Semua Bab Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku: Bab 71 - Bab 80
145 Bab
Bab 71
Aku mengangguk. "Bismillah," ucapku. "Yasudahlah, jika pilihanmu laki-laki seperti dia, Ibu bisa apa? Mudah-mudahan kali ini pilihanmu benar, Ranum."Aku mengaminkan dalam hati. Sebenarnya aku pun ragu, tapi sudah terlanjur. Apalagi ucapan Bapak masih begitu terdengar ambigu. Aku harus tahu kenapa Bapak kekeh untuk aku tidak boleh berpisah dari Soni. Dia benar-benar malu karena anaknya ini kawin cerai, atau ada hal lain? "Bapakmu pasti senang, karena menang dari Ibu."Aku sedikit melebarkan mata menatap Ibu. Wanita memang tidak mau kalah dari para lelaki.Setelah mendapatkan restu dari Ibu, kini aku mencari Bapak untuk mendapatkan jawaban darinya tentang ucapan yang mencengangkan. Ancaman yang tidak pernah kusangkakan akan terlontar dari bibir Bapak. Saat aku keluar, sudah tidak ada mobil Bapak di halaman. Itu artinya, Bapak sudah pergi. Ke mana? Toko? Mungkin. Tapi, rasanya hatiku belum tenang jika belum mendapat jawaban dari pertanyaan yang ada dalam benak. Aku pun pamit pad
Baca selengkapnya
Bab 72
Di balik punggung seorang pria, aku duduk dengan angan terbang melayang tinggi. Hatiku kembali perih oleh tajamnya belati yang menggores hati. Lidah Mas Sandi laksana pedang yang menikam sanubari. Sakit dan perihnya menjalar sampai ke ulu hati. Kenapa harus sekarang dia mengambil fasilitas yang dulu dia berikan dengan sesuka hati. Bukankah aku pernah menawarkannya sejak saat dia mengucapkan kata talak? Kenapa waktu itu mengatakan untuk Shanum, jika sekarang menariknya kembali? Aku mengusap dada seraya berucap istighfar di dalam hati. Mungkin sudah bukan rezeki. Memang seharusnya aku tidak lagi memakai apa pun yang berkaitan dengannya. Ah, tololnya aku masih saja merasa sakit hati dengan perlakuan pria itu. "Hujan, Mbak. Mau neduh dulu?" ujar Soni dengan sedikit berteriak. Air dari langit mulai berjatuhan menerpa kulit tangan. Jejaknya jelas terlihat di jaket milik Soni yang melekat pada tubuhku. "Lanjut saja, Son. Aku ingin segera sampai rumah.""Oke. Pegangan, ya?" ujar Soni
Baca selengkapnya
Bab 73
Tidak ingin terus mendengar mereka bertengkar seraya menikmati teh di bale-bale, aku menyuruh Soni untuk masuk ke rumah dan berganti pakaian. Sesuai perintah Bapak. Aku pun mengambil kaus serta celana training yang biasa Bapak pakai. Lalu memberikannya pada Soni yang hendak pergi ke kamar mandi. Selagi Soni mandi, aku berganti pakaian di kamar. Karena memang hanya ada satu kamar mandi di rumah ini. Setelah selesai, aku ke dapur untuk membuat minuman hangat. Satu gelas susu jahe sudah terhidang di atas meja. Dan ... satu kopi hitam pun tak luput dari perhatianku. Aku mengangkat sebelah bibir dengan pandangan lurus pada kopi hitam yang masih mengepul. Baik hati sekali aku yang ingat akan kopi kegemaran Soni? Ah, hanya bentuk rasa terima kasih. "Num, cucu Ibu gak ikut pulang?" tanya Ibu seraya menghenyakkan bokong pada kursi."Tidak, Bu. Katanya mau nginap di sana.""Tumben sekali? Kenapa kamu biarin? Kalau si Sandi mencuci otak Shanum, gimana? Nanti dia jadi gak pulang ke sini da
Baca selengkapnya
Bab 74
"Gimana untuk hari ini, Num?" tanya Bapak yang malam ini datang berkunjung. Setelah toko buka, aku memang memutuskan untuk pindah tinggal di ruko. Alasan pada Ibu, tidak ingin berabe karena tidak memiliki kendaran sendiri. Padahal, aku ingin tinggal di sini untuk menghindari perpecahan antara orang tua, juga aku dan Soni yang kini tinggal bersamaku. Jangan pernah berpikir aku dan pria itu tidur satu ranjang. Karena aku memberikan jarak yang lumayan jauh untuknya. Entah sampai kapan. Mungkin sampai tiga puluh tahun, seperti percobaan versi dia. Tapi ... tidak menutup kemungkinan hanya tiga puluh hari, jika nanti tangan Tuhan sudah membukakan pintu hatiku. "Alhamdulillah, Pak. Sampai pegal-pegal ini badan," ujarku seraya memijit pundak yang tadi pagi tertimpa dus mie instan. "Syukurlah kalau rame. Kalau sekiranya kamu dan Soni tidak mampu untuk melayani pelanggan, kamu cari orang buat kerja bantu-bantu kalian.""Enggak, ah Pak. Keuntungannya masih sedikit, tidak akan cukup untuk ba
Baca selengkapnya
Bab 75
Beberapa menit tidak aku lihat tanda-tanda kepulangan Soni, aku pun mengambil ponsel, lalu turun ke bawