All Chapters of Retrocognition (Melihat Masa Lalu): Chapter 51 - Chapter 60
98 Chapters
Wira Tertangkap
BUGH!Sebuah tinju menghantam telak perut pria itu. Ia melenguh, sebenarnya ingin berteriak namun rasa sakit itu membuat energinya habis untuk menahan rasa sakit. Cengkraman Wira di kausnya sudah terlepas. Pemuda itu membiarkannya tersungkur di lantai toilet umum.Nadya menggapit lengan Wira. Akan sangat bahaya bila emosi Wira tak terkendali di tempat ini. Tentu banyak yang mengenali pria ini. Entah itu preman atau orang yang menguasai wilayah terminal ini.“Wir, udah, mending pergi aja. Jangan cari masalah, kita bukan orang sini,” bujuk Nadya. Lengan Wira masih saja berkontraksi, efek dari telapaknya yang menggenggam kuat.“Dia juga bukan orang sini, dia orangnya Firman. Penjaga toilet yang asli dia beri uang agar dia dapat menjaga sesuka hati. Demi mencelakaimu,” sahut Wira masih dengan amarah.“Iya, Nadya paham. Tapi mungkin aja di sini masih ada orangnya Firman kan?” bujuk Nadya lagi. “Kita jangan sampa
Read more
Menghapus Ingatan
“Nurut! Atau gue bongkar isi perut Lu!” bentak pria itu. Wira semakin terpojok saja. Memanfaatkan sedikit saja kesempatan rasanya tak akan cukup sekarang.Tiga orang terakhir muncul dari balik lorong kios pedagang buah. Lengkap sudah semua yang mengejar Wira. Napas pemuda itu masih saja tersengal. Momentum menegangkan sejak turun dari bus sampai jatuh tersungkur belum sepenuhnya mampu membuat jantungnya berdetak dengan normal.“Oh, ini bocah yang punya kekuatan super?” ledek seorang yang baru datang. “Gue jadi pengen tahu apa bisa kekuatan Lu itu ngalahin kami berenam?”“Buruan, kasih tahu dimana cewek itu!” bentak seorang dengan sebatang kayu di tangan.“Kalau gue nggak mau kasih tahu gimana?” lirih Wira dengan senyum kecut di ujung bibir.“Bangsat!”Pria itu mengayunkan kayu di tangannya dengan kuat, tepat mengenai rahang kiri Wira hingga menimbulkan suara yang cukup k
Read more
Ancaman Suryo
Wira segera menutup sambungan teleponnya. Padahal ia menggunakan nomor baru, bagaimana orang itu bisa tahu? Apa jangan-jangan terjadi sesuatu pada Mamak? Pikiran Wira berkecamuk. Ia masih berdiri memandang kosong bangunan dengan kubah besar berwarna hijau di hadapannya. Tangan kanannya masih menggenggam pergelangan tangan Nadya.“Wir, kenapa?” Nadya menjajari tubuh pemuda itu.“Orang itu, kenapa bisa tahu nomorku? padahal ini nomor baru. Aku takut terjadi sesuatu pada Mamak,” ujar Wira khawatir.Jemari Wira kini mengusap-usap layar gawainya. Lalu mendial nomor wanita tercintanya. Semalam ia sudah meminta tetangga sebelah yang juga ketua RT untuk menjaga Mamak selama ia pergi. Namun tetap saja ia tak tenang.“Halo, Mak? Mamak dimana? Nggak kenapa-kenapa kan?” kejar Wira.“Apa sih, Wir? Mamak lagi metis di rumah sama Bu RT. Kenapa?” Mamak balas bertanya dengan santainya.“Alhamdulillah ...
