All Chapters of Ibu, Aku Mau Ayah: Chapter 21 - Chapter 30
140 Chapters
Bab 21. Dugaan yang Mengejutkan
Sampai di rumah, tidak ada waktu istirahat. Adisti menyempatkan bermain dan menemani Felicia hingga gadis kecil itu terlelap. Baru Adisti melanjutkan lagi urusan kuliah. Ujian tengah semester di depan mata, tak bisa diabaikan. Kesibukan di kantor tak bisa jadi alasan dia mengalah dengan sisi akademik yang dia kejar selama ini."Aduh, aku sudah ngantuk sekali. Tapi masih harus baca satu bab lagi. Ahhh ...." Adisti menguap. Dia usap-usap kedua matanya, memaksa tetap terjaga. "Adis, belum istirahat?" Meity masuk ke kamar Adisti. Dia duduk di tepi kasur, melihat pada Felicia sebentar, lalu kembali mengarahkan pandangan pada Adisti. "Masih belum kelar, Bu," jawab Adisti. "Jaga kesehatan. Tetap harus cukup tidur juga, Dis," pesan Meity. "Iya, Bu. Dikit lagi aku pergi tidur." Adisti menutup bukunya. Rasanya tak mampu lagi menerima masukan apapun di otaknya. "Dis, kalau Ibu tanya, kamu mau jawab tidak?" tanya Meity. Adisti menegakkan punggung dan memandang Meity serius. "Soal apa, Bu?"
Read more
Bab 22. Tatapan Tajam Menghujam
"Kurasa aku bicara sangat jelas. Sepuluh menit lagi meeting akan dimulai. Cepat sana, siapkan yang kamu perlukan." Angga mengayunkan tangan, menyuruh Adisti segera bersiap."Pak, ini beneran, Pak? Bukan nanti siang?" Adisti masih tidak yakin dengan yang Angga katakan. "Rapat dimajukan. Kalau ga percaya, ini, bicara langsung dengan Pak Vernon. Aku ga mau dianggap mengada-ada. Urusan kerjaan ini bukan main-main, Adisti." Angga mengacungkan telepon yang ada du depannya ke arah Adisti. "Maaf, Pak, saya kaget. Jantung saya ...." Angga tersenyum lebar memandang pada wanita muda yang tampak memerah dan gugup itu. Dia paham Adisti merasa diatrik masuk gua singa rasanya. "Dis, yang di ruangan itu semua sama, suka makan ayam goreng dan minum es, kayak kamu. Ga usah grogi. Aku bantu kalau kamu perlu. Pak Vernon ingin kamu yang langsung menjelaskannya, sebab kamu yang paling paham detil dari design yang ada. Ngerti?" Angga bicara dengan lebih tenang, berharap ketegangan Adisti mereda. "Siap,
Read more
Bab 23. Pesona Karyawati Baru
Adisti memandang dengan wajah tegang pada bos tampan yang hari itu keren dengan kemeja merah gelap hampir hitam. "Silakan presentasikan design kamu. Konsepnya bagaimana? Jelaskan sedetil mungkin," kata Vernon. "Iya. Baik, Pak." Adisti mengangguk. Suaranya terdengar sedikit gemetar. "Di sini, biar dibantu untuk menampilkan apa yang akan kamu sajikan." Vernon meminta Adisti mendekat di sebelahnya. Deg! Deg! Deg! Adisti makin tidak tenang. Tapi dia harus maju. Yang mulai dia kuatirkan bukan penampilannya. Jika presentasinya gagal, penampilan keren ala Hanny ini tidak ada gunanya. Adisti melangkah ke sisi Vernon dan memberikan file yang dia bawa pada salah satu asisten pimpinan yang bertugas menolong multimedia. "Adisti ...," panggil Vernon. Suaranya merendah, seperti sengaja dia pelankan. "Saya, Pak." Adisti lebih mendekat. "Santai saja. Ya?" Vernon tersenyum manis. Oh, tidak! Senyum itu makin membuat Adisti kelabakan. Tidak bisa Adisti tolak, di dekat Vernon, hatinya makin carut
Read more
Bab 24. Pertengkaran Terjadi Lagi
