All Chapters of FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang): Chapter 111 - Chapter 120
132 Chapters
117b. Bait-bait Curahan Hati
“Apa kau tidak dekat dengan ayahmu?” Sesaat pertanyaan itu terasa menyengat bagi Nadya. Dia sempat terpaku menatap Edwin yang memandang lekat ke arahnya. Sedetik kemudian bahunya kembali terguncang seiring air mata yang deras berjatuhan. Wanita itu menggeleng. “Ayah adalah laki-laki yang tegas. Terlampau tegas, dalam pandanganku. Sulit sekali mengubah jalan pikiran ayah. Sesulit mendekatinya,” jelasnya di antara isak tangis. Nadya merasakan genggaman di tangannya semakin erat. “It’s ok, Nadya. Aku paham perasaanmu.” Edwin menenangkan. “Lalu sekarang, apa kau masih mencintai suamimu?” Pertanyaan itu seketika membuat Nadya menoleh pada laki-laki di belakang kemudi. Pertanyaan yang sama, pun akhirnya muncul di benaknya. Apakah aku masih mencintai Pramono? Bahkan, apa aku pernah mencintainya? *** Waktu menunjukkan pukul delapan malam saat Nadya tiba-tiba merasakan melilit di lambung. Dia baru ingat tak sempat belanja sore tadi karena insiden di rumah Edwin. “Hubungi aku jika kau but
Read more
118a. Hari Pertama Kerja Bag. 1
Pagi yang sibuk. Derap langkah terdengar bising saat Nadya memasuki kantor dengan status baru. Karyawan. Bukankah itu menyedihkan? Seorang istri melamar sebagai karyawan di kantor, yang sialnya dia tidak tahu itu milik suaminya sendiri. Tidak tahu di mana dan kapan kantor itu didirikan, kecuali setelah dia resmi menjadi bawahan. Terbayang jelas di benak Nadya apa yang akan Pramono lakukan padanya untuk membalaskan kekesalan, mengingat bagaimana sikap laki-laki itu di hari mereka bertemu. “Pagi, Kak.” Sapaan Dewi membuat Nadya terenyak dari lamunan. Dia mengangguk. “Pagi.” Di ujung lorong, Hana sudah menunggunya dengan seulas senyum yang dalam pandangan Nadya terasa tak biasa. Perempuan itu mengangguk segan seakan tengah berhadapan dengan atasannya. “Kak Nadya?” sapanya. “Ya, Mbak.” Ragu-ragu wanita itu kembali bicara. “Kita ada rapat jam delapan.” Nadya manggut-manggut. “Oh, ok.” “Mari saya antar ke meja kakak dulu.” *** Waktu menunjukkan pukul delapan lebih sepuluh menit.
Read more
118b. Hari Pertama Kerja Bag. 2
Menit berganti. Pramono dan Nadya masih terjebak dalam hening, sebab memang tak ada yang ingin dia sampaikan. Dia hanya ingin berdekatan dengan wanita itu, sekedar mengobati rindu. Walau setelah melihat bagaimana perbuatan mereka kemarahan itu masih mengganjal di dadanya. Pramono menghela napas berat. “Bagaimana kabar Ali?” Nama itu pantang dia sebut kecuali untuk mengetahui bagaimana reaksi wanita di sebelahnya. Itu pertanyaan yang membuat suhu tubuh Nadya meningkat begitu saja. Diingatkan pada dosa besar yang diperbuat, mendadak dia merasa begitu panas dan gelisah. Nadya merasa dia akan diadili. “Kenapa diam?” tanya Pramono lagi. “Dia ... baik, Mas.” Tenggorokan Pramono tercekat begitu saja. Dia menelan kecut di antara senyum sumir Kedua tangan di meja menggenggam erat, sebagai upaya untuk tetap tenang. Detik berikutnya terdengar dering panjang dari saku celana Pramono. Laki-laki itu merogohnya cepat. Satu usapan sebelum benda pipih itu berpindah ke telinga. “Ya, Ratna?” Dent
Read more
119. Kenyataan yang Tersingkap
“Kak Jev?” ucap Nadya sambil mengusap sisa air mata di wajahnya. Dia tahu nama laki-laki itu saat rapat tadi. “Hai.” Laki-laki itu melangkah masuk. “Aku ditunjuk Hana untuk membantu mengarahkan kamu dalam proses editing.” Laki-laki itu mendekati Nadya yang masih duduk di kursi yang sama sejak masuk tadi. Nadya memandang Jev ragu-ragu. “Oya?” “Ya. Katanya, dia harus mengurus sesuatu.” Jev menarik sebuah kursi dan mendudukinya. “Tapi sebelum itu, kamu mungkin butuh ini.” Jevri meletakkan paper cup berisi kopi di depan Nadya. Perempuan itu segera meraihnya dan mengucapkan terima kasih. “Aku sempat melihat ketegangan di wajahmu saat berhadapan dengan Pak Pram tadi. Apa ada masalah?” Nadya sedikit terenyak. Tak menyangka ada yang menangkap ekspresi sekecil itu. Namun segera mengalihkannya. “Oh, tidak. Hanya sedikit brifing tentang aturan kantor yang ternyata banyak yang saya belum tahu.” Nadya tersenyum ragu-ragu. Namun cukup untuk menampakkan lesung pipi di sana. Jev manggut-manggut.
