Semua Bab Retrocognition (Melihat Masa Lalu): Bab 81 - Bab 90
98 Bab
Momentum
“Terima kasih, Wir. Ijinin aku terlibat untuk masalahmu ini,” ucap Niken di dada Wira. Sesunguhnya Wira ingin melepaskan, namun ia melihat ketulusan pada perempuan itu dan tak ingin menghancurkan momentum.“Tapi, Ken, masalahku ini bahaya. Keselamatanmu, Pak Kamis, Yura juga bisa terancam,” sanggah Wira pelan. Ia benar-benar tak ingin merepotkan Niken dan keluarganya lebih dari malam ini.“Wir, biarkan aku membalas pertolonganmu.” Niken melerai pelukannya. Ia kini sedikit mendongak memandang wajah pemuda tampan di hadapannya. “Awalnya aku pikir bisa menjadi pendampingmu, tapi rupanya sudah ada Aisya,” lanjutnya sendu.“Pendampingku?”“Ya, nikah sama kamu, melayani kamu seumur hidup mungkin jadi satu-satunya cara biar kamu tahu aku pengen berterima kasih,” terang Niken. Kedua manik mata hitam itu sudah digenangi air mata.“Kamu tahu itu nggak perlu, Ken. Kamu nggak perlu menyerahkan dirimu untuk berterima kasih. Cukup dengan membantuku kaya sekarang, itu jauh lebih baik,” ucap Wira lem
Baca selengkapnya
Tembakan
“Eh, Wir, sorry. Kamu mau kemana?” tanya Niken berusaha mengalihkan pembicaraan yang menghunus padanya.“Aku pikir lebih baik aku di luar. Di dalam rumah cuma ada kamu dan Yura, kan?” ucap Wira tanpa sekali pun meminta Niken memvalidasi ucapannya.Wira melangkah menjauh dari pintu separuh badan itu. Dapur rumah Niken cukup luas, khas dapur di desa. Dengan peralatan sederhana dan kursi bambu menyerupai balai-balai. Bedanya sudah ada washtafle yang belum ditemukan di dapur orang desa.“Nggak lebih baik kamu di dalam aja, Wir?” tanya Niken mengekori langkah Wira.“Aku nggak enak sama Pak Kamis, Ario dan Jaka. Sekaligus jaga-jaga siapa tahu ada yang coba masuk rumah dari belakang,” dalih Wira seraya duduk di kursi bambu. Beberapa detik kemudian pemuda itu menguap.“Istirahat lah, Wir. Kalau nggak mau di dalam, rebahan aja di sini. Kamu pasti capek,” ucap Niken yang sudah duduk di sisi Wira.“Hmm, kayanya rebahan dulu deh. Aku nyaris nggak pernah nyantai seharian ini,” ujar Wira tanda setu
Baca selengkapnya
Aib Masa Lalu
Wira membuka pintu belakang rumah Niken. Emosinya sudah meninggi. Sabit di tangan kanannya terhunus siap untuk menebas apa pun yang menghalangi. Hampir seluruh yang ada di halaman belakang itu menoleh ke arahnya. Apa lagi sebab selain jeritan Niken yang melarang pemuda itu keluar.“Gue yang Lu cari! Nggak usah libatin orang lain!” seru Wira kepada seorang pria di tepi sungai. Pria itu baru saja menurunkan senjata apinya.“Bagus! Nggak usah susah kami cari Lu udah nongol sendiri!” sahut pria itu lantang seperti memanggil rekan-rekannya untuk muncul dari persembunyian.Wira memperhatikan sekitarnya. Ia melihat Pak Kamis, Jaka, Ario dan beberapa penduduk berjongkok setelah tembakan peringatan tadi. Jaka bahkan sudah menggenggam busur panah yang entah didapat dari mana. Ia berpengalaman tawuran saat duduk di bangku STM. Hal ini amat jamak baginya.Wira memberikan kode untuk Jaka agar tak menyerang. Tentu saja Jaka tak puas. Ia ingin sekali melepaskan anak panah pada lelaki bersenjata api
Baca selengkapnya
84. Istimewa
