Lahat ng Kabanata ng Retrocognition (Melihat Masa Lalu): Kabanata 61 - Kabanata 70
98 Kabanata
Wira Tertembak
Suara anak kunci diputar dua kali. Mamak keluar dari kamarnya dengan wajah penuh tanda tanya dan kantuk tebal. Ia jumpai putranya tengah menutup wajah dengan kedua tangan bersandar pada lemari. Jelas sekali Wira tidak baik-baik saja. Aisya muncul di belakang Mamak tanpa ekspresi yang jelas di wajahnya.“Wir ... kenapa?” tanya Mamak ragu. Aisya mengekori ibu dari kekasihnya namun belum berani bertanya apa pun. Melihat kondisi Wira yang belum pernah ia jumpai, ia belum berani bertindak apa pun.Perlahan Wira menurunkan kedua tangannya. Wajahnya memerah, ada kaca-kaca di kelopak matanya. Emosi mungkin sudah ia luapkan dengan menghantam lantai dengan tinju, namun kesedihan masih begitu ia rasakan. Dalam kalutnya ia berusaha mengendalikan sejumput perasaan pada Nadya di hadapan Aisya.“Wir?” Kali ini Mamak bersimpuh dan menyentuh bahu putranya.“Nadya meninggal, Mak,” lirih Wira. Ia menatap mata Mamak dengan penuh kesedihan
Magbasa pa
Masa Lalu Jaka
Hanya doa yang bisa dilakukan Wira untuk Nadya sekarang. Penyesalan dan amarah hanya akan memperburuk kondisi psikologisnya. Berimbas pada hal ceroboh seperti yang ia lakukan tadi malam. Beruntung ia bisa pulih dengan cepat. Kalau tidak mungkin kini ia kembali berada di rumah sakit atau bahkan liang lahat.Seperti janjinya kemarin dengan Aisya, hari ini Wira mulai menempuh pendidikan informal demi memenuhi syarat pengetahuan dan emotional question untuk memimpin perusahaan besar. Tak ada yang percaya dan menduga seorang kurir akan bernasib demikian baik. Termasuk Wira sendiri.“Mak, gimana kalau Mamak untuk sementara tinggal di rumahku? Aku takut para peneror itu datang selagi Mamak sendiri,” buka Aisya sambil membantu mengolah bahan makanan di dapur.“Mamak nggak enak sama kamu, Sya. Kamu sudah banyak banget bantu keluarga Mamak. Biar kalau Wira nggak di rumah, Mamak ke rumah Bu RT saja. Beliau sudah seperti saudara kok,” dalih
Magbasa pa
Teror
“Jek, Lu kenal Firman? Hah?”“Firman?” Jaka mencoba mengingat-ingat seseorang yang pernah ia temui. Ia sama sekali tak mengingat satu pun bernama Firman. “Enggak tuh, Wir. Firman siapa ya?”“Lu nggak usah bohong sama gue!” Wira mendekat hingga hanya berjarak beberapa sentimeter saja sari rekannya itu. Tatapannya menghardik serupa kalimatnya tadi.“Oi! Lu bedua kenapa? Santai, Wir. Semua bisa diomongin!” seru Ario segera bangkit dan memposisikan diri di antara Wira dan Jaka. Wira mendengus kesal, ia benar-benar melihat Jaka pernah beberapa kali bertemu dengan Firman.Ario mengajak dua rekannya untuk duduk kembali di dalam warung. Kebetulan warung sedang sepi sehingga mereka bisa leluasa untuk ngobrol meski salah satu dari mereka dikuasai emosi. Tatapan Wira masih saja menghardik memaksa Jaka untuk segera mengatakan hubungannya dengan pria bernama Firman.“Bilang ke gue, apa hubungan L
Magbasa pa
Mamak Diculik
Teror tak selamanya mengancam. Seperti teror yang diterima Wira beberapa hari lalu, sama sekali tak terbukti. Mamak baik-baik saja dan kini semakin dekat dengan Bu RT. Semenjak Nadya pergi dan kemudian meninggal, lalu teror terus berdatangan, Mamak memang lebih sering menghabiskan waktu di rumah tetangganya itu. Sesekali Bu RT yang datang ke rumah bila Mamak harus mengerjakan jahitan.Entah sudah berapa kali Mamak mengatakan ia perlu teman, lebih tepatnya menantu. Dari awalnya hanya sindiran, sampai terus terang meminta Wira untuk segera menikahi Aisya. Apa lagi usaha yang dijalani Wira dan Aisya dibantu Jaka dan Ario terus berkembang. Wira tak lagi seorang kurir yang tak percaya diri mampu menghidupi keluarganya sendiri.Seperti biasa Aisya datang lebih lambat dari Wira. Kadang menjelang jam makan siang sambil membawa makanan yang ia masak sendiri. Terserah Aisya, karena dia pemilik usaha ini. Dan dia sudah membayar orang-orang terbaik untuk menjalankan usahanya ini.