Hati Adisti masih berdetak tidak nyaman. Pembicaraannya dengan Lestia dan Hanny menarik Adisti kembali melihat sisi kelam yang Adisti ingin buang jauh-jauh. Ramon, tiba-tiba muncul dalam pikiran Adisti. Pria yang pernah melekat dengannya, tapi membawa petaka dan penyesalan. Adisti menekan perasaannya dan dengan kuat bicara dalam hati. "Sudah, semua sudah berlalu. Jangan dipikir lagi. Ingat Cia. Dia masa depan kamu. Jangan pikir yang lain." "Santai saja, Dis. Bisa jadi, pikiran aku dan Mbak Lesti terlalu jauh. Kali Pak Cahyo kalau lihat kamu ingat keponakannya. Bisa saja, kan?" ujar Hanny. "Ga apa, Kak Hanny. Aku malah terima kasih, ada yang ingatin aku." Adisti merapikan kotak bekalnya. "Aku balik kerja, ya? Udah selesai makan, kok." "Oke. Aku juga. Lima belas menit lagi mesti ketemu manajer divisi sebelah. Ga bisa telat dikit. Bisa naik tanduknya." Lestia pun beranjak kembali ke mejanya. Adisti menyimpan kotak makan, lalu dia menuju ke kamar kecil. Masih ada waktu sebelum jam hab
Read more
Bab 25. Pembuktian
Vernon yang semula duduk bersandar, seketika menegakkan punggung. Wajah cerianya lenyap berganti raut kesal. "Aku tahu ini akal-akalan kamu! Sejak dulu kamu memang ingin menjatuhkan aku!" ucap Vernon dengan emosi meluap. Adisti menciut melihat Vernon begitu marah. Baru kali ini Adisti langsung berhadapan dengan bosnya saat dia sedang marah. "Buat apa aku berpura-pura! Justru dengan bangga aku memberi kabar ini padamu. Karena benar, aku memang ingin melihat kamu hancur, Vernon Ivander Hardianata!" Penelpon itu tidak kalah emosi. Suaranya lebih keras hingga dapat tertangkap di telinga Adisti. "Sial! Jika itu benar, buktikan. Aku tidak mau kamu asal tuduh!" sentak Vernon yang belum juga mereda kegeramannya. "Dengan senang hati! Sungguh hari keberuntungan buatku bisa melihat kamu dan kekasihmu perang. Lalu keluarga kalian ribut, lalu ...." "Dasar kepiting rebus!" Dengan rasa kesal makin membara Vernon menutup telpon. Adisti tidak berani memandang pria itu. Adisti bingung juga mau be
Read more
Bab 26. Kegalauan Pak Bos
Vernon menyentakkan pegangan Rima. Dia tidak mengira Rima ternyata tidak tulus sayang padanya. Selama ini dia salah mengira pada wanita yang dia yakini adalah jodoh yang tepat. "Vernon, aku ga ada hubungan khusus sama dia. Aku hanya menghabiskan waktu bareng saja. Kita ga bisa pisah. Ga boleh." Rima memandang Vernon dengan tatapan serius. "Kamu pikir sendiri, deh. Kalau kita nikah, jadinya kayak apa rumah tangga kita nanti! Isinya hanya ribut tak ada habisnya! Aku lelah, Rima. Sangat lelah." Vernon membalas tatapan Rima dengan rasa marah dan kecewa yang dalam. Vernon meneruskan langkahnya meninggalkan Rima yang berdiri mematung di tempatnya. "Ini sama saja kayak kamu lagi jalan sama pegawai kamu. Iya, kan? Kamu berduaan sama cewek terus kalau di kantor!" Rima tidak mau dipersalahkan. "Sama apanya? Jelas beda, Rima! Aku berdua buat urusan kerja. Ga ada aku ajak ke apartemen sampai buka pakaian kayak yang aku lihat barusan! Jangan mencari-cari alasan yang ga masuk akal!" Vernon kemb
Read more
Bab 27. Papa Atau Ayah?
"Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih mau mengunjungi Cia. Saya hanya tidak ingin Adisti tidak fokus bekerja." Meity mencermati wajah Vernon. Dia bisa melihat ada kesedihan yang coba pria itu tutupi dengan senyumnya. "Ah, tidak, Bu. Aku juga baru datang dari kantor. Tidak sama-sama Pak Vernon." Dengan cepat Adisti bicara. Meity menglihkan pandangan pada Adisti. "Oh ...." Senyum Meity muncul, senyum kecil saja di sana. "Kurasa Cia sudah lapar. Adisti, bantu aku menyiapkan makan malam. Bisa?" ujar Meity. "Bisa, Bu." Adisti mengangguk. "Pak, maaf, saya ajak Adisti ke dalam. Saya harap tidak lama." Meity kembali memandang Vernon. "Tentu, Bu. Tidak masalah. Silakan," kata Vernon. Meity dan Adisti masuk terus ke belakang menuju ke ruang dapur. Meity sengaja mengajak Adisti ikut dengannya karena ingin bicara soal Vernon. "Kenapa bisa bos kamu datang lagi?" tanya Meity. "Dia lagi ada masalah, Bu. Lumayan berat, meskipun aku juga ga tahu jelas seperti apa. Dia pergi meninggalkan kantor seb
Read more
Bab 28. Apa Itu Cinta?