“Gue nggak papa. Udah nyantai aja!” lirih Wira sembari meringis menahan sakit di dadanya. Pemuda itu menjatuhkan sabitnya dan segera meraih tangkai belati yang menancap di dada.“Woy! Jangan bego, Lu! Jangan dicabut! Mending kita ke rumah sakit!” teriak Jaka.Sebuah teriakan yang tentu membuat warga yang ada di pekarangan belakang rumah Pak Kamis itu mendekat. Pun juga dengan Niken yang buru-buru menuruni dua anak tangga dan menghambur demi melihat kondisi Wira.“Aargh!” Wira berteriak seraya mencabut belati itu. Setelahnya ia terkulai lemas dan jatuh ke tanah.“Wira!” jerit Niken nyaris terlambat. Ia dan Jaka dengan sigap menahan tubuh bagian atas Wira agar tak jatuh ke tanah yang basah.“Pak, tolong, Pak! Bawa masuk ke rumah dulu!” pinta Niken setengah memohon.“Apa nggak langsung bawa aja ke rumah sakit, Mbak Niken?” cegah Jaka.“Rumah sakit lumayan jauh, sekitar sini nggak ada yang punya mobil buat bawa Wira. Biar saya dulu yang rawat dia di rumah. Nanti telepon ambulans aja,” ter
Baca selengkapnya
85. Bodyguard
“Siapa yang percaya, Jek? Ditembak kok nggak ada bekas luka tembaknya,” ucap Ario dan segera diamini oleh Wira.“Gue sih mau aja lapor, Jek. Tapi kan polisi butuh bukti. Sedangkan gue nggak punya. Lagian dari kemaren gue dikejar-kejar terus. Baru ini lah gue bisa ngobrol sama orang,” terang Wira seraya menerima kaus bersih dari tangan Niken.“Iya juga sih,” lirih Jaka sebagai pertanda ia menyerah berargumen.“Mending sekarang kamu istirahat, Wir. Biar kami jaga gantian,” ucap Niken menenangkan hati.Waktu di jam dinding ruang tamu pak kamis sudah pukul 2 dini hari. Jaka dan Ario segera keluar bergabung dengan beberapa warga untuk berjaga. Sedang Wira akhirnya berusaha tidur di tuang tamu. Niken masuk ke dalam kamar setelah memastikan Wira mendapatkan tempat nyaman untuk beristirahat.***Adzan subuh selesai berkumandang. Wira melaksanakan sholat wajib dua rekaat di sisi dua sahabatnya yang baru saja tidur pukul 4 pagi. Pintu rumah dikunci dan Pak Kamis sholat subuh di Musholla tak jau
Baca selengkapnya
86. Mencari Firman
Sudah dua malam akhirnya Wira bisa tidur dengan lelap. Meski kerap mendapatkan teror melalui telepon, hidupnya relatif lebih tenang setelah Aisya memilih untuk menyewa bodyguard. Dan demi menjamin keamanan, Aisya menyediakan rumah yang nyaman untuk Mamak dan kekasihnya itu. Sedang pekerjaan bisa Wira lakukan via daring.“Apa kabar rumah kita ya, Wir? Mamak masih ada pesanan jahitan yang belum kelar,” ucap Mamak setelah duduk di sofa bersebelahan dengan meja kerja putranya.“Mamak pengen pulang?” tanya Wira tanpa menoleh. Layar laptop masih menjadi pusat perhatiannya.“Kalo memungkinkan, Wir. Mamak mau batalin aja pesenannya,” pinta Mamak sendu. Sungguh tak nyaman baginya tinggal terlalu lama di rumah yang disediakan Aisya meski jauh lebih mewah dari pada rumahnya sendiri.“Nanti aku omongin sama Aisya ya, Mak? Bodyguard-bodyguard itu kan dia yang bayar,” kilah Wira.Mamak mengangguk dan meraih remot TV sekaligus menyalakan alat elektronik berlayar 32 inch itu. Sesaat kemudian sayup-sa
Baca selengkapnya
87. Maya Silvia
Sepanjang perjalanan tiga sahabat itu lebih banyak diam. Seperti tak menemukan topik yang tepat untuk dibincangkan dalam situasi seperti ini. Wira fokus pada kemudinya, sedang Jaka beberapa kali menunjukkan arah, hanya itu. Dan Ario begitu pendiam, merasa tak dilibatkan dan tak punya andil.“Ini tempatnya, Jek?” tanya Ario menjulurkan kepalanya di antara dua jok depan.“Biasa aja liatnya!” ketus Jaka sambil mendorong dahi Ario hingga pemuda itu kembali ke kursi joknya. “Parkir di situ aja, Wir, di dalem nanti susah keluarnya!”Wira mengangguk dan membelokkan mobilnya ke sebuah tanah kosong sebelum memasuki gang tempat pria hidung belang berpesta lendir itu. Seorang pria berjaket kulit dan mengenakan topi terbalik mengarahkan Wira untuk parkir dengan aman. Ia tersenyum ramah saat Wira membuka kaca mobilnya.“Bisa dibantu, Mas? Mas-nya mau cari yang gimana? Anak SMA? Mahasiswi? Mama muda? Atau yang sudah matang?” tawarnya dengan senyum yang menurut Wira begitu menjijikkan.“Eh, ini, Ban