Read more
120a. Hukuman Untuk Nadya Bag. 1
“Jadi kau tinggal di sini selama di Bandung?” tanya Pramono tepat ketika roda mobilnya berhenti di halaman rumah yang Nadya tempati—rumah orang tua Edwin. “Ya.” Nadya membuka pintu mobil dan melangkah turun. Pramono mengikuti perempuan itu hingga teras rumah. Pandangannya mengedar memperhatikan setiap detail bangunan itu. Setengahnya penasaran dari mana Nadya memiliki koneksi hingga bisa menyewanya? Nadya berbalik. Langkah Pramono terhenti hingga nyaris menubruk wanita itu. Mereka saling memandang. Nadya berpaling. “Sebaiknya Bapak tetap di luar.” “Apa?” Pramono mendelik. Kedua mata memicing itu jelas sempat berharap lebih. “Tidak baik, atasan berduaan dengan karyawannya. Apa kata orang nanti?” Merasa telah membalas satu pukulan, wanita itu menarik sebelah bibir. Nadya beralih pada pintu dan membukanya. Sebelum berpaling tadi, dia sempat melihat ekspresi terkejut itu di wajah Pramono. Pintu terbuka. Nadya melangkah masuk dan kembali menutupnya. Tak langsung mengemasi barang yan
Read more
120b. Hukuman Untuk Nadya
“Kau pikir aku sekejam itu?” tanya Pramono sembari menarik sebuah kursi tak jauh dari Nadya. “Duduklah,” ucapnya dengan seulas senyum manis pada Nadya. Senyum yang dipaksanya untuk tampak. Hanya sekejap. Sebab tepat setelah Nadya menjatuhkan pantatnya, senyum itu lenyap. Pramono mengedar pandang ke penjuru ruangan dengan tatapan tajam pada orang-orang yang memandang penasaran. Seolah dari tatapan itu ingin mengatakan, ‘Kalian akan mati jika mengganggu istriku.’ Laki-laki itu kembali duduk. Nadya meletakkan buku di kursi lain tak jauh darinya. “Bapak tidak kejam,” ucap Nadya tanpa memandang Pramono. “Bapak hanya bos yang berhak melarang atau memberi perintah apa pun,” lanjutnya. Pramono mengangkat wajah. “Apa?” *** Pesanan tiba. Steik dengan kematangan sempurna tersaji di depan mata. Alih-alih segera mengambil garpu dan pisau, Nadya justru memandangi makanan itu. “Apa untuk memakan isi piringmu, juga harus ada perintah?” Pramono menatap wanita itu. Nadya membuang muka. Sejauh i
Read more
121a. Hukuman Untuk Nadya Bag. 3
Setelah beberapa menit berlalu—itu yang Pramono rasakan—kamar yang disewanya terasa sangat hening. Dia tak melihat pergerakan dari Nadya yang terakhir dilihatnya sedang berdiri tak jauh dari pintu. Laki-laki itu melirik jam yang masih melingkar di pergelangan tangan kiri. Waktu menunjukkan pukul setengah dua malam. Tergesa-gesa, dia bangkit. Diedarkannya pandangan ke penjuru ruangan dan berhenti tepat di depan pintu. Masih menggunakan pakaian yang sama, Nadya tergeletak berbantalkan tas dan beralaskan jaket miliknya. Pramono menghela napas lega, sekaligus ... kecewa. Tawa getir yang terdengar menyerupai deraian tangis keluar begitu saja. Menyakitkan, bukan? Istri yang masih sangat kau cintai, memilih orang lain. Dan kini, sejijik itu dia berdekatan denganmu hingga lantai terasa lebih nyaman dari tempat hangat itu di sampingmu. Pramono membuang napas lelah. Bukan ini yang dia harapkan dari keberadaan Nadya. Diusapnya sudut mata yang mendadak berembun. Dia lalu melangkah mendekati w
Read more
