannya melihat masa lalu amat tak berguna karena asal-usul diri sendiri tak bisa diketahui. Pantas saja terakhir ia lihat masa lalu tempat itu, ia seperti berada dalam sebuah kerajaan. Pakaiannya mewah, mungkin jika kerajaan itu masih ada ia berpotensi menjadi putra mahkota. Wira membelai janggutnya yang hanya beberapa helai. “Kakek mereka berdua berasal dari ibu yang berbeda. Mamak juga nggak tahu asalnya, tapi kakek mereka memperebutkan tahta. Namun kakek bapakmu lah yang akhirnya naik tahta. Tak lama kemudian kerajaan itu hancur setelah kedatangan Belanda,” terang Mamak lagi. “Terus? Apa sebab Firman itu kayanya benci banget sama bapak? Padahal kan kejadian itu sudah lama?” tanya Wira. “Mamak nggak tahu jelas, Wir. Walaupun dia benci, tapi bapakmu masih mengganggapnya saudara. Itu saja yang diceritakan bapak ke Mamak.” Mamak menghirup cairan di rongga hidungnya. Setiap kali wanita itu mengingat mendian
Baca selengkapnya
Pengkhianatan II
Pukul sepuluh lima belas menit pagi, Aisya tengah menyelesaikan administrasi rawat inap Wira selama dua hari. Setelah kunjungan dokter satu jam lalu, Wira dipastikan sembuh. Dokter yang memeriksa sampai terheran-heran, bagaimana mungkin patah tulang di dua lokasi dapat sembuh dalam semalam tanpa perlakuan khusus.Mamak dan Aisya tentu gembira dengan kesembuhan Wira. Apalagi Mamak yang memang amat tak nyaman biaya rumah sakit diselesaikan semua oleh Aisya. Wanita itu sudah membayangkan uang puluhan juta yang akan dikeluarkan Aisya untuk perawatan operasi patah tulang dan kemungkinan gegar otak.Aisya tersenyum memandang kartu ATM platinum yang sudah kembali ia pegang. Ayahnya sudah berjanji untuk memberikan kembali seluruh haknya bila ia sudah sembuh dari luka hati, berhasil menemukan pria yang tepat untuk pendamping hidup, dan mampu hidup tanpa sokongan orang tua.Begitu melihat kartu ATM berwarna hitam itu, petugas rumah sakit berubah ekspresi seketika. Semula
Baca selengkapnya
Ancaman
“Halo? Siapa ini?”“Kamu nggak perlu tahu siapa aku, perempuan j***ng! Aku memberimu dua pilihan, tetap di sini dan terus awasi Wira atau pulang tanpa nyawa,” suara bariton di seberang telepon itu begitu mengganggu pendengaran Nadya.“Lu ngancem gue, hah? Dibayar berapa Lu sama Firman?” hardik Nadya.Pria itu hanya tertawa, perlahan tawanya semakin kuat hingga memekakkan telinga. Nadya menjauhkan gawainya dari organ pendengaran. Lalu terdengar suara sambungan telepon terputus.“Sial! Apa-apaan ini? Nggak bener si Maya, bisa-bisanya dia lapor ke Firman!” geram Nadya.Ia bangkit dari tempatnya bermalas-malasan. Tujuannya hanya satu, menyerbu Maya. Selama ini perempuan itu ia anggap rekan dan sahabat. Ia tak menyangka Maya ingin mengambil keselamatan dirinya sendiri dan menyerahkannya sebagai korban.“May!” Nadya menggedor pintu kamar Maya. “Keluar, Lu! Lu laporin ke Firman ya ka
Baca selengkapnya
Pelindung
“Kamu beneran udah sehat kan, Wir?” tanya Aisya. Nada suaranya begitu khawatir. Namun di sisi lain ia tak bisa mencegah kekasihnya pergi, apalagi ini soal keluarga.“Insya Allah aku udah sehat, Sya. Seharusnya kami berangkat kemarin lusa, tapi karena aku masih di rumah sakit ya nggak bisa dong. Makanya mepet begini,” kilah Wira.“Ya sudah, hati-hati, Wir. Kasih kabar kalau sudah sampai ya?” ucap Aisya sambil tersenyum.“Siap, Sya. Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumussalam.” Sambungan telepon itu berakhir. Mamak dan Nadya memandang Wira dengan penuh tanda tanya. Terlebih Mamak, yang sebenarnya tak rela namanya digunakan sebagai alibi.“Cukup sekali kamu bohong pakai nama Mamak ya, Wir. Selesai antar Nadya, segera pulang!” pinta Mamak. Sejak kedatangan Nadya kemarin siang, ia sama sekali tak mau melihat wajah gadis itu.“Iya, Mak. Aku pamit ya?” Wira me
