All Chapters of Ibu, Aku Mau Ayah: Chapter 41 - Chapter 50
140 Chapters
Bab 41. Ada Apa Denganmu?
Detik itu juga pandangan Rima tertuju pada Vernon. Dia kaget dengan reaksi Vernon. Dia marah karena perkataan pegawai pria itu? "Maaf, Pak! Ga nyangka saja, saya digandengkan dengan Adisti. Bisa saingan sama Pak Ryan. Hee ...." Pegawai itu menggaruk kepalanya. Dia masih saja bercanda. "Haa!! Uhuuu!!" Sahutan terdengar dari pegawai lainnya menyoraki candaan itu. "Ryan apa? Sembarangan kamu ngomong. Kamu kalau komentar dipikir!" Kalimat Vernon makin tajam. Mata Rima juga makin dalam menatap padanya. Vernon membela Adisti atau bagaimana? Di depan para karyawan itu? "Iya, kamu ... gurau aja. Lihat sikon, dong!" Kembali terdengar ada yang berkomentar. Adisti senyum-senyum tidak jelas. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa di tengah situasi itu. Dia melirik pada Vernon dan Rima. Rima terlihat tenang, sedangkan Vernon, wajahnya berubah ketus dan sedikit memerah. "Oke, kita balik ke topik saja. Bisa, ya?" Rima harus bisa menahan diri dan tidak terpancing. Di depan para pegawai itu dia t
Read more
Bab 42. Dikejar Cinta Pak HRD dan Pak GM
"Kamu kenapa? Tegang sekali." Ternyata Lestia yang muncul. Adisti tersenyum kecut. Dia mencoba bersikap wajar, segera dia memutar otak, Agar bisa memberi jawaban yang masuk akal. "Ini, kepikiran mau ketemu dosen pembimbing, Mbak. Ga gitu yakin yang aku serahkan akan maksimal." Adisti akhirnya menemukan juga jawaban. "Tenang saja. Dosen ga bakal marah asal kamu udah berjuang. Apalagi kalau kamu rajin bawain sesuatu saat bimbingan." Senyum Lestia nongol. Kedua alisnya dia gerak-gerakkan beberapa kali. "Wah, bagi pengalaman, nih." Ketegangan Adisti berkurang. "Hm, it is true." Lestia mengangguk. "Oya, bantu aku setelah ini bisa?" "Bantu apa, Mbak? Aku masih ngerjakan yang Pak Angga perlu. Harus selesai paling lambat besok pagi. Padahal setelah ini aku mesti meluncur ke kampus," jelas Adisti. "Gitu?" Lestia sedikit kecewa. "Kalau besok pagi? Soalnya aku juga ga mau urusan ini mundur lagi kelarnya. Kalau udah urusan sama Pak Angga?" "Bisa, Mbak. Jam delapan aku pasti udah di sini. M
Read more
Bab 43. Penghiburan di Hari Penuh Ketegangan
Dengan perasaan masih kesal Adisti meluncur menuju ke kampus. Tidak ada waktu meladeni calon istri Vernon yang sok ngatur itu. Adisti makin tidak suka dengan Rima. Selama ini kesan negatif yang memang bersarang di hati, Adisti selalu coba tepis. Seburuk-buruknya Rima, dia pasti punya sisi baik. Itu sebabnya Vernon masih bersedia kembali pada wanita itu. Namun, semakin hari justru kenyataan yang Adisti temui menguatkan dia kalau Rima memang tidak seharusnya berada di sisi Vernon. Vernon terlalu baik. Dia perlu pendamping yang mengerti dirinya, setia, dan tidak membuat hidup pria sesibuk Vernon makin ribet. Adisti berjalan cepat menuju ke ruangan Prof. Hamdani. Dia sudah terlambat lima menit. Dosen senior yang satu ini sangat disiplin. Dia tidak akan menolerir keterlambatan. Adisti mulai tidak tenang. Dia harus menyiapkan diri disemprot lebih dulu sebelum akhirnya mulai pembimbingan. "Ah, sampai juga." Adisti berkata lega. Adisti berdiri di depan ruangan Prof. Hamdani. Pintu ruangan
