Semua Bab Wanita Penghibur Berkelas: Bab 31 - Bab 40
62 Bab
31. Serina Maulana
Serina sukses membuat Tanjung sangat tidak fokus. Semua ucapannya benar. Meski hati Tanjung meragu, tapi ia mengakui bahwa tak mudah mempertahankan Vita di tengah rencana balas dendamnya. Ia harus melepas gadis itu. “Saat balas dendammu gagal, maka kau akan kehilangan segalanya. Ketika kau berhasil, kau pun tak punya apa-apa lagi karena semuanya sudah kau korbankan.” Serina mengedikkan bahu santai. “Hasilnya sama saja.”Itu adalah ucapan terakhir Serina sebelum wanita itu memutuskan memutar tubuh menuju pintu. Tanjung masih mematung di tempatnya ketika Serina menoleh sekilas.“Aku akan kembali. Kuharap kau bisa memutuskannya saat aku datang lagi.”Serina keluar dari ruangan. Meninggalkan jejak suara sepatu tingginya. Postur tinggi dengan kaki jenjang itu meninggalkan lantai 12, memasuki lift dan kembali ke lobi di mana-mana orang menatapnya bagai dewi.Serina mengangkat dagu angkuh. Sekarang dia akan menunjukkan kepada Narumi, seperti apa tingkah perempuan jalang yang sebenarnya. Ra
Baca selengkapnya
32. Rumor Maulana
“Saya menemukan sesuatu yang menarik loh di butik tadi.” Susan Gurnomo menyilang kaki dengan raut wajah kesenangan. Acara kumpul mengumpul itu kebetulan diadakan di hari yang sama saat mereka menemukan Serina Maulana berbelanja habis-habisan di butik langganan mereka.“Oh iya, saya juga.” Anjani Perwira yang ikut bersama Susan menyahut dengan nada yang sama. Ada lima perempuan lain yang ikut mendengarkan termasuk Narumi. Para istri pengusaha maupun penjabat itu memasang telinga baik-baik dengan wajah penasaran. “Di Angel’s Store kami melihat perempuan muda yang mengaku sebagai Maulana.” Susan menatap Anjani. Wanita paruh baya bergaun kuning itu mengangguk setuju.“Iya, dia membeli semua gaun, sepatu, dan tas dengan enteng. Wajah dan tubuhnya juga sangat indah.”“Tapi terlihat sangat sombong. Wajahnya angkuh sekali.”“Maulana?”Semua wanita itu menoleh pada Narumi yang masih menyilang kaki dengan tenang. “Siapa namanya?” Bukan Narumi yang bertanya. “Hmm … Sarina? Suhrina?”“Tidak-
Baca selengkapnya
33. Pilih Pelacur itu atau Ibumu?
Serina tak henti-hentinya menerima perhatian berlebihan ke mana pun kakinya melangkah. Sedetik setelah ia melewati pintu restoran bersama Tanjung, puluhan pasang mata menyergapnya sampai ia duduk di salah satu meja.Seorang pramusaji datang untuk menanyakan pesanan dan Serina memilih menu secara asal-asalan. Ia menopang dagu setelah waitress berambut sebahu yang diikat itu pergi. “Kau terlihat tegang sejak tadi.” Serina memulas senyum dengan mata yang seolah mengerti segalanya. Tanjung bergeming. Posturnya menegak, membuat dada yang dilapisi rompi hitam itu semakin membusung gagah. “Jadi, dia adalah kekasihmu?”Barulah Tanjung mengangkat mata dan menyergap Serina tajam. Lengkungan bibir Serina kian naik. “Kau cukup nekat mengencani bawahanmu sendiri, Tuan Tanjung.” Serina mengibas rambut. “Gadis itu harus berterima kasih padaku karena perhatian ibumu jadi teralihkan dan tak lagi fokus padanya.”Dari wajahnya, Tanjung jelas tidak setuju dengan anggapan itu. “Sepertinya dia berharg
Baca selengkapnya
34. Sandiwara Bercinta
