Lahat ng Kabanata ng Hadiah Terindah Di Pernikahan Kedua Suami: Kabanata 21 - Kabanata 30
143 Kabanata
Dua Puluh Satu
Setelah di dalam mobil, aku melepaskan tangan yang bersentuhan dengannya. Perasaan jijik dan malas menyentuh lelaki itu. Hanya berpura-pura romantis ketika ada Rita. Biarkan saja hati dan jiwanya terganggu.Aku memerintahkan mas Ilham berhenti di salah satu kedai baso." Berhenti, Mas!""Kenapa?" tanyanya. Mobil sudah ia pinggirkan di tepi jalan."Aku mau makan itu." Tunjukku ke arah kedai baso. Harum baso tercium di indera penciuman."Kita mau makan di restoran bintang lima. Kenapa jadi makan baso?" Mengernyit heran."Aku bilang ingin makan baso!" bentakku kepadanya. Mataku membulat."Oke, kita makan baso." Mas Ilham turun dan membukakan pintu mobil untukku. Ia hendak menyentuh jari jemari namun, kutepis kasar.Satu mangkuk baso ukuran jumbo tersaji di depanku. Sengaja hanya memesan satu. Toh, suamiku bisa memesan sendiri."Kok, cuma satu," tanyanya dengan senyum ciri khasnya." Ternyata, kamu romantis juga."Ternyata tingkat kepedeannya tinggi sekali. Siapa juga yang ingin romantis sa
Magbasa pa
Dua Puluh Dua
Suara pintu terbuka kasar. Suara wanita memanggil suamiku. Kusiapkan semuanya dengan matang."Sayang, akhirnya kamu datang. Aku rindu padamu."Kuputar kursi ke arah mereka. Wajah mas Ilham menoleh dan tampak pucat. Vika memeluk tubuh suamiku erat dan menengelamkan wajah ke dada bidang mas Ilham. Tak lupa merekam mereka dengan ponselku lalu sekali klik terkirim ke nomor Rita. Vika melepas pelukannya. Melihatku yang memegang ponsel. Mas Ilham mendorong tubuh Vika. Ia hampir terhuyung ke belakang. Kalau saja keseimbangannya tak terjaga wanita itu sudah terjatuh ke lantai."Eh, ada Vika. Kamu dari mana saja?" tanyaku seolah-olah tak melihat perbuatan mereka. Sengaja melakukan tersebut. Berpura-pura polos saja."Se-selamat pagi Bu!" ucapnya. Wajahnya tertunduk. Mengapa ia malu padahal aku sudah tahu."Kamu baru datang.""Saya sudah datang sejak tadi, Bu," jawabnya sopan. Sudah pasti begitu karena aku adalah pimpinan."Ada urusan apa kamu ke sini?" tanyaku. Malas sekali melihatnya. Masih
Magbasa pa
Dua Puluh Tiga
Suara teriakkan minta tolong terdengar di lantai atas. Seperti suara Rita yang merintih kesakitan. Apa yang terjadi.Segera berlari menyusul mas Ilham yang lebih dulu.Pemandangan yang mengerikan. Rita terjatuh dan darah di bagian paha mengalir. Tak berapa lama lagi ia tak sadarkan diri. Vika berdiri lebih jauh. Napasnya terputus-putus.Aku melirik ke seseorang yang berada di pojok gedung. Apa yang terjadi?**"Bukan aku, Mas! Aku tak menyentuhnya," tungkas Vika. Wajah mas Ilham memerah. Rahang mengeras. "Cukup Vika! Aku melihat kamu menyakitinya! Rita gak akan tega menyakiti anaknya sendiri." Mas Ilham masih menahan emosi yang hampir meledak."Sumpah bukan aku!" Ia bersimpuh di kaki mas Ilham. Lelaki itu mendorong tubuh kekasihnya hingga terhuyung ke belakang. "Mas!" Mas Ilham membawa tubuh Rita ke lantai bawah. Aku menatap noda merah di lantai
Magbasa pa
Dua Puluh Empat
