All Chapters of Keris Bunga Bangkai: Chapter 21 - Chapter 30
197 Chapters
21 - Akhir Dari Panji Keris Bertuah
Sabdo yang baru pulih dari pingsannya, membuka matanya dengan pandangan yang masih kabur. Dengan tubuh yang masih tergeletak di atas tanah, dia sedikit menegakkan kepalanya melihat keadaan di sekelilingnya. Mayat bergelimpangan ke mana pun dia mengarahkan pandangannya. Tak ada seorangpun yang masih berdiri, kecuali seorang pemuda di depan kuda yang ditunggangi panglimanya. Tiba-tiba, tubuh sang panglima mulai rebah ke arah kanannya, membuat kuda yang ditungganginya kaget dan panik. Teriakan kuda itu menyadarkan Rangkahasa. Dia tersungkur dan menghempaskan pinggulnya di tanah karena kaget oleh kuda yang meringkih keras sembari mengangkat-angkat kakinya.  “Apa yang terjadi?” gumamnya dalam hati, nampak sangat kaget dan ketakutan.  Sialnya, salah satu kaki Adipati Labdajaya masih tersangkut di pijakan kaki pelana kuda. Tak ayal, tubuh tak berkep
Read more
22 - Rintihan Kepala Tanpa Badan
Meski sore belum lama berlalu, namun kondisi hutan di lereng gunung Jompang sudah sangat gelap. Pohon-pohon berkanopi yang lebat itu membuat kawasan hutan yang lebat itu menjadi sangat basah dan dingin. Rangkahasa tengah belari sendirian sembari memegang satu pedang hitam yang masih basah berlumuran darah. Sudah cukup lama dia melarikan diri dari markas Panji Keris Bertuah. Namun anehnya darah yang melumuri pedang itu belum juga mengering.  “Pergi! Pergi!!!” teriaknya, sembari terus menebaskan pedang itu berkali-kali.  Pedang itu basah bukan oleh darah dari kepala Adipati Labdajaya yang sudah dipenggalnya. Akan tetapi, pedang itu basah berlumuran darah dan daging berlendir dari dedemit hutan yang dibantainya. Saat ini dia masih harus menyelamatkan dirinya dari kejaran para dedemit yang sudah mulai bermunculan. Seiring hari semakin malam, sema
Read more
23 - Ratapan Tangis Siluman Kelabang
Dua tentakel itu lansung melilit kedua kaki Rangkasa, menariknya dan membuat dirinya langsung tersungkur. Sebuah capit tajam nampak bergerak-gerak di bagian ujung tubuh kelabang raksasa tersebut. Sementara itu, tentakel tersebut terus menyeret Rangkahasa ke arah capit tersebut.  “Begitu lebih baik, semua akan selesai dengan cepat jika kau tidak melawan,” ujar siluman kelabang tersebut.  Namun Rangkahasa langsung menggunakan pedangnya untuk menebas kedua tentakel berlendir tersebut. Siluman kelabang itu langsung memekik begitu dua tentakel itu putus ditebas oleh Rangkahasa. Kepala-kepala buntung di kaki kelabang raksasa itu ikutan histeris mendengar pekikan siluman tersebut. Begitu dia terlepas, Rangkahasa langsung merangsek, mendorong-dorong tubuhnya dengan kaki berusaha menjauhkan dirinya.  “Siapa sudi jadi tapal kaki jelekmu itu,” ujar
Read more
24 - Hentikan Siksaan Itu!
Rangkahasa tahu tubuhnya sudah begitu kelelahan. Namun dia juga sadar bahwa ini adalah kesempatan yang terbaik baginya. Dia pun memaksakan dirinya mengambil resiko untuk kembali menyerang siluman kelabang raksasa tersebut.   Rangkahasa berlari ke arah pohon beringin besar yang ada di dekatnya. Dia pun melangkah beberapa kali mendaki batang pohon itu dan kemudian melompat ke arah kelabang raksasa tersebut. Dengan begitu nekatnya, dia mengapitkan pahanya begitu dia mendarat di kepala siluman tersebut.     “Apa yang kau...”     Craassssh!!!     Rangkahasa langsung menghujamkan pedangnya pada wajah yang berada di dalam rongga mulut yang besar itu. Dia sama sekali tak memiliki waktu untuk mendengarkan ratapan siluman itu. Dia terus saja menghujamkan pedangnya berkali-kali tanpa ampun.   Namun bukan hanya siluman kelabang itu saja yang tersiksa. K
Read more
25 - Pengorbanan Kecil Dari Jiwa Yang Besar
Rangkahasa langsung bertekuk lutut di depan bangkai siluman kelabang yang baru saja dibunuhnya. Tubuh kelabang raksasa itu tak lagi bergerak barang sedikit pun.   Sementara itu, nafasnya terdengar begitu lemah dengan ekspresi wajah yang begitu pasrah karena saking lelahnya.     “Syukurlah, akhirnya binatang menjijikan itu mati juga. Aku benar-benar sudah tak kuat lagi,” keluhnya nampak semakin tak berdaya.     Roh-roh dari potongan kepala itu masih mengambang mengitari Rangkahasa. Mereka nampak berusaha bertahan di sana seperti ingin menyampaikan sesuatu padanya. Namun sebagian dari mereka sudah mulai terurai di udara tanpa sempat mengatakan apa-apa.     “Semuda ini sudah menjadi incaran iblis,” ujar salah satu dari mereka, menghampiri Rangkahasa dengan tatapan sendu.“Aku hanya bisa berharap kau bisa menemukan sesuatu yang berarti di tengah kehidupanmu yang
Read more
26 - Beratnya Beban Dan Godaan