Read more
Bab 44. Nyak Sihir Bikin Rempong
Adisti sangat kaget. Tanpa ada pesan apa-apa, tiba-tiba Vernon mengirim makanan kesukaan Felicia. Jujur saja, Felicia memang jarang bisa makan pizza."Bukan itu, Pak." Adisti merasa sangat tidak enak dengan yang Vernon lakukan. "Saya minta maaf, tapi saya minta tolong, tidak perlu mengirim makanan buat Cia.""Kenapa? Jelaskan, jangan berputar-putar." Vernon ingin Adisti menjelaskan secara gamblang."Saya cuma pegawai Bapak. Cia tidak ada hubungan urusan saya bekerja dengan Bapak. Ini tidak ... bukan ..." Adisti mulai bingung mencari kata yang tepat untuk menjelaskan."Kamu takut ada yang tahu kalau aku kirim Pizza sama Cia? Lalu mereka akan berpikir aku mendekati kamu melalui Cia? Atau sebaliknya, kamu mendekatiku dengan memperalat putrimu?" Vernon sudah bisa menebak apa yang ada di kepala Adisti.Adisti membenarkan yang Vernon katakan. Itu yang dia kuatirkan. "Pak, saya ingin bekerja dengan tenang, menata masa depan saya dan Cia. Saya berterima kasih masih bisa terus bekerja selama in
Read more
Bab 45. Tangis Derai Adisti
Adisti mendekap dada dengan sebelah tangan, sementara tangan satu lagi masih memegang ponsel, meskipun dia merasa jari-jarinya mulai lemas. "Kenapa, Bu? Cia kenapa?" tanya Adisti dengan suara bergetar. "Aku juga belum yakin, Disti. Tadi dia minta makan Pizza lagi, sisa yang kemarin. Aku udah panasin dulu, kok. Tapi terus dia mengeluh sakit perut. Tidak lama dia muntah-muntah. Kulitnya merah-merah sampai bengkak. Sempat agak sesak juga." Meity menjelaskan yang terjadi. Suaranya terdengar panik. "Aduh, Ibu! Di mana sekarang? Aku harus nyusul." Adisti sudah hampir menangis. Hanny menatap kaget pada Adisti yang ekspresi wajahnya berubah begitu rupa. "Adisti, ada apa?" tanya Hanny ikut cemas tanpa tahu yang terjadi. "Kak, Cia masuk rumah sakit. Aku harus ke sana, Kak." Dengan kedua pipi basah Adisti menjawab. Tangannya gemetar, seluruh tubuhnya pun seolah tak bisa berdiri tegak. "Apa? Serius? Sekarang?" tanya Hanny makin kaget. "Iya. Kakak lanjut saja. Aku pergi." Adisti berbalik, s
Read more
Bab 46. Om Ganteng Datang Lagi
Adisti memaksa senyum muncul di bibirnya. "Tidak apa-apa. Besok Cia udah sembuh lagi, ya?" Felicia memandang Adisti. Dia melihat wajah ibunya sedikit merah. Kedua matanya juga tampak tidak seperti biasa. Ada air sedikit menggenang di sana. "Ibu, jangan nangis." Pelan kalimat itu Felicia ucapkan. "Nggak, Ibu nggak nangis. Ibu senyum, kok." Adisti kembali menarik ujung bibirnya. "Iya ... Maaf, Bu ...." kata Cia lirih. "Kenapa Cia minta maaf?" tanya Adisti. Kalimat itu membuat hati Adisti makin pilu. "Aku buat Ibu sedih. Maaf, Bu ...." Cia pun menitikkan air mata. Dia memang paling tidak suka kalau ibunya sedih atau menangis. Dia pasti merasa bersalah. "Nggak. Nggak, Sayang. Kamu ga buat Ibu sedih." Adisti menguatkan hati. Butiran bening makin tak terkendali di ujung matanya. "Aku ... pasti sembuh ... aku mau ... sekolah, main ... jalan-jalan sama ... Ibu dan Nenek ...." Terbata-bata Felicia bicara. "Iya, nanti kalau Cia sembuh kita jalan-jalan lagi. Mau berenang atau mandi bola.
Read more
Bab 47. Ini Salah, Atau Sebenarnya ....