Read more
Pulang
Dengan melumpuhkan sembilan orang yang mengejar membuat perjalanan Wira dan Nadya kali ini sedikit lebih tenang. Meski tak sampai satu setengah jam jarak tempuh, sudah cukup untuk mereka berdua memejamkan mata sekira lima belas menit.“Pasir Sakti, yo! Abis, abis!”Teriakan kondektur yang tak nyaman di telinga membangunkan Wira dan beberapa penumpang yang juga tertidur. Ditambah ketukan uang logam pada besi yang begitu nyaring. Wira menguap dan segera membuka matanya. Nadya di sebelahnya masih tertidur sambil meringkuk memeluk ransel. Dalam ruang sempit, postur 166 cm itu masih tampak nyaman.“Nad, udah sampe nih.” Wira mengguncangkan tubuh gadis itu.Nadya mengusap kedua kelopak matanya. Bangunan terminal dari seberang jendela bus ia lihat dengan haru. Tak ada perubahan berarti dari gedung ini sejak empat tahun lalu.“Alhamdulillah, sampe juga, Wir.” Nadya tersenyum. Ia setengah bangkit dan memberikan kode pada
Read more
Harapan
Bibir gadis itu tak henti-hentinya mengurai senyum. Semua momentum masa lalu yang begitu indah ia lihat di benaknya kini. Berjalan kaki sejauh lima kilometer terasa begitu ringan untuknya. Beberapa wraga yang awalnya cuek, kini mulai mengenali Nadya.Wira berjalan mendapinginya. Tak banyak yang bisa pemuda itu lakukan. Ia sibuk mengabadikan kondisi jalan dan panorama indah bukit dan laut dengan gawainya. Seorang anak yang mengendarai sepeda BMX-nya segera berteriak setelah menyadari keberadaan Nadya di desanya.“Budeee! Mbak Nadya pulang ... bawa pacarnya!” teriaknya lantang.Kayuhan sepeda kecilnya serasa tak mau berhenti. Ia berbelok ke halaman rumah panggung dengan bentangan halaman belakang yang luas dibatasi oleh bibir pantai. Ia masih terus saja berteriak di bawah rumah. Wira dan Nadya saling pandang, keduanya mengurai senyum manis.Seorang wanita berjilbab instan dan bergamis hitam keluar dengan terburu. Ia mengatakan beberapa patah kat
Read more
Ketulusan
“Assalamualaikum,” salam seorang laki-laki yang suara tak Nadya kenal. Tapi laki-laki itu masuk ke rumah dari belakang.“Wa’alaikumussalam,” balas Ibu dan Nadya bersamaan.“Bu itu tamu sia ... pa? Kak Nanad?” remaja itu berjingkat dan menghambur memeluk kakaknya. Empat tahun berlalu dan ia masih saja memanggil Nadya dengan Nanad.“Fik? Kok kamu udah lebih tinggi dari Kakak?” tanya Nadya begitu tubuh mereka saling berhimpitan. Taufik kecil yang masih setinggi dadanya saat ditinggalkan. Kini bahkan suaranya sudah seperti laki-laki dewasa.“Kak Nanad yang nyusut kayanya,” gurau Taufik. “Yang di depan itu siapa, Kak? Pacar Kakak?”“Udah kamu temuin belum? Temuin gih! Mana tahu dia berjodoh sama Kakakmu. Kan nanti kamu jadi punya kakak cowok,” ujar Ibu.Taufik melerai pelukannya dan mengangguk. Ia selalu mendambakan punya kakak lelaki yang bisa mengajarinya
Read more
Penerus
Dengan mengenakan masker dan topi milik Taufik, Wira meninggalkan Desa Pasir Sakti dengan meninggalkan banyak kenangan. Bus paling pagi ia tumpangi. Di seberang jalan ia masih melihat remaja itu memutar balikkan sepeda motor pinjaman untuk mengantarkannya ke jalan besar dekat balai desa.Sementara kakaknya ia tak ijinkan untuk mengantarkan. Ia tak ingin ada risiko yang harus ditempuh gadis itu sekembalinya ke rumah. Nadya tampak berat melepas pemuda itu. Ia bahkan diam-diam menyelinap untuk sekedar memeluk Wira tengah malam tadi.“Ah, kalau nggak ada Aisya mungkin aku benar-benar terbuai dengan cinta Nadya.” Wira tersenyum sendiri. Meski sudah memutuskan untuk bertaubat, perilaku gadis itu hanya berbeda tipis dengan menggoda.Tanpa kewaspadaan dan orang-orang yang mencurigakan, Wira merasa lebih tenang. Ia mampu menikmati perjalanan panjang ini meski bus sudah penuh sesak hingga beberapa penumpang terpaksa berdiri. Ia buka gawai dan mulai berselancar
