All Chapters of Nafkah yang Disunat Suamiku: Chapter 21 - Chapter 30
133 Chapters
Bab 21
"Dek Arkan, mau ya, ikut Nenek, nanti kita jalan-jalan naik mobil, beli mainan," Mama masih berjuang rupanya.Jangan ya, Nak, Ibu nggak sanggup jauh dari kalian berdua. "Nggak mau," jawab adik seraya menggelengkan kepala.Kedua alis Mama bertaut. Aku dapat melihat raut kecewa di wajahnya. Beliau kembali menghujani kedua cucu dengan ciuman."Baiklah, kalau begitu kalian hati-hati di rumah sama Ibu dan Ayah, ya."Alhamdulillah, lega sekali mendengar Mama menyerah membujuk anak-anak kali ini. Setidaknya kedua anakku tak akan ke mana-mana."Iya, Nek," jawab mereka serempak."Lisa, jangan sampai terulang seperti kemarin lagi, ya. Mama pulang dulu.""Iya, Ma, hati-hati di jalan."Aku menyerahkan sepuluh lembar uang seratus ribuan. Mama menerima dengan ekspresi tak mengerti."Ini apa, Sa?""Ini buat Mama. Bukankah, Mama sedang butuh untuk bayar cicilan mobil sama buat bayar sekolah Rista, Ma
Read more
Bab 22
Hari telah Semakin gelap. Suara hewan kecil mulai terdengar dari kebun di belakang rumah ini. Jarum jam menunjuk angka sepuluh. Kondisi rumah telah sepi, kedua buah hatiku sudah terlelap sejak lepas Isya' tadi. Mas Ari juga sudah terlelap, menyusul anak-anak yang tertidur oleh dongeng kancil dan harimau menjelang tidur mereka malam ini. Kini seorang diri aku berkutat dengan rekap orderan dari toko online. Rasa lelah kuabaikan, demi kepuasan konsumen dan pelanggan."Dek, maafkan Mas."Terlonjak aku dari kursi tempat aku menyerahkan bobot tubuh ini. Bolpoin yang kupakai untuk merekap orderan online ikut terjatuh. Lagi, ia mengejutkan aku. Mengumpulkan kesadaran beberapa saat, meyakinkan diri kalau yang hadir adalah Mas Ari, suamiku."Maaf? Maaf untuk apa, Mas?" tanyaku setelah degup jantung kembali normal."Soal itu … uang cicilan mobil, Dek."Ia berkata dengan menundukkan wajah, seakan merasa bersalah. Ada apa dengan su
Read more
Bab 23
Aku kehabisan kata mendengar pengakuan suamiku. Keyakinannya begitu besar bahwa aku akan menuruti segala permintaan Mama. "Kamu kenapa sih, Dek, kok gitu jawabnya?"Ia memegang kedua pundakku, seakan memastikan kalau aku baik-baik saja. Kedua bola mata kami bertemu, aku mencari kebenaran di dalam sana."Memangnya harus jawab bagaimana?""Ya, biasanya kan, kamu bisa jawab panjang lebar, nggak pendek-pendek gini, Dek."Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Mas Ari benar, aku bisa bicara sepanjang jalan kereta api saat menemui hal tak wajar, atau tak sesuai ekspektasi. Tapi itu dulu, sebelum aku menyadari ada dusta di antara kami, dari ia yang kusebut suami. Belakangan ini aku tak lagi mengeluarkan banyak kata padanya, lebih banyak mengamati saja. Menunggu waktu yang tepat untuk memangsa. "Aku capek, Mas. Mau istirahat."Aku bangkit dari duduk, bermaksud ke kamar karena mendengar suara dari sana. Tapi suara
Read more
Bab 24