24Wanita itu masih terbaring di atas ranjang.Tentu saja lelaki itu mengabulkannya.Mengoreng ikan lele di pengorengan yang panas. Percikan minyak terkena wajah dan tangannya. Sebegitu cintanya kamu pada wanita itu. "Dasar bodoh! Mau banget dipermainkan." Entah sudah berapa kalimat yang aku lontarkan dari bibir ini. Mas Ilham tak pernah melakukan hal tersebut kepadaku. Apakah aku iri, tentu saja ada rasa sesak itu. Namun, berusaha untuk bersikap santai. Tiba-tiba ide melintas begitu saja. Mungkin sedikit permainan dan memberi keruh rumah tangga suami dan maduku akan seru dan menyenangkan. Aku beranjak dari dudukku. Menghampiri kamar Rita. Wanita itu sendang berkutat pada ponsel pintarnya. Ia terkejut dengan kehadiranku. Melempar benda ke arah tubuhnya."Apa ini?" tanyanya pura-pura tak tahu. Namun, wajahnya berubah pucat. Terlihat gurat ketakutan yang begitu nyata. Ingin tertawa aku Tahan. Ini se
Magbasa pa
Dua Puluh Lima
Rita bangkit dan mengejar mas Ilham. Aku menatap mereka dari atas. Pertengkaran hebat terjadi. Mas Ilham tampak marah. Rita meraung-raung agar mas Ilham kembali. Kasihan sekali dia. Sudah diselingkuhi malah memohon agar tak ditinggalkan. Kalau aku jadi Rita kubuang ke tempat yang paling rendah yaitu tempat sampah. "Mas, aku mohon maafkan aku! Aku gak rela kamu menduakanku." Rita bersimpuh di hadapan mas Ilham. Menduakan dia. Seharusnya, aku yang marah bukan dia. Pintar sekali ular betina itu bicara."Mas, maafkan aku." Mas Ilham hanya diam tak bersuara. Tante Vivi dan Lisa menghampiri mereka. "Rita, kamu kenapa?" Membantu Rita bangkit. " Ilham ada apa ini?" "Tanyakan saja sama anak Tante!" "Kalian ini sudah dewasa tidak berpikir dewasa. Kamu lihat Ilham, istrimu sedang hamil. Apa kamu tega melukainya?" "Tidak, Tan." Wah, pintar sekali tante Vivi menguasai keadaan. Mas Ilham langsung luluh. "Kamu juga salah! Sudah tahu punya istri masih saja berpacaran." Mas Ilham menundukka
Magbasa pa
Dua Puluh Enam
"Bagaimana apa kamu sudah memecat wanita itu?" tanya Rita saat kami sampai di rumah.Tubuh kami lelah, ia langsung saja meneror. Aku melangkahkan kaki menuju kamar dengan langkah pelan."Bagus kalau dia kamu pecat! Dasar pelakor, wanita gatal! Pacaran sama laki orang."Suara langkah sepatu terdengar masuk ke dalam. Aku masih berada di anak tangga. Menoleh ke belakang siapa yang datang."Kami berpacaran sebelum Ilham menikahi kamu!" teriak seorang wanita. Berjalan mendekati mereka. Ia adalah Vika. Sorot matanya penuh dendam."Mau apa kamu ke sini?" Rita melangkah lebih maju."Aku mau minta pertanggung jawaban Ilham!""Apa! Pertanggung jawaban. Apa aku gak salah dengar?" Rita kembali bicara dengan nada yang lebih tinggi."Iya, aku dan Ilham saling mencintai. Tapi, kamu telah menjebaknya!""Vika ...," panggil mas Ilham.Tak kusangka ternyata mas Ilham adalah laki-laki buaya. Mengobral diri ke setiap wanita."Aku tak menjebaknya! Kami melakukan suka saling suka." Rita semakin maju melangk
Magbasa pa
Dua Puluh Tujuh
Baru saja memejamkan mata. Suara teriakkan mas Ilham membuatku bangkit."Intan! Intan," panggilnya.Aku mengintip dibalik jendela. Sudah jam setengah dua belas, lelaki yang akan menjadi mantanku berteriak memanggil namaku."Intan! Intan! Mas mau masuk," teriaknya dari halaman rumah.Sepertinya lelaki itu nekad masuk menerobos penjaga keamanan. Segera turun ke lantai bawah dan membuka pintu."Ada apa lagi, Mas?"sungutku kesal."Intan, mereka tak mengizinkan masuk. Mereka siapa?"Tubuhnya ditahan oleh kedua anak buahku."Mereka anak buahku. Aku yang menyuruh mereka. Ada apa kamu ke sini, bukankah kita akan segera bercerai?""Aku tak mau bercerai," tolaknya lantang." Beri aku kesempatan. Aku akan menceraikan Rita setelah melahirkan.""Aku tak peduli kamu mau atau tidak. Tetap aku akan menceraikamu dan ingat rumah beserta perusahaan milikku."