Read more
Teror Untuk Mamak
“Tunggu, mengujiku? Penerus? Kamu ngomong apa sih?”“Nggak perlu kamu pikirin, Wir.” Kini Aisya bisa membuat kondisi yang tak bisa dikendalikan Wira. Ia memang bisa melihat masa lalu, tapi tak bisa membaca isi hati.“Udah dipikirin itu mah, Sya,” sungut Wira. Perempuan itu tersenyum.“Aku ini anak semata wayang, Wir. Papa minta suamiku dari pernikahan kedua ini harus bisa mengemban tugas menjalankan roda perusahaan yang dirintis Papa puluhan tahun lalu,” terang Aisya.Wira tak menjawab. Ada banyak hal yang ingin ia lihat sendiri perihal orang tua Aisya. Ia belokkan mobil itu ke SPBU dan mengekor di antrian. Ia menoleh ke arah kekasihnya.“Sya, aku nggak tahu apa aku mampu. Aku nggak berpendidikan tinggi, pengalaman kerjaku hanya kurir dan beberapa kali kuli bangunan. Memimpin perusahaan, apa nggak salah?” Wira coba memberi pertimbangan.“Jadi kamu nggak mau nikah sama aku?&rdq
Read more
Maling
Pukul dua puluh satu tiga belas menit, Pak RT pamit pulang, juga Kepala Lingkungan dan tetangga sekitar. Aisya akhirnya memutuskan untuk menginap. Entah mengapa tiba-tiba Mamak begitu manja. Dialah yang meminta Aisya untuk tetap tinggal menemaninya malam ini. Mungkin ada maksud lain di hati Mamak.Wira tak bisa melarang keinginan ibunya. Aisya juga sepakat untuk tinggal. Sepeninggal Nadya, Mamak memang hanya sendiri sampai Wira pulang. Itu sebab ia berkunjung ke rumah Bu RT atau sebaliknya kemarin.Wira berbaring di kamarnya sambil menatap layat gawai. Ia usap beberapa kali benda pipih itu. Tangkapan layar panggilan video antara penangkap Nadya dan Firman kemarin ia temukan. Saatnya mencari tahu informasi tentang pria yang menurut Mamak masih pamannya ini.“Bodoh! Sembilan orang melawan seorang bocah yang membawa perempuan, dan kalian dilumpuhkan? Percuma kalian dibayar mahal!” bentak Firman dengan gawai menempel di telinga kirinya.Ia terliha
Read more
Kabar Dari Nadya
Mereka berdua sama-sama terperanjat. Teriakan Wira sukses membuat pria itu lari menemui rekannya yang sudah berada di atas sepeda motor yang menyala. Dengan kasar Wira membuka grendel dan kunci pintu rumah. Membuat Mamak keluar dari kamarnya. Namun dua pria itu sudah menghilang.Wira berjalan kembali ke rumah. Ia hanya sempat mengejar sampai seberang jalan. Di ambang pintu Mamak dan Aisya menantinya dengan wajah panik dan sambil berangkulan. Tak ada apa pun di depan pintu. Batu atau apa pun yang umum digunakan untuk meneror. Wira tak mengerti apa maksud dua pria tadi.“Ada maling, Wir?” tanya Mamak dengan wajah takut, sama seperti tadi sore.“Ada kaya suara pintu dilempar batu gitu tadi, Mak. Aku intip dari jendela. Eh, ternyata tu orang ngintip juga ke dalam. Makanya diteriakin maling tadi,” terang Wira.“Nggak Lu kejar, Wir?” tanya Mamak lagi.“Ngeluarin motornya lama, Mak,” jawab Wira singkat.
Read more
PREV
1
...
45678
...
10
DMCA.com Protection Status