Serina menyadari bahwa tidak seharusnya dia mengucapkan janji yang sentimental itu. Sebab dia hanyalah budak yang dibeli, malaikat maut sewaan, dan algojo untuk memenggal kepala Narumi. Dia tidak semestinya menawarkan bahu untuk bersandar, juga tidak menawarkan simpati murahan. Untuk pertama kalinya, Serina menyesali tindakannya. Dia melewati batasan yang sudah dia tetapkan. “Tidurlah di ranjang. Tidak seharusnya majikan tidur di sofa dan mengalah pada budak.” Walaupun sofa itu cukup panjang untuk ditiduri oleh Tanjung. Tanjung yang baru saja meletakkan bantal ke sofa berhenti. “Kau bukan budakku.”Pandangan Serina menyerbu mata cokelat gelap Tanjung. “Jangan terlalu baik, Tuan Tanjung. Itu hanya akan menjadi bumerang untukmu.”Karena sepertinya lelaki ini sering kali dimanfaatkan. Naif dan lugu. Tanjung tampak tidak setuju. Keningnya mengerut, tapi tak lama kemudian ia mengambil bantalnya kembali dan berpindah ke ranjang. Ia menepi di sisi kiri. Serina melenggang tak acuh ke sis
Baca selengkapnya
35. Serina yang Kotor dan Menjijikkan
“Kau gagal?”Risa berdiri dengan kaki gemetar di depan meja sang nyonya. Dia bersumpah ruang kerja pribadi Narumi adalah ruangan yang paling tidak ingin dia masuki.Nuansanya gelap, seluruh perabot berwarna hitam dan cokelat, juga aura yang sama dengan aura pemiliknya. Sangat menyeramkan. Lebih baik dia bermalam di rumah hantu saja. “Sepertinya begitu.”Risa merasakan jantungnya memburu cepat. Air muka yang gelap dan mata tajam yang mengintimidasi. Ia takut sekali sampai tidak mampu membuka bibir. “Tugasmu hanya sederhana, Risa. Cukup bangunkan Tanjung. Buat dia keluar dari kamar, lalu siramkan air itu ke wajah Serina. Mudah, kan?”Memang terdengar mudah, tapi Risa tidak sanggup melakukannya. Bukan air biasa yang harus dia tuangkan ke wajah cantik bak dewi itu, melainkan air keras yang akan menghancurkan wajahnya. Dia gugup sekali.“Mana air kerasnya?”Risa berkeringat dingin. “Sa-saya simpan di kamar saya, Nyonya.”Narumi menumpukan kedua siku di atas meja, menyorot tajam Risa sep
Baca selengkapnya
36. Serina yang Rapuh
Ketegangan semakin memuncak. Tak ada satu pun di antara mereka yang berniat menyurutkan adu tatap yang sengit itu. Dari dalam rumah, Tanjung buru-buru datang dengan dasi yang belum terpasang sempurna dan lengan kemeja yang tidak terkancing. Buru-buru ia menghampiri teras yang berantakan itu. Dilihatnya kaki Serina yang tertimpa pecahan mangkuk dan makanan yang masih mengepul.“Apa-apaan ini?!”Tanjung segera menyingkirkan makanan panas dan pecahan mangkuk pada kaki Serina, lalu kembali berdiri menatap nyalang Narumi. “Apa lagi yang Ibu lakukan?!”Narumi bersedekap angkuh. “Urus perempuan tidak tahu diri ini. Apa yang dia lakukan pagi ini sudah mencerminkan dari mana dia berasal. Itu yang kau makan setiap hari sebelum datang ke sini?”Tanjung mengikuti arah pandang Narumi yang menunduk menatap remeh makanan yang terbuang di bawah kakinya.“Jangan mengotori rumahku dengan makanan sampah seperti itu.” Mata Narumi kembali menyorot Serina. “Dan jangan samakan aku dengan ibumu yang memberi
Baca selengkapnya
37. Perasaan yang Mengalahkan Logika
“Kita harus ke rumah sakit.”Serina tidak mengeluarkan setetes pun air mata. Ia melepaskan pelukan Tanjung dan dengan cepat menguasai ekspresinya kembali. Air mukanya menjadi dingin. “Tidak perlu. Ini luka yang kecil.”Tanjung kembali berlutut. Mendongak memandang Serina dengan tatapan yang lembut. “Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian di sini selama aku pergi bekerja. Tidak ada yang bisa dipercaya di rumah ini.”Serina menemukan binar khawatir di mata Tanjung. Perasaannya saja atau sebenarnya tembok pembatas di antara mereka semakin menipis? Untuk pertama kalinya ada seorang klien yang berlutut dan memandangnya lembut tanpa merendahkannya. “Aku bisa menjaga diriku sendiri, Tanjung.”Tanjung menggeleng. “Tidak setelah kejadian demi kejadian yang membuatmu dalam bahaya.”“Aku datang ke sini bukan untuk dijaga olehmu.”“Dan aku membawamu bukan untuk mengorbankan nyawa.”Perhatian, nada suara yang cemas, dan sentuhan yang lembut hampir-hampir merobohkan logika Serina. Lima tahun dia