"Cia! Ayo, makan! Sudah disiapkan sama Ibu." Meity muncul dan mengajak Felicia makan malam. "Iya, Nek." Felicia tidak jadi menjawab pertanyaan Vernon. Dia melompat turun dari kursi. "Om, aku mau makan. Aku lapar sekali." "Oya, oke." Vernon tersenyum. "Pak, mari, kita makan sekalian, sama-sama." Meity mengajak Vernon ikut serta. "Ya, kami siapkan buat Pak Vernon juga," kata Meity lagi. Vernon ikut masuk, kembali ke ruang dalam. Di ruang makan, meja penuh hidangan yang siap disantap. Sederhana, tetapi terlihat lezat. Vernon memilih duduk di sebelah Adisti. Felicia dan Meity di seberang mereka. Makan malam segera mulai. Hanya tempe dan tahu goreng, dengan sup, sambal, dan kerupuk. Felicia makan dengan lahap. Sesekali mulutnya bicara padahal penuh dengan makanan. Vernon tidak bosan-bosan memperhatikan bocah kecil itu. Rasa iba melebar di hati Vernon. Anak semanis Felicia, cerdas, dan lincah. Namun, dia tidak hidup dengan kasih sayang lengkap. Lalu pandangan Vernon ke sebelahnya. Adi
Read more
Bab 29. Panggilan Darurat
"Aduh, Disti, kamu ngomong apa?" Dalam hati Adisti merasa konyol bisa mengeluarkan pertanyaan itu. "Aku tidak mungkin menjalani hidup dengan pasangan yang tidak setia. Aku masih berpegang penuh mengenai pentingnya kesetiaan tanda pasangan kekasih. Jika itu dilanggar, aku tidak akan melanjutkan hubungan." Vernon menjelaskan lagi alasan kenapa dia memilih memutuskan Rima. Adisti tidak bicara apa-apa. Dia sangat mengerti yang Vernon katakan. Rasanya tidak adil, pria sebaik Vernon dipermainkan. Adisti tidak begitu kenal Rima, tapi sejak awal melihat wanita itu, Adisti memang tidak menyukainya. "Ah, bagus juga aku tahu semua ini sebelum pernikahan. Seandainya sesudah aku dan Rima menikah, pasti lebih hancur hidupku." Vernon tersenyum getir. Lagi-lagi Adisti hanya memandang Vernon, tidak ingin menimpali apapun. "Apartemen. Tempat itu akrab dengan Rima. Kupikir tempat dia berkumpul dengan teman-teman sosialitanya. Ternyata ...." Vernon menggeleng kesal. "Kukira, di apartemen itu dia ket
Read more
Bab 30. Kamu Tidak Punya Pilihan
Vernon memarkir mobil di depan rumah orang tuanya. Di seberang mobilnya, mobil Rima masih terparkir di sana. "Dia belum pulang juga?" gumam Vernon kesal. Kejadian siang saat dia tiba di apartemen, seketika muncul di bayangan Vernon. Pria yang membuka pintu disusul Rima yang tergopoh-gopoh muncul di belakang pria itu, jelas terpampang di pikirannya. "Ah, kamu mau apa lagi, Rima?" ujar Vernon. Dengan langkah cepat dia masuk dan terus melangkah ke ruang dalam. Seperti dugaannya, Rima ada di ruang tengah bersama mamanya. Rima duduk di sebelah mama Vernon dengan wajah merah dan mata sembab. "Akhirnya kamu pulang juga. Apa saja yang kamu lakukan sampai harus mematikan ponsel? Kalau ada yang penting seperti ini, semua tertunda, Vernon!" Savitri, mama Vernon memandang putranya dengan tatapan kesal. "Aku perlu menenangkan diriku, Ma. Masih shock melihat calon istriku bersama pria lain." Vernon menekan rasa marah yang mulai membuat kepalanya berat dan panas. Dia berusaha tetap bicara dengan
Read more
PREV
123456
...
14
DMCA.com Protection Status