"Baiklah, saya akan tinggalkan ruangan. Jika ada sesuatu, perawat siap kapan saja." Dokter pamitan. Bersama kedua perawat, dokter meninggalkan ruangan itu. "Thank God. Huufhhh ...." Vernon mendekat tepat di sisi ranjang. Dia merendahkan tubuhnya, menyejajarkan posisi dengan kepala Felicia. Lalu dengan kasih dia kecup lembut kening gadis kecil itu. "Cepat sembuh. Nanti Om ajak jalan-jalan. Ke mana Cia mau, kita pergi. Oke?" ucap Vernon. "Aku mau ke pantai, Om." Dengan lugunya Felicia menjawab. "Oke. Om juga suka pantai. Nanti kita ke pantai." Vernon mengusap-usap kepala Felicia. Dia rapikan helaian rambut di sekitar kening yang sedikit berantakan. Adisti tidak tahu harus mengatakan apa. Pemandangan di depannya membuat banyak rasa bertebaran di hatinya. "Pak, saya minta maaf, saya meninggalkan pekerjaan. Saya akan ganti jam kerja kalau Cia sudah sehat." Adisti menyampaikan apa yang mengganggu hatinya. "Ga usah dipikir. Biar Hanny yang kerjakan. Kamu fokus sama Cia saja. Mana pria
Read more
Bab 48. Antara Logika dan Perasaan
Adisti sangat kaget dengan pelukan tiba-tiba yang menyerangnya. Spontan Adisti mendorong Vernon agar melepasnya. "Pak, maaf." Adisti merasakan detak jantungnya seperti melompat-lompat. Tangan dan tubuhnya terasa panas dingin. Dia segera berbalik dan mendekati Felicia. Vernon tidak bergerak. Dia masih berdiri mematung, sambil memperhatikan Adisti. Adisti sama sekali tidak menengok lagi padanya. Vernon pun memutar tubuhnya dan berjalan keluar kamar. Dia berpamitan pada Meity dan Lani, lalu meneruskan langkah menuju ke tempat parkir. Di dalam mobil kembali Vernon termenung. Dia memandang wajahnya di kaca spion di atasnya. Galau, itu yang dia lihat. Seorang pria sukses, pemimpin sebuah perusahaan, tetapi sedang menyelam dalam kekacauan rasa. "Uufhh, kenapa aku ga bisa nahan diri di depan Adisti? Bahkan saat pertama datang, melihatnya menangis ... aku beneran ga tega. Ya ampun, ini ga bisa diteruskan!" Vernon bicara pada dirinya sendiri. "Buang jauh-jauh pikiran gila itu, Vernon. Fokus
Read more
Bab 49. Hanya Sekadar Mimpi
Virni melotot dengan kedua tangan terkepal diacungkan di muka Vernon. Vernon sampai menarik badannya sedikit mundur. "Berani kamu mau mempermainkan perasaan wanita? Hah? Biar kamu adikku, aku bikin bengkak muka kamu!" sentak Virni kesal. "Kakak!" Vernon berdiri dan maju dua langkah. Dia dekap Virni dan memeluknya manja. Dia kecup kening Virni lalu mengajaknya duduk lagi. "Aku ga ada pikiran seperti itu, Kak. Benar, aku mulai merasa cinta yang muncul di hatiku. Tapi aku ga akan berbuat gila juga. Itu namanya aku menyusahkan diri sendiri, la!" Vernon tidak melepas kedua tangan kakaknya. "Sekarang, kamu mau gimana? Putuskan. Kalau kamu yakin dengan Rima, bersiaplah, apapun resiko dalam pernikahan kalian. Kalau nggak, kamu juga harus berani menentang papa dan mama. Dihujat keluarga besar, kolega, rekan bisnis, dan yang lain-lain." Virni memaparkan kenyataan yang ada di depan Vernon. "Kenapa hidupku serumit itu, sih?" Vernon mengusuk kasar rambutnya. "Vernon, aku sangat sayang kamu. A
Read more
Bab 50. Luapan Luka Ernita
"Kita pulang. Kakak-kakak ga sabar pingin ketemu Cia lagi." Adisti mengusap kepala Felicia. Gadis kecil itu duduk di tepi ranjang. Wajahnya terlihat segar, meskipun dia masih tampak sedikit lemas. "Iya, aku belum jadi main bareng Kak Erti sama Kak Melan," kata Felicia. "Yuk, mobilnya udah nunggu." Adisti mengangkat tubuh Felicia dan menggendongnya. Lalu dia turunkan di kursi roda dan membantu Felicia duduk di sana. "Aku naik kursi roda? Ah, seru!" Senyum lebar Felicia muncul. Tangannya segera menyentuh bagian-bagian dari kursi roda. "Oke, jalan, ya?" Adisti mendorong kursi roda itu. "Sudah semua, kan, tidak ada yang tertinggal?" Meity mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. "Sudah, Bu. Aman." Adisti menyahut. Meity mengangkat tas di kiri dan kanan tangannya, lalu mengikuti Adisti dan Felicia yang lebih dulu meninggalkan kamar. Meity mempercepat langkah agar bisa menjajari Adisti. "Pak Vernon tidak jadi datang?" Meity bertanya sementara mereka menuju ke halaman depan rumah sa
Read more
PREV
1
...
34567
...
14
DMCA.com Protection Status