Baca selengkapnya
Perjalanan
“Jangan bangun dulu!” bisik Wira. “Pasti suruhan Firman, sial!” umpatnya.Mobil bak terbuka yang mereka tumpangi terus melesat dengan kecepatan sedang membelah jalanan yang dingin. Supir tidak tahu bahwa ada bahaya yang mengintai dua orang penumpangnya. Sementara tak ada yang bisa Wira lakukan selain menyelimuti Nadya dengan tubuhnya sendiri.Kecepatan mobil menurun, suara riuh orang-orang mulai terdengar. Beberapa aroma tercium di indera penciuman. Jalan yang dilalui cukup membuat tubuh mereka berdua terguncang ke kanan dan kiri.“Kayanya kita udah masuk pasar, alhamdulillah, sementara kita aman, Nad.” Wira bangkit. Ia perhatikan sekeliling, dan benar mobil bak terbuka ini sudah memasuki area pasar pagi.Nadya bangkit seiring dengan mobil yang berhenti di muka sebuah bangunan besar dengan slot-slot pedagang di dalamnya. Wira segera melompat turun. Pemuda itu segera mengulurkan tangannya, sebuah bantuan lain yang ia sed
Baca selengkapnya
Transit
Tiba-tiba Nadya merasa kedinginan karena kata-kata Wira. Ya, dengan kemampuannya itu dia memang tahu. Tapi apakah pantas seorang gadis yang tengah mengutarakan perasaannya hanya dibalas dengan kata-kata sedingin itu? Nadya kecewa namun segera berhasil menanganinya, ia berpengalaman soal ini.“Bukan waktunya ngomongin itu, aku curiga sama orang di belakangmu ini,” ujar Wira lirih.“Belakangku? Ada apa?” tanya Nadya panik. Baru saja bus berangkat dan belum keluar dari kompleks terminal, sudah ada sesuatu yang mencurigakan.Percakapan mereka berhenti karena seorang penjual koran, cemilan dan air mineral menawarkan barang dagangan. Wira meraih uang lima ribu rupiah dan membeli koran itu.“Bang, airnya mau satu!” pinta Nadya sambil mengacungkan jarinya pada penjual air mineral.“Enggak, Bang, nggak jadi! Maaf, ya....” seru Wira sampil menyatukan telapak tangan. Wajah penjual air mineral itu tampak kecewa,
Baca selengkapnya
Penyelamatan
“Toloooong!” sayup-sayup terdengar teriakan perempuan yang amat Wira kenal suaranya. Sumber suara berasal dari balik pintu besar ini.Wira segera membuka pintu itu. Logam bergesekan dengan logam membuat suara derit yang cukup tajam. Sepanjang penglihatan Wira hanya semak belukar yang rimbun sampai ke pagar dinding bata merah. Tapi ada jalan lagi berbelok ke balik bangunan toilet umum ini.“Astaga, itu jilbab Nadya!”Wira cepat-cepat meraih kain dengan motif bunga yang terhampar di rerumputan. Firasat Wira benar-benar buruk kali ini. Tapi ia memutuskan untuk tidak bersuara atau memanggil Nadya. Pendengarannya tak salah, tadi ia mendengar suara minta tolong tak jauh dari sini.Wira melangkah menembus rumput setinggi mata yang di beberapa titik roboh. Tak salah lagi, rumput-rumput ini baru saja terinjak seseorang. Patahan daun dan batangnya masih segar. Pemuda itu mengikuti arah robohnya rerumputan itu. Di depan sana sekitar 50 meter
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
10
DMCA.com Protection Status