Semua Bab SUGAR BABY SANG BILLIONAIRE: Bab 11 - Bab 20
120 Bab
11. Panggilan sial
Tring, tring!Berlin terbangun dari acara tidur siangnya karena bunyi ponsel yang berdering kencang. Selama seharian penuh, gadis itu hanya menghabiskan waktu dengan berbincang bersama banyak orang melalui telepon, tanpa bisa meninggalkan hotel tempatnya beristirahat kini.Rasa lelah dan penat yang masih hinggap di tubuhnya, membuat Berlin malas menggerakkan tubuh bahkan untuk hal-hal rutin seperti mandi dan mengisi perutnya yang keroncongan."Kenapa sejak tadi ponselku berbunyi terus?!" gerutu Berlin mulai sebal."Halo?" jawab gadis itu dengan ketus tanpa melihat nama yang tertera di layar ponselnya."Begitukah caramu menyapa orang yang memberimu uang?" sentak Devan kembali dibuat naik pitam."Sial! Siapa ini yang menelepon?" jerit Berlin dalam hati.Gadis itu memeriksa layar ponselnya sejenak untuk melihat siapa nama pemanggil yang menghubunginya."Apa yang sudah kau lakukan pada dompetmu, Berlin!" batin Berlin pen
Baca selengkapnya
12. Sisi lain
Bab 12. Sisi lain"Kenapa aku tidak merasakan apapun?" batin Berlin masih menunggu pukulan dari Devan dengan memejamkan mata."Dia jadi memukulku atau tidak sih?" batin Berlin mulai kehilangan kesabaran.Gadis itu memberanikan diri membuka mata dan melihat Devan yang melempar tatapan tajam padanya tanpa bersuara."Kenapa kau menutup mata? Kau pikir aku akan memukulmu?" sinis Devan.Berlin menundukkan kepala dalam-dalam tanpa berani menimpali perkataan Devan.Pria itu menarik pergelangan tangan Berlin kembali masuk ke dalam, kemudian menutup pintu kamar hotel rapat-rapat."B-bolehkah aku pergi sebentar? Hanya sebentar saja—""Apa kau tidak mengerti bahasa manusia? Apa perkataanku kurang jelas?" sentak Devan.Pria itu mendorong tubuh Berlin hingga terhempas ke ranjang dan melucuti pakaian gadis itu satu persatu secara paksa.Sementara, Berlin sendiri hanya pasrah dan tak berani memberontak pada pria y
Baca selengkapnya
13. Potongan kenangan buruk
Devan mengerjapkan mata dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan asing tempatnya terbaring lemas.Wajah pucat dan keringat dingin mulai mengucur deras membasahi pelipis pria itu.Nafas Devan mulai tersengal dan tenggorokannya mendadak tercekat. Hatinya menjerit, namun mulutnya tak sanggup mengeluarkan suara sedikitpun. Manik mata Devan melotot ke arah remaja laki-laki yang tergeletak tak jauh darinya. Darah yang mengalir deras di lantai membuat tubuh pria itu bergetar hebat dilanda kepanikan."I-ibu ... aku takut!" gumam Devan lirih."Aku takut!" gumamnya lagi diiringi air mata yang sudah mengalir membasahi pipi."Kenapa dengan pria ini?" gumam Berlin menatap Devan yang mengingau dengan tubuh berkeringat dingin.Ternyata kepanikan dan ketakutan Devan hanyalah sebuah mimpi buruk yang menyapanya dengan kenangan kelam yang pernah dilaluinya dulu.Devan terus meracau tidak jelas dengan mata tertutup, sementa
Baca selengkapnya
14. Daun gugur