Baca selengkapnya
88. Menjebak Firman
Maya melirik gawainya, pukul 17:42. Masih terlalu sore baginya untuk meminta bertemu dengan Firman. Kecuali pria itu yang memintanya lebih dulu.“Sebenarnya hari ini dia akan bakal dateng. Jam-jam sebelas gitu biasanya,” ucap Maya terlihat ragu.“Bener?” cecar Wira.“Lu boleh baca chat gue sama dia.” Maya menyodorkan gawainya kepada Wira.“Nggak perlu!” tolak Wira dingin. Chat seorang pelanggan dan wanita malam, pasti lah begitu vulgar dan terkesan menjijikkan. Wira sudah merasakan sendiri bagaimana rasanya berada dalam bilik bersama wanita seperti Maya ini.“Nggak bisa Lu paksa dia buat dateng lebih cepat?” tanya Wira setelah sekilas beradu pandang dengan Maya.“Ya enggak lah! Mana mau pelanggan dipaska-paksa?” gerutu Maya mulai merasa tak nyaman.“Oh ya? Bukannya Lu sempet maksa Firman dateng waktu sepi dan emang Lu butuh dia?” cecar Wira dengan tatapan penuh intimidasi.“Hah? Ya ... itu kan kondisi khusus!” kilah Maya sama sekali enggan menuruti permintaan Wira.“Terus siapa yang b
Baca selengkapnya
89. Menjebak Firman II
“Lu mau ngapain?” tanya Wira panik.“Ngapain? Ya nungguin Om Firman lah! Dia paling suka gue pake baju ini, kenapa? Jangan bilang Lu tergoda ya!” ketus Maya seraya menarik dan duduk di hadapan meja riasnya.“Dih, nggak!” sanggah Wira tegas.“Kegoda juga nggak papa sih, itu normal,” sahut Maya cepat. Ia menyapukan gincu merah di bibirnya yang sudah merona itu.“Firman udah hubungin Lu?” tanya Wira mencoba mengalihkan topik pembicaraan.“Nggak tahu!” jawab Maya singkat. Ia bangkit dan berjalan untuk mengambil tas yang tadi ia lemparkan ke atas ranjang. “Dia udah di depan, Wir!”“Hah?”“Lu sembunyi di kamar mandi sana!” titah Maya.Tanpa menjawab Wira segera melompat untuk bersembunyi di kamar mandi. Ia mengakses gawainya setelah menutup pintu. Pesan dari Jaka perihal kedatangan Firman sampai mengirimkan foto demi memastikan kalau yang datang benar-benar orang yang dicari.“Sial! Sampe nggak sadar ada pesan! Gara-gara Maya ini!” Wira menepuk dahinya sendiri. Ia menajamkan pendengarannya
Baca selengkapnya
90. Ayu, Barata dan Firman
Seorang perempuan baya keluar dari balik tirai yang membatasi ruangan itu dengan ruang belakang. Ia membawa nampan yang berisi minuman berwarna coklat terang. Sepertinya teh panas, tampak dari asap yang masih mengepul di atasnya. Perempuan itu tersenyum manis kepada beberapa orang yang duduk di sudut ruangan itu. Entah dari mana datangnya, di awal sama sekali tak terlihat kehadiran mereka.“Silahkan diminum,” ucap perempuan itu ramah.Anggukan dan senyuman masing-masing tamu yang kebanyakan lelaki mengiringi perempuan itu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi single paling kanan. Tamu perempuan hendak berucap sesuatu namun pria di sebelah kiri menghalanginya.“Ayu sedang keluar dengan temannya. Mungkin sebentar lagi kembali,” ucap perempuan itu membuka pembicaraan.“Maaf, Bu Rahmi, apa Ayu pergi bersama Barata?” tanya pria di sebelah kiri. Dia pula yang mencegah perempuan di sebelahnya bicara tadi.“Benar, bagaimana Pak Dahlan bisa tahu?” tanya Rahmi, ibunda Ayu.“Barata itu masih kemen
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status