Magbasa pa
Dua Puluh Delapan
Aku menghampiri Bayu dan Rehan yang duduk dengan tawa mengema di ruangan serta bermain robot mainan. Kakiku tak sengaja tersandung karpet. Hingga tubuhku hampir saja terhuyung kalau saja Rehan tak segera menahan tubuhku.Suara tepuk tangan membuatku menoleh ke arah kanan. "Bagus sekali! Ternyata kamu ada main dengan lelaki lain," tuduhnya dengan senyum sinis. Seorang wanita berada di sampingnya.Segera melepaskan diri dari tangan Rehan."Ada apa kalian ke sini?" tanyaku.Mereka adalah Rita dan Rico. Masuk ke rumah orang tanpa izin. Bagaimana mereka tahu alamat rumah mama."Aku ke sini hanya ingin menjenguk keponakanku." Menghampiri Bayu dan aku segera menghalangi langkahnya."Jangan dekati anakku!" larangku."Tenang, aku hanya menyapa. Wajahnya mirip sekali Ilham."Rico memang belum pernah melihat Bayu. Sebelum hari pernikahan Rita. Bayu tak ada di rumah."Sudah! Jangan banyak omong! Kalian mau apa?""Kami ingin Bayu ikut kami," pintanya."Enak saja kamu ngomong. Memangnya kamu siapa?
Magbasa pa
Dua Puluh Sembilan
"Mama, aku harus ke rumah Adel. Maaf, Ma. Tak bisa menjaga Mama." Izinku kepadanya."Mama tak apa. Pergilah. Adel lebih membutuhkanmu." Tersenyum menatapku."Bayu, Mama pergi sebentar. Nanti balik lagi. Ada beberapa orang yang akan jaga rumah ini. Maafkan Intan kalau Mama terlibat.""Tak usah khawatir. Siapapun kamu, Intan anak Mama dan tangan ini selalu menerimanya."Ucapan mama sungguh menenangkan hati. Seburuk apapun seorang anak, ia akan tetap menerimanya.**Suara tangisan Adel terdengar jelas di dalam kamar. Pintu rumahnya tak terkunci. Suasana rumah berantakkan. Bundanya Adel tak ada. Biasanya wanita itu akan menyapaku.Gelas, piring berhamburan di lantai. Adel tak memiliki pembantu. Ia lebih suka mengerjakan sediri. Kecuali, pakaian mereka laundry."Adel ...." panggilku. Mendorong pintu kamarnya."Intan!" Matanya sembab. Penampilannya acak-acakkan.Aku menghampirinya dan memeluk tubuh sahabatku. Ia jarang sekali menangis. Tapi, kali ini berbeda. Sepertinya masalahnya amat besa
Magbasa pa
Tiga Puluh
Om Arga Aku berpamitan kepadanya dan meminta maaf. Menarik paksa Adel masuk ke mobil dan ia menolak untuk ikut denganku."Aku ingin bertemu Bunda. Aku yakin bunda di sini, Om!" "Dia tidak ada pergilah! kalian menganggu tidurku saja. Jangan tanya aku di mana dia. "Om, paling dekat dengan bunda. Aku tahu Om telah menyembunyikan sesuatu." Adel tak mau pergi. Ia yakin laki-laki sombong dihadapannya tahu segalanya. "Sudah Del, bundamu tak ada. Dia Sudah memberitahukanmu. Sabar Del." "Om Arga, aku gak akan maafin Om kalau kamu berdusta. Lihat saja Om!" ancam Adel kalap. Ia bagaikan gadis kesurupan tak bisa dibujuk atau di ajak diam. Kalau berhubungan dengan Bunda pasti Adel paling terdepan. Gadis tomboi itu tak ingin wanita yang telah melahirkannya terluka. "Adel, ayo kita pergi," bujukku menarik tubuhnya menjauh dari pintu. kubuka pintu mobil dan menyuruh Adel untuk masuk ke dalam, segera b
Magbasa pa
PREV
123456
...
15
DMCA.com Protection Status