Berlin membuka mata dan mendapati kamar megah tempatnya beristirahat sudah kosong tanpa adanya sosok Devan yang menemani.Gadis itu duduk sejenak untuk menghilangkan kantuk sembari meraba-raba ranjang tempatnya berbaring untuk mencari ponsel."Sebaiknya aku pergi ke panti sekarang," gumam Berlin kemudian bersiap untuk memenuhi permintaan dari ibu asuhnya, Bu Wanda untuk berkunjung.Berlin hanya mengirim pesan singkat pada Devan, kemudian bergegas keluar dari hotel meski dengan langkah tertatih.Dengan bermodalkan uang saku yang ditinggalkan Devan, Berlin duduk nyaman di dalam taksi tanpa harus berdesakan di dalam kendaraan umum yang sering ditumpanginya.Jalanan yang lenggang membuat Berlin dapat sampai dengan cepat di panti asuhan kecil yang sempat menjadi rumahnya selama belasan tahun.Berlin tertegun sejenak begitu ia melihat suasana ramai di panti meskipun hari masih pagi."Ada apa ini?" gumam Berlin penasaran denga
Baca selengkapnya
15. Sesal mendalam
Berlin duduk tanah pemakaman tempat ibu asuhnya beristirahat dengan tenang. Rintik hujan yang turun seakan menambah kencangnya badai yang tengah melanda hati sanubarinya.Berlin tak menghiraukan lagi pakaian hitamnya yang sudah basah dan jari-jari tangannya yang mulai mengeriput karena kedinginan."Aku masih berhutang penjelasan pada Ibu. Aku belum sempat mengatakan apapun mengenai uang yang kudapatkan untuk menyelamatkan bangunan panti. Masih ada banyak hal yang ingin kukatakan pada Ibu. Kenapa Ibu justru pergi tanpa berpamitan?"Derai hujan yang makin deras mengguyur, membuat tangisan Berlin ikut mengucur bertambah deras membanjiri wajah cantiknya. Rasa sesal dan kesal mulai bersarang di relung hati gadis muda itu tanpa tahu bagaimana ia harus melampiaskannya.Sebanyak apapun air mata yang ia keluarkan, takkan bisa mengembalikan lagi sang ibu asuh yang telah pergi.Seberapa besarpun rasa sesal yang ia rasakan, takkan bisa membuat waktu
Baca selengkapnya
16. Gara-gara sugar
"Berliana!" Arkan menarik tangan Berlin dan menghentikan langkah gadis itu sebelum Berlin benar-benar pergi.Gadis itu sudah tak peduli lagi dengan pendidikannya yang akan hancur berantakan. Karena dirinya yang menjadi sugar baby, gadis itu terpaksa harus kehilangan beasiswa di universitas impiannya dan karena melakukan tugas sugar baby pula, Berlin kehilangan kesempatan bertemu dengan Bu Wanda untuk yang terakhir kalinya.Gadis berusia dua puluh satu tahun itu benar-benar menyesal sudah menghabiskan masa mudanya menjadi mainan ranjang para pria. Meskipun Berlin berhasil mendapatkan banyak uang dan dapat membantu mengurus panti asuhan, namun nyatanya uang yang tidak berkah itu membuat Berlin kehilangan segalanya."Pak Arkan pasti tahu kenapa beasiswa saya dicabut, kan?" tanya Berlin dengan tatapan mata nanar."Karena rumor itu, kan? Jika kau mau berhenti melakukan hal itu, aku akan membantumu kembali belajar di kampus. Kau mahasiswi yang
Baca selengkapnya
17. Kenyataan pahit
"Ini dari Ibu?" tanya Berlin sebelum gadis itu membuka isi amplop.Mei mengangguk pelan, kemudian meninggalkan kamar untuk memberikan waktu privasi pada Berlin."Tidak mungkin ini isinya uang, kan?" gumam Berlin dengan senyum kecut.Gadis itu melihat kembali ke dalam isi kotak dan menemukan syal yang pernah difotokan oleh Bu Wanda beberapa hari yang lalu."Sebenarnya apa yang ingin Ibu katakan? Apa ada sesuatu yang kulewatkan? Sepertinya dokter tidak mengatakan kalau Ibu mengidap penyakit serius," gumam Berlin lagi-lagi menyesali dan meratapi kepergian ibu asuhnya secara mendadak.Dibukanya amplop berisi surat yang sudah ada di tangannya itu. Berlin mulai membaca perlahan isi surat yang ditulis langsung oleh Bu Wanda, sebelum wanita paruh baya itu berpulang kembali pada sang Pencipta."Ibu berharap, kau tidak akan pernah membaca surat ini sampai kapanpun. Ibu harap semua yang Ibu tulis dalam surat ini dapat Ibu sampaikan secara l