Kedua bola mata itu nampak membola saat melihat apa yang tertera di dalam foto-foto tersebut. Ada gunanya juga menyimpan foto ini. "Slip gaji kamu," sahutku cepat. "Dan nggak pernah dipotong," tambahku lagi.Ia terperangah. Mungkin tak menyangka aku menyimpan bukti ketidakjujurannya. Jawaban apa lagi yang akan kamu sampaikan setelah ini, Mas?"Tahu slip gaji Mas dari mana?" tanya Mas Ari sambil menatap gelisah ke arahku. Ari. Lelaki berparas tampan yang hampir lima tahun lalu sempat membuatku merasa jadi istri paling beruntung. Dia sangat memanjakan aku, tapi tetap mengagungkan Mama. Hanya saja, kebaikannya berlangsung di awal pernikahan saja.Sepertinya ia telah lupa, bahwa ia rela menunggu enam tahun lamanya demi bisa kuterima sebagai pasangan hidup.Ya, ia telah menunggu selama enam tahun sebelum akhirnya aku menerima sebagai calon suami. Ia berjuang merebut hatiku, meyakinkan bahwa aku akan bahagia jika
Read more
Bab 25
"Gaji kamu lima juta, kamu beri untukku dua juta. Coba hitung, lebih besar mana yang kau beri, untuk Mama, atau untuk istri dan anakmu, Mas?"Ia masih tertunduk, bahkan semakin dalam."Aku tak melihat kehidupan Mama dalam kondisi kekurangan, bahkan Mama bisa membeli baju bermerk beberapa helai dalam satu kali belanja," lanjutku lagi.Mama sudah sering keluar masuk butik demi koleksi pakaian bermerk. Salah satunya ke toko pakaian milikku beberapa waktu yang lalu. Awal aku menjadi menantu, minimal satu kali dalam seminggu Mama pasti membawa pulang goodie bag berisi pakaian mewah. Aku tak berani berkomentar karena bukan ranahku."Tolong, Dek, ijinkan aku tetap berbakti pada Mama, kamu nggak mau kan, kalau Mas jadi anak durhaka?" pinta dan tanya Mas Ari, setengah memohon."Kamu memang anak berbakti, Mas. Kamu sangat menyayangi Mama, itu juga yang membuat aku dulu mau menerima. Sependek yang aku tau, jika anak lelaki menya
Read more
Bab 26
Pagi telah menjelang. Aku bangun dengan kepala berat sebab semalam tidurku kurang.Anak-anak menikmati cemilan yang dibeli bersama sang Ayah di warung tetangga. Mereka sambil menikmati kartun kesayangan. Mas Ari menyeruput kopi ditemani sepiring ubi ungu kukus."Hueekk ... ."Tiba-tiba terdengar suara dari Mas Ari di dapur. Tak lama kemudian ia membuang ludah beberapa kali."Ayah kenapa, Bu?" Kakak spontan bertanya."Nggak tau. Ibu lihat dulu, ya," pamitku, kemudian beranjak ke dapur.Lagi, ia membuang ludah beberapa kali. Penasaran, aku mendekati Mas Ari, ingin melihat apa yang terjadi."Kenapa Mas?" tanyaku setelah jarak kami hanya setengah meter."Ubinya ini ada ulatnya, Dek. Pahit."Duh, aku jadi merasa bersalah. Warna ubi yang gelap membuat aku tak melihat lubang yang berisi ulat. Jika warna ubi yang lain, biasanya langsung dibersihkan.Ia mulai berkumur beberapa kali demi menghilangkan rasa pahit di lidah."Maaf ya, Mas," ucapku
Read more
Bab 27
Pembicaraan berakhir saat terdengar bunyi klik.Anak-anak menurut saat kuajak pulang karena kedatangan tamu. Tak lupa aku mampir di warung tetangga untuk membeli jajanan untuk suguhan.Empat puluh menit kemudian, sebuah Honda jazz warna silver berhenti di depan pagar. Aku melambaikan tangan saat si empunya membuka pintu dan menampakkan diri.Putri membawa mobilnya parkir di halaman rumah supaya tidak menghalangi jalan."Hebat ih, bisa nyampe sini. Nyasar nggak?" tanyaku setelah cipika cipiki dan berpelukan erat sejenak."Enggak, dong. Aku kan beberapa kali lewat daerah sini."Ia melangkahkan kaki memasuki ruang tamu. Anak-anak mengekor di belakangku nampak malu-malu."Hai cantik, ganteng … ini buat kalian, semoga suka ya," Putri mengulurkan godie bag, serta satu kantong plastik besar bertuliskan minimarket berlogo lebah."Ini Tante Putri, masih ingat nggak, Sayang?" tanyaku pada mereka setelah semua duduk. Mereka hanya manggut-manggut.