Magbasa pa
Reuni
Mamak meronta-ronta sekuat tenaga. Sumpal kain di mulutnya membuat perempuan paruh baya itu sama sekali tak bisa bersuara. Air matanya sudah melelah sejak tiba-tiba wajahnya di tutup sebuah kain hitam dan ia merasa diangkat ke dalam sebuah kendaraan. Hingga kini ia belum melihat siapa yang sudah melakukan hal ini padanya. Kedua pergelangan tangannya sudah perih terkekang tali tambang.“Buka!” perintah seorang pria.Mata merah dan basah milik Mamak segera terbelalak. Ia amat mengenal dua pria yang kini berada di hadapannya. Pria tambun dengan setelah hitam itu tak pernah berubah. Wajahnya tetap licik penuh kepalsuan. Sedang pria pakaian senada di sisinya tetap pendiam, namun kini ia tampak lebih berani.“Lepasin! Biadab kalian berdua! Apa mau kalian?” hardik Mamak terus meronta. Kaki dan tangan yang terikat di kursi kayu itu benar-benar membuatnya tak berdaya.“Ayu ... Ayu. Kau masih saja innocent seperti dulu. Kau ju
Magbasa pa
Bertemu Suryo
“Mau kemana, Wir?” Aisya berusaha menghalangi kekasihnya yang segera bangkit setelah meraih kunci sepeda motor. Wira begitu geram karena ibunya diganggu dan kemungkinan besar dikasari.“Tentu aja jemput Mamak, Sya!” sahut Wira tegas. Sebuah kalimat dengan intonasi yang belum pernah Aisya dengar sebelumnya.“Kamu nggak mau ditemenin atau lapor polisi?”“Sya, Mamak itu diculik. Penculiknya minta aku dateng sendiri. Aku, Mamak, kita ini sedang diawasi sekarang. Aku nggak mau ambil risiko tentang keselamatan Mamak!” tandas Wira. Ia tak ingin membuang waktu untuk berdebat sedang Mamak menunggu kedatangannya.“Keselamatanmu yang terancam, Wir? Kamu yakin pergi sendiri?” seru Aisya sambil melongok ke bawah karena Wira sudah menuruni tangga dengan setengah berlari. Wira berhenti sejenak dan mendongak ke atas.“Kamu tunggu aja di sini. Nanti Mamak aku bawa ke sini. Jangan khawatir, aku pasti
Magbasa pa
Kecemburuan Suryo
Perlahan Wira membuka matanya. Kepalanya terasa pusing namun ia pernah merasakan sakit kepala yang lebih berat dari ini. Suara isak perempuan terdengar tak jauh dari tempatnya berada. Mungkin itu tangisan Mamak. Wira merasakan tangan dan kakinya terikat di sebuah kursi kayu.“Sudah bangun, Jagoan?” suara serak pria membuat Wira segera teringat dimana ia berada.Suryo menghampiri Wira yang masih menyipitkan mata sambil menanti pandangannya kembali jernih. Pria  51 tahun itu menundukkan wajahnya hingga Wira bisa dengan jelas melihat setiap ekspresinya. Kacamata hitam mahal Suryo ia turunkan hingga ke pangkal hidung.“Sudah ku duga, kau memliki kemampuan serupa Barata. Kau tak akan mudah mati. Lukamu cepat sembuh. Benar, kan?”Tak ada satu pun kata-kata Suryo yang Wira pahami. Ia hanya diam dan memandang mata orang yang selalu ingin ia temui demi menuntut balas atas kematian bapaknya. Kini orang itu sudah ada di depan mata. Otoma
Magbasa pa
Kemunculan Melati
