All Chapters of Bukan Perawan Tua: Chapter 41 - Chapter 50
73 Chapters
Rambut Baru
"Bunda, nacinya tumpah." Aku mengangkat wajah. Sejenak melihat Alvin yang tengah lahap makan sendiri. Kuusap kepalanya sekilas. Lalu mencubit pipinya dengan gemas. Bukannya lantas menyendok makanan, pikiranku kembali melayang. Sebuah sentuhan lembut perlahan kurasakan pada tangan yang tengah memegang sendok. "Kamu kenapa?" Rafael bertanya pelan. Untuk beberapa saat, aku justru memandangi wajahnya yang kini brewok. Semakin tampan saja dia. Dulu seperti orang Korea, sekarang entah bagaimana bisa jadi seperti aktor India. Ah, sepertinya aku sudah gila. "Hei, ditanya, kok, malah bengong? Kamu kenapa?" Tangan kiri kuletakkan di atas tangannya yang berada di tangan kananku. Tangan kami jadi bertumpuk-tumpuk. "Aku nggak papa, kok, Mas. Aku cuma ngga nafsu makan aja." Dia menyelipkan rambutku di belakang telinga. Lalu sejenak mengusap pipi. Rasa hangatnya menjalar sa
Read more
Ceroboh
Usai dari salon, aku mengajak Alvin keliling mall. Bocah itu paling suka jika naik eskalator. Katanya dia terbang. Ada-ada saja. Padahal, kan, tangganya yang bergerak. ** Hari beranjak siang. Matahari yang bersinar terik, sungguh menyengat seakan siap membakar kulit siapa saja yang tidak memakai pelindung. Aku dan Alvin baru keluar dari mall selesai makan dari sana. Bocah itu merengek kelaparan. Sungguh menggemaskan. Baru saja membuka pintu mobil, ponselku berbunyi. Ada panggilan video dari Rafael. Oh, iya. Aku lupa kalau ini waktunya kami berdua saling menyapa. "Hai!" sapanya di sana. "Hai, juga!" "Eh, ini siapa, sih? Tante Mayang, bukan? Kok cantik amat?" Aku tersipu. "Apaan, sih? Ini buat balikin mood lagi. Keren nggak?" "Bukan keren, tapi cantik. Cantik banget." Aih! Aku m
Read more
Nggak Jadi Marah
"Sudah, Raf! Kamu ini kenapa? Kejadian yang menimpa Alvin itu musibah. Jangan marahi istrimu seperti itu." Ibu mertua membelaku. Tapi tetap saja rasanya sesak. Akhirnya air mataku jatuh juga. Makin lama aku malah terisak. Ah, malu sekali di depan Ibu menangis seperti ini. Aku berlari keluar. Berniat mencari toilet terdekat. Entahlah bagaimana rupaku saat ini seperti apa. Yang pasti aku sangat menyedihkan. Tampak dari orang-orang yang menatapku heran. Di sana, aku melihat ada toilet. Aku bergegas masuk. Tangisku tumpah di sana. Aku sampai sesenggukan. Sudah aku bilang, aku sangat takut jika Rafael marah. "Eh, Mas mau ngapain masuk toilet cewek? Mau macem-macem, ya?" Tangisku terhenti saat mendengar keributan di luar sana. "Istri saya ada di dalam. Saya cuma mau lihat dia." "Hoalah, Mas-Mas! Istri pergi ke toilet aja pakai disusul segala. B
Read more
Mengurus Mertua
Suasana pagi ini sedikit berbeda. Aku jadi lebih sibuk. Selain mengurus Alvin, aku juga harus mengurus Ibu mertua. Baru kali ini aku merasa benar-benar menjadi seorang menantu. "Katanya kamu carikan perawat buat Ibu, May. Nanti kamu terlambat pergi kerjanya." Ibu Rafael menatap heran saat aku menyuapi beliau sarapan. "Orangnya belum datang, Bu. Lagian aku juga nggak setiap hari bisa ngurus Ibu kayak gini, kan." Aku tahu beliau merasa sungkan. Mau bagaimanapun aku berusaha menepis perbedaan kami, tetap saja di mata beliau kami berbeda. Kami adalah si kaya dan si miskin. "Ibu bisa makan sendiri, May. Kamu berangkatlah kerja. Ibu nggak enak kalau kamu terlambat nanti." Lagi, Ibu memintaku pergi. Aku menghela napas. "Sudah, Ibu habiskan dulu makannya, ya. Nanti kalau aku udah berangkat kerja, Ibu minta tolong sama perawat saja. Sebentar lagi dia pasti sampai." Se
Read more
Bertemu Ammar Lagi
 Kami sama-sama pamit pada seisi rumah sebelum berangkat kerja. Yang paling membuatku berat meninggalkan rumah, ya, si kecil Alvin ini. Meski kadang bikin geregetan, tapi lebih sering bikin gemas. "Bunda kerja dulu, ya, Nak. Baik-baik di rumah. Nanti jangan lupa suapin Nenek, ya," pesanku padanya. "Oke, Bunda!" Dia mengacungkan jempolnya. Di sela langkahku dan Rafael, tak sengaja kedua tangan kami saling bertaut. Ah, ini sepertinya disengaja olehnya. Aku dan Rafael menoleh di waktu yang bersamaan. Senyum sama-sama terbit dari bibir kami. Entah bagaimana, cinta di antara kami semakin lama semakin kuat. Mungkin salah satunya karena adanya Alvin juga. Kami masuk mobil yang sama. Sedikit mencondongkan badan, Rafael memasangkan sabuk pengaman padaku. Mendadak dadaku jadi berdebar-debar. "Hm ... sok romantis ini ceritanya," sindirku. 
Read more
Pesan dari Siapa?
Aku masih memegangi kepala yang berdenyut saat kaca mobilku diketuk-ketuk dari luar. Kubuka pintu mobil untuk menemui orang tersebut. Rasanya ingin kumaki-maki orang itu. Sudah jelas aku menghidupkan lampu sein. Apa dia tidak melihat? "Ammar? Kamu yang nabrak mobilku tadi?" Setelah melihat orangnya, kutelan kembali makian yang hampir saja terlontar. "Maaf, May. Aku buru-buru tadi." Aku mengernyit heran. "Bukannya tadi kamu bilang mau ketemu klien? Kenapa bisa ada di belakangku?" "Ya, benar. Klienku mengubah lokasi pertemuan kami. Aku sekarang menuju ke sana. Makanya buru-buru." "Oh." Tanganku kembali memegangi kepala. Rasanya makin lama makin pusing. "Kepalamu berdarah, May. Ayo kuantar ke dokter." Aku menggeleng. "Nggak perlu. Aku harus bergegas. Masalah mobil nggak usah dipikirin. Akan aku bawa ke bengkel sendiri na
Read more
Mati Lampu
"Nomor siapa, ya? Apa mungkin teman lamaku?" Rafael tampak berpikir. "Coba kamu balas. Siapa tahu penting." Aku berpendapat. "Ide bagus." Rafael baru saja akan mengetik balasan, tapi gerakan jarinya berhenti. "Kenapa?" tanyaku penasaran. "Lah, ini maksudnya gimana? Nanya kabar ujug-ujug ngeblokir." Rafael menggaruk kepalanya. Nomornya diblokir? Aneh sekali. Lalu apa maksudnya mengirim pesan jika belum mendapat balasan sudah main blokir? Perasaanku berubah tak enak. Apa ini ada kaitannya dengan teror itu? Aku menggeleng. Jika selalu mengaitkan hal dengan teror dan orang misterius itu, aku bisa gila sendiri. "Udah lah, Mas. Biarin aja, sih. Mending kita tidur aja, yuk!" ajakku sembari merebut ponselnya. Kuletakkan benda pipih itu di atas nakas. Baru akan merebahkan badan, Rafael menarik tanganku hingga duduk kembali.&nb
Read more
Nenenin
"Bentar, Mas. Ini kira-kira yang mati lampu di rumah kita aja apa semua, ya?" "Nggak tahu aku. Udah, yuk, balik ke kamar aja. Nyalain ponsel kamu." Dia masih menggelayut di tubuhku dengan erat. "Aku nggak bawa ponsel, Mas." Dia mendengkus. "Terus gimana caranya kita jalan sampai kamar?" Sebuah tepukan di pundak seketika membuat bulu kuduk berdiri. Aku menelan ludah dengan susah payah. Apa lagi sekarang? "Sayang, ini siapa yang nepuk pundak?" Rafael juga mengalami ternyata. Kupikir hanya aku saja. Aku menghela napas. "Nggak tahu, Mas." Seketika pikiranku teringat pada film horor yang sering kutonton. Biasanya, pemeran utama akan terjebak dalam situasi ini. Mereka berbalik, lalu setannya muncul. Astaga! Rasanya aku ingin pipis sekarang. Seperti diberi kode, aku dan Rafael perlahan berbalik bersamaan. 
Read more
Sama-Sama Bocah
Alvin mengangguk-angguk yakin. Padahal ucapannya itu jelas salah. Typo yang meresahkan. "Tuh, Bunda. Dengerin kata Alvin. Bunda harus nenenin Ayah." Rafael memberi dukungan. Aku mendelik sebal. Ayah sama anak sama saja. ** Seperti permintaan Alvin, hari ini aku stay di rumah untuk menemani Rafael. Catat, ya! Menemani, bukan meneneni! Bocah itu tak mau jauh dari Ayahnya. Dia tetap berada di pelukan Rafael. Di atas perut laki-laki itu lebih tepatnya. Keduanya terlihat sangat romantis. Ah, rasanya aku jadi diasingkan begini. "Ih! Alvin, kok, dari tadi Ayah terus yang dipeluk? Bundanya enggak?" Aku bersuara setelah hanya diam mengamati mereka. "Enggak. Bunda, kan, nggak akit." Aku mendengkus. Rafael mengejekku dengan semakin mempererat pelukannya pada Alvin. Aku beranjak dari sana. "Bunda pergi kalau gitu. Mau beli laruta
Read more
Siapa Dia?
Belum sempat kami balas, pesan kembali masuk. [Maaf kemarin aku masih terlalu gugup buat berbalas pesan sama kamu, jadi aku blokir tiba-tiba.] Aku dan Rafael saling pandang. Aku pikir juga, kami memiliki pikiran yang sama: takut. Entahlah. Aku takut dengan kehadiran Talita lagi. Rasanya hidupku seperti terancam. "Akan aku blokir nomornya." Jemari Rafael bergerak cepat di atas layar ponsel. Aku sendiri masih tercenung. Masih tak menyangka kalau Talita bisa keluar dari penjara secepat itu. "Aku takut." Akhirnya setelah lama diam, dua kata itu meluncur dari bibirku. Kurasakan usapan lembut tangan kekar Rafael di pundakku. Usapan yang biasanya bisa membuatku langsung tenang, tapi kini rasanya tetap saja aku ketakutan. "Sudah. Jangan terlalu dipikirkan. Siapa tahu Talita sudah berubah. Siapa tahu dia mendapat pelajaran berharga di dalam penjara sana." 
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status