122. Pelajaran Berharga
Di Lampung.Pukul sembilan pagi, mobil yang mengantar Pramono memasuki area kampus. Halaman yang luas, pepohonan rindang di halaman, bunga-bunga yang menghias di hampir semua sudut, seketika menyambut kedatangan mereka. Sejuk dan asri.Di jok kiri depan, Pramono melihat Nadya mengedar pandang. Terlihat dari bagaimana wanita itu memperhatikan sekitar dengan mata nyaris membulat, dia tahu istrinya suka tempat-tempat semacam itu.Memasuki halaman parkir, tampak dua orang telah berdiri di teras depan kampus. Pramono melangkah turun diikuti Nadya. Bak artis yang kedatangannya telah ditunggu-tunggu, keberadaan Pramono langsung disambut hangat.“Selamat pagi, Kak?” sapa salah satu dari mereka. Sementara satu lagi memilih diam melainkan mengulurkan tangan diiringi senyum ramah.Pramono menyambut uluran itu tak kalah hangat. “Apa saya terlambat? Di mana lokasinya?”“Tidak, Kak. Mari saya antar.”Nadya dan Pramono melangkah mengikuti dua orang di depannya. Aula kampus itu begitu luas. Kursi-kur
Read more
123. Kecurigaan Ratna
“Tante Annisaaa ....” Teriakan Tasya seketika membuat wanita berhijab di depan meja, menoleh. Binar bahagia. Senyum mengembang begitu saja di bibirnya. “Tasyaaaa ...” teriak Annisa pura-pura histeris. “Tante kangen sama kamuuuu ...” Gadis itu merendahkan posisi tubuh, menyambut kedatangan putri dari bosnya dengan kedua tangan terbuka. Isyarat pelukan. “Tasya udah pulang?” Tasya berangsur cepat lalu mengangguk. “Dijemput bunda. Papa kok lama, Tante?” Bibir Tasya mengerucut. Sekilas itu membuat Annisa ingin menggigitnya karena gemas. Mendengar pertanyaan itu, Annisa mengangkat wajah. Memandang wanita cantik yang berdiri di belakang bocah itu. “Papa kan baru pergi kemarin, Kak. Hari ini baru dari sana.” “Masih lama ya, Tante?” “Um .... Mungkin sebentar lagi,” Annisa mengusap pipi bocah itu. “Tasya mau es krim?” “Mau. Mau. Mau.” “Ayo kita beli es krim!” Lincah, Tasya mendahului langkah. Sementara Annisa dan ibu sambung gadis itu menyusul di belakangnya. Hening dan canggung. Awaln
Read more
124. Satu Malam Bersama
Perjalanan ke Bandung masih lama. Ada yang berat di pangkuan, tapi Nadya tak bisa mengatakan jangan.Memandang dari dekat wajah pucat Pramono, hangat kembali merebak di kedua matanya dan nyaris menitik. Nadya menahan dengan menggigit bibir yang bergetar itu. Lalu seperti itu belum cukup, satu tangannya terangkat begitu saja, menutupi dengan punggung tangan agar jangan sampai terdengar isak.Ada yang mengganjal besar di dada. Menghadirkan penyesalan mendalam, namun dia tak tahu yang mana. Nadya merasa melakukan begitu banyak salah pada laki-laki itu dan keluarganya. Mempermalukan nama baik orang tua dengan perilaku yang tak bisa dimaafkan.Dari kaca spion, Nadya sempat menangkap Mardi mencuri pandang. Tentu saja, orang baru macam apa yang berhasil mendapatkan kata rindu dari atasannya, jika bukan seseorang yang dikenal baik? Bahkan mungkin sangat baik.“Pak, saya butuh penurun panas. Bisa minta tolong belikan di apotek sebentar?” Nadya memandang laki-laki di jok kemudi dari pantulan ka
Read more
PREV
1
...
91011121314
DMCA.com Protection Status