Read more
Bab 28
Jarum jam menunjuk angka tiga, Putri pamit pulang setelah mengajari aku mengendarai Honda jazz miliknya. "Sudah lumayan, lain kali kita belajar lagi ya, kalau kita sama-sama longgar."Ucapan Putri membuat aku bersemangat untuk bisa mengendarai kendaraan roda empat. Ternyata tak sesulit yang kubayangkan. Meski aku sempat menolak, tapi Putri tak menyerah begitu saja."Nggak usah takut mobilku lecet, bengkel kan banyak," ucapnya kemudian diiringi gelak tawa. Sedangkan aku hanya nyengir kuda.Semudah itu ia mengatakan bengkel banyak, padahal biaya memperbaiki cat mobil lecet juga tak sedikit.Tiba-tiba saja aku membayangkan, ada nama toko beserta nomer telepon milikku di kaca belakang mobil. Jadi kalau jalan kemana-mana, secara nggak langsung aku sedang memasang iklan.Ah, andai saja aku bisa membicarakan ini dengan suamiku, tentu semua akan lebih mudah diwujudkan. Kini justru aku melihat Mas Ari mulai menginginkan uang ha
Read more
Bab 29
"Ayah mana ya, Bu, kok belum pulang?"Kedua anakku mulai gelisah. Sejak sejam yang lalu sudah mondar-mandir keluar masuk rumah, melihat ke ujung jalan di mana biasanya motor ayahnya muncul. Aku sendiri pun heran, tak biasanya Mas Ari pulang terlambat. Memberi kabar pun tidak. Entah apa yang terjadi. Mencoba menghubungi ponselnya juga tidak tersambung."Maaf ya, Sayang, mungkin pekerjaan Ayah masih banyak, jadi belum bisa pulang."Aku mencoba memberi pengertian pada mereka berdua, sedang diri sendiri tak yakin kebenarannya. Entahlah, aku hanya mencoba berpikir positif. Semoga tidak terjadi hal buruk pada ayah kedua anakku."Jangan-jangan jalannya macet ya, Bu? Jadi motor Ayah nggak bisa lewat?"Bibirku melengkungkan senyum mendengar penuturannya."Mungkin saja, Sayang."Suara mengaji mulai terdengar dari masjid dekat rumah. Tanda bahwa sebentar lagi adzan Maghrib berkumandang. Aku mengajak mereka berdua masuk dan menutup pintu serta jendela."Kakak kangen Ayah, Bu."Anak sulungku mulai
Read more
Bab 30
Hari-hari berikutnya, Mas Ari benar-benar berangkat pagi pulang malam. Ia semakin jarang bertemu dengan anak-anak di saat malam karena mereka telah terlelap sebelum ia datang."Mas harus berangkat pagi, soalnya bareng teman ke sana. Dia bawa mobil, kami berempat berangkatnya."Ia menjelaskan tanpa diminta saat awal sekali mulai tugas ke luar kota. Aku iyakan saja dan berpesan supaya hati-hati.Seperti pagi ini, pagi sekali Mas Ari telah siap dengan seragam kerjanya. Anak-anak sudah menunggu di depan pintu. Mereka bangun lebih awal, seakan mengerti kalau sang Ayah akan berangkat pagi sekali."Dek, minta uang bensin dong. Nggak enak Mas numpang tapi nggak ngasih ongkos bensin."Gerakanku terhenti. Mas Ari telah menadahkan tangan di sampingku yang sedang berdiri di depan kompor. Ini bukan yang pertama kali, setidaknya dalam dua minggu terakhir sudah enam kali. Entah ke mana uang gajinya, aku sudah tak terlalu mempersoalkan."Ayo, b
Read more
PREV
123456
...
14
DMCA.com Protection Status