Baca selengkapnya
18. Identitas
Berlin merobek surat-surat dari Bu Wanda dengan geram, kemudian mengobrak-abrik seisi kamar ibu asuhnya itu untuk mencari barang-barang yang bisa ia jadikan bahan untuk mencari penjelasan.Berlin segera meraih ponsel Bu Wanda dan memeriksa seisi ponsel jadul itu dengan seksama.Gadis itu hanya berhasil mendapatkan beberapa pesan lama yang dikirimkan Bu Wanda pada saudara yang berada jauh di kampung halaman.Berlin juga memeriksa riwayat panggilan di ponsel tersebut, dan hanya menemukan beberapa histori panggilan dari nomor-nomor tak dikenal."Sial! Omong kosong apa yang ditulis oleh Ibu? Aku adalah korban penculikan? Ibu adalah penculik? Lelucon macam apa ini?" gumam Berlin frustasi.Gadis itu nampak gusar mencari-cari petunjuk dan orang-orang yang bisa ia tanyai mengenai kebenaran cerita dari Bu Wanda.Kesedihan Berlin atas kepergian Bu Wanda langsung berubah menjadi rasa kesal, benci dan penasaran pada wanita paruh baya yang ba
Baca selengkapnya
19. Jeratan Sugar
"Mei, bisa kau tolong masak makan malam untuk anak-anak? Kakak ada urusan mendadak di luar," ujar Berlin melimpahkan tugas menjaga anak-anak untuk sementara waktu pada anak panti yang paling besar di sana."Tentu, Kak. Aku akan memasak makan malam," jawab Mei tanpa rasa keberatan sedikitpun.Berlin menyodorkan beberapa lembar uang untuk Mei, kemudian berpamitan pada anak-anak dengan tergesa-gesa."Mei, sebentar lagi akan ada orang dari Dinas Sosial yang datang menjemput kalian semua. Segera kemasi barang-barang kalian," titah Berlin."Orang Dinas Sosial? Kami akan dibawa pergi dari sini?" tanya Mei mulai menampakkan wajah murung.Setelah hidup lama di panti dan diasuh oleh Bu Wanda, tentu sangat wajar jika seluruh anak-anak panti merasa enggan meninggalkan bangunan panti apalagi jika mereka harus hidup terpisah setelah ini.Berlin mengusap lembut rambut adik yang sudah beberapa tahun terakhir dirawat olehnya itu. Berlin sendiri t
Baca selengkapnya
20. Curahan hati sugar
Berlin duduk bersama Vernon di pinggir jalan sembari menyeruput es teh yang terbungkus plastik di genggaman tangan mereka.Dengan mata yang masih memerah dan ingus yang mengalir kemana-mana, Berlin meminum habis minuman dingin dalam bungkus plastik itu hingga ludes tak tersisa.Terlalu lama menangis, membuat Berlin dehidrasi dan kerongkongannya mengering seketika. Tak hanya haus yang melanda, perut gadis itu pun mulai keroncongan karena seharian penuh belum terisi oleh secuil makanan pun."Apa tidak apa-apa kita hanya meminum teh di wadah plastik ini? Aku bisa membelikan Nona minuman yang—""Tidak perlu. Terima kasih Kakak sudah membelikanku minuman," tukas Berlin berusaha bersikap sopan pada Vernon dengan memanggil asisten dari Devan itu dengan sebutan "kakak"."K-kakak apanya? Aku hanya pegawai yang digaji oleh Bos Devan, sedangkan Nona adalah teman kencan Bos Devan.""Sudah tidak lagi!" sergah Berlin.Gadis itu menata
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status