“Ye ... Ni bocah malah bengong!” Sebuah pukulan tongkat mendarat telak di wajah kiri Wira. Kepala pemuda itu seperti terlempar ke kanan namun segera kembali dengan darah yang mulai menetes dari telinga dan bibirnya. Mamak menjerit dan menangis. Entah sudah berapa kali ia memohon pada Suryo untuk melepaskan putranya. “Pecundang....” lirih Wira. Ia tersenyum meski tampak tak bisa. Tulang pipinya seperti tak berada pada tempat yang semestinya. “Apa kau bilang, Bocah!” hardik Suryo. Pria itu mencabut senjata api yang terselip di balik jas hitamnya. Ujung pistol itu kini menempel pada dahi Wira. “Suryo! Apa yang kau lakukan? Nggak puas kau membunuh suamiku? Hah?” hardik Mamak. Wanita itu terus meronta-ronta. Pergelangan tangan dan kakinya kini sudah terluka karena tali yang ditarik paksa. Mamak tak peduli. Jika salah satu dari dia atau Wira harus mati, maka Mamak akan lebih memilih dirinya saja. “Diam kau!” bentak Suryo dan kini ia mengarahkan pistol ke arah Mamak. Ia mendengus kesal.
Magbasa pa
Meloloskan Diri
Melati berjalan menjauh pada sebuah ruang hampa berwarna putih itu. Tak ada yg bisa Wira lakukan, karena panggilan dan seruannya diacuhkan sama sekali. Perempuan itu menghilang setelah semakin lama makin menjauh.Mamak terus saja menangis memandangi tubuh putranya yang tak bergerak. Air matanya telah kering. Meski isak terus mendera, namun tak ada lagi yang dikeluarkan dari kedua netranya."Wira! Bangun, Nak!" lirih Mamak.Pria-pria bertubuh besar sudah sejak tadi meninggalkan ruangan besar pengab itu. Kini yang tercium hanya aroma debu dan anyir darah milik Wira yang berceceran di lantai."Kamu terlalu ceroboh dengan kemampuan itu, Wir! Harusnya nggak boleh ada yang tahu!" sesal Mamak. Wanita itu kembali meronta, menggerakkan kakinya yang terikat di kaki kursi demi semakin dekat pada putranya. Usahanya sia-sia. Kursi yang membelenggunya itu sama sekali tak bergerak."Errgh!" lenguh Wira. Pemuda itu membalikkan tubuhnya dan mulai menggerakkan tangan."Wira! Kamu nggak apa, Nak?" Wajah
Magbasa pa
Melarikan Diri
Pria berjaket hitam itu terhuyung ke belakang. Tubuhnya menimpa tumpukan atap spandek tan terpakai. Tentu saja suara gaduhnya terdengar sampai ke depan. Wira tak menunggu lama. Ia segera melompat ke atas tubuh pria itu dan menghantam kepalanya beberapa kali.Mamak menutup mulut dengan kedua tangan dalam persembunyiannya. Ia tak menyangka putranya memiliki keberanian dan kemampuan untuk melakukan hal yang biasa ia saksikan di film saja. Putranya itu kini sudah berada di sampingnya menggenggam tangannya untuk bersiap melarikan diri."Mamak ikutin aku aja, jangan banyak tanya ya?" pinta Wira.l pria yang berjaga di pintu utama segera muncul. Seorang memeriksa keadaan rekannya, seorang lagi tampak memperhatikan sekitar mencari keberadaan ibu dan anak yang mereka jaga. Mereka berdua panik, karena sadar baru saja dalam masalah."Dimana tu orang dua?""Nggak ada jalan keluar di sini, dia pasti ke depan sekarang!" seru seorang pria yang baru saja selesai memeriksa rekannya. Ia lalu meletakkan
Magbasa pa
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status