Baca selengkapnya
38. Menyelidiki Narumi
“Permisi, Nyonya Muda. Ini saya, Risa.” Pintu terketuk dengan sopan. Serina yang sedang memangku laptop sambil bersandar di kepala ranjang menengok ke arah pintu. “Masuk.”“Nyonya butuh sesuatu? Mau saya bawakan minum?”Serina menatap Risa dari balik kacamata beningnya. Tidak seperti biasa, mata wanita cantik itu tidak terlihat santai. “Tidak perlu.”“Nyonya Muda belum memakan apa pun sejak tadi.” Meski ia mengucapkannya dengan tulus, tetap saja ada tugas berat di balik kedatangan Risa ke kamar ini. Serina yang duduk bersandar pada kepala ranjang di depan sana terasa mengintimidasi. Dia tidak tersenyum sama sekali. Ia berkonsentrasi penuh pada laptopnya. “Aku sedang diet, pergilah.”Pelayan bertubuh pendek dan sedikit berisi itu diam-diam menghela napas kecewa. Dia tidak punya kesempatan memberikan obat yang diberikan oleh Narumi kepada Serina. Meski terkesan ramah dan santai sejak awal, perempuan yang dibawa Tuan Tanjung ternyata sulit didekati. Di balik senyum manisnya, ada jar
Baca selengkapnya
39. Ancaman Balik
Serina mengayunkan kaki dengan hati-hati. Jalannya lambat sedang ia sudah tidak tahan ingin buang air kecil. Kakinya terangkat hendak masuk, tapi tiba-tiba ia berhenti. Ia letakkan kembali kakinya di luar pintu. Serina teringat sesuatu. Hari ini adalah hari Rabu, waktu di mana Narumi akan keluar untuk berbelanja. Ia memegang jadwal wanita itu. Hari ini juga termasuk hari di mana Narumi akan mencuci mobilnya. Serina menyugar rambutnya frustrasi, merasa sayang karena ia tak bisa mengikuti wanita itu dalam keadaan seperti ini.Lagi pula Serina belum diberi kebebasan memiliki mobil sendiri. Narumi tidak mengizinkannya memakai mobil ataupun mendapatkan sopir pribadi. Serina mesti naik taksi jika ingin keluar. “Ah, sial. Apa aku beli mobil saja pakai black card itu?”Tanjung memang memberikannya sejak awal dan tak membatasi Serina. Ia bebas menggunakan untuk apa saja, tapi rasanya itu terlalu banyak sebab Tanjung sudah membelinya dengan harga yang sangat tinggi. Serina berjalan mundur,
Baca selengkapnya
40. Obat Halusinasi
“Dia ke rumah sakit?”Sekujur tubuh Risa dilanda gemetar, bahkan meskipun ia hanya mendengar suara sang nyonya dari telepon. Gaya bicara dan intonasi suara Narumi tidak pernah gagal menghadirkan rasa ngeri di hati Risa. “I-iya, Nyonya Besar. Sa-saya membuatnya terpeleset di kamar mandi, lalu menyetel shower untuk air panas. Sepertinya lukanya parah.”“Bagus. Gajimu akan kunaikkan tiga kali lipat.”“Te-terima kasih, Nyonya.”Tak ada jejak kelegaan di hati Risa. Matanya memancarkan ketakutan. Selama bekerja di tempat ini, dia tidak pernah mendapat tugas sekotor itu untuk mencelakai orang lain.Di seberang telepon yang sudah terputus, Narumi yang duduk menyilangkan kaki di dalam mobil juga tidak merasakan kelegaan kendati bocah perempuan tidak tahu malu itu berhasil ia lukai setelah banyak percobaan. Tapi ini baru awal. Serina yang hanya bermodalkan kecerdikan tidak akan menang melawan kekuasaannya. Diangkatnya ponselnya ke depan wajah lalu kembali menelepon.“Halo, dr. Pradipto. Anda
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status