Rasa lapar, haus, kantuk, serta beban mental yang dialami Rangkahasa sudah mencapai titik kritisnya. Tak ada yang bisa dimakannya. Tak ada juga terdengar olehnya suara gericik air sungai di sekitarnya. Dia juga membutuhkan istirahat seperti halnya dia butuh makan dan minum.   Hanya saja, dia tak mungkin langsung saja tidur di sana. Kawasan itu masih nampak gelap karena lebatnya hutan. Masih terlalu beresiko baginya untuk bersikap abai dengan keadaan di sekelilingnya.   Setelah cukup lama berjalan tertatih, akhirnya Rangkahasa menemukan satu pohon pisang yang kebetulan sudah berbuah cukup ranum. Dia pun mencoba menggapainya, namun tak tergapai. Rangkahasa begitu kelelahan untuk melompat, sehingga dia memilih untuk menebas pohon itu dengan pedangnya.     “Entah kenapa, pedang ini terasa semakin berat saja,” gumamnya sesaat sebelum mencoba menebas pohon pisang tersebut.     Kar
Read more
27 - Rasa Takut Dan Curiga
Rangkahasa kembali mendekati gadis tersebut. Dia tahu tempat itu masih terlalu berbahaya untuk meninggalkan seorang gadis pingsan begitu saja. Dia mengambil salah satu kain panjang yang dibawa oleh gadis tersebut, dan kemudian menggunakannya untuk melilitkan pedang damaskus itu di pinggangnya.  “Semoga saja tubuhnya tak terlalu berat,” gumamnya, sembari mengencangkan lilitan kain tersebut.  Dia mulai menyelipkan tangannya ke bawah tubuh gadis tersebut. Setelah itu Rangkahasa berusaha untuk mengangkatnya. Cukup sulit baginya untuk mengangkat gadis tersebut. Bahkan ketika dia berhasil berdiri, tubuhnya nampak sempoyongan. Dengan pelan Rangkahasa berjalan menuju ke arah rumah yang terlihat olehnya di balik rumpun bambu tersebut. Dia semakin kesulitan ketika harus menapaki jalan yang cukup miring. Ketika sampai di perkarangan rumah tersebut, Rang
Read more
28 - Segudang Tanda Tanya
Namun setelah itu Rangkahasa hanya diam saja. Dia sama sekali tak bergerak, tak juga nampak sadar. Laki-laki paruh baya itu mencoba menggoyangnya sedikit dengan kakinya. Tak ada reaksi sama sekali dari Rangkahasa. Begitu pelan laki-laki paruh baya itu mendekatinya dan kemudian mengambil pedang milik Rangkahasa. Baru kemudian dia memeriksa keadaan remaja tersebut. “Bu, anak ini terluka,” jelasnya. “Bagaimana, Pak? Apa kita rawat saja?” tanya istrinya. “Yang jelas dia bukan dedemit, cuma remaja biasa,” balas si suami sebelum menitipkan pedangnya serta pedang Rangkahasa pada istrinya tersebut. Lalu laki-laki itu mengangkat tubuh Rangkahasa, berniat membawanya masuk ke dalam rumahnya. Namun istrinya nampak ragu dengan keputusannya. “Bapak mau membawanya ke dalam rumah? Bagaimana jika Lastri melihatnya terus pingsan lagi?” tanya si istri sedikit ragu. Laki-laki itu menoleh ke arah dua bangunan kayu lainnya, lumbung ternak dan dapurnya. Sedikit ragu sesaat, dia pun membawa Rangkahasa
Read more
29 - Rembulan Yang Redup
Sudah seharian Rangkahasa belum juga sadarkan diri. Anak gadis bernama Lastri itu sesekali mengintip ke dapur karena penasaran. Dia sudah memastikan sebelumnya kalau Rangkahasa bukanlah setan atau dedemit. Tapi dia tetap saja kembali datang mengintip beberapa kali ke sana.   Ibunya yang sedang sibuk memeras parutan kelapa tentu sudah menyadari tingkah gadis itu sedari tadi. Dia nampak tersenyum sedikit jenaka melihat kelakuan Lastri yang aneh tersebut. Namun dia mengerti juga kondisi Lastri yang sudah begitu lama tak bertemu orang lain selain dia dan suaminya.   Dia pun menoleh, memergoki Lastri yang berdiri di balik jendela dan membuat gadis itu sedikit salah tingkah.     “Kenapa kamu berdiri di situ? Ke sinilah, bantu Ibu di dapur,” serunya.     Lastri pun masuk ke dapur, masih mencuri-curi pandang penasaran ke arah Rangkahasa. Setelah itu dia duduk di dekat ibunya, sama s
Read more
30 - Trauma
Malamnya Rangkahasa ikut makan bersama Waradana dan keluarganya. Dia terlihat sangat sungkan, membuatnya bertingkah kikuk dan serba salah. Namun Waradana mengalihkan perhatian Rangkahasa dengan obrolan ringan untuk membuatnya merasa nyaman.     “Jadi, dari mana kamu berasal?” tanya Waradana.     “Dari desa Talang Asri,” jawab Rangkahasa.     “Desa Talang Asri? Bukankah itu desa di perbatasan bagian timur Kerajaan Cakradwipa?” tanya Waradana beretorika.     “Benarkah? Aku tak begitu ingat,” balas Rangkahasa nampak bingung dan kikuk.     Reaksi bingung Rangkasaha sedikit membuat Waradana penasaran. Begitu juga dengan Arsih. Sementara Lastri masih saja menundukkan pandangan, tak jelas apa yang sedang dipikirkannya.     “Sudah lebih dari tujuh tahun aku tidak ke sana,” lanjut Rangkahasa
Read more
PREV
123456
...
20
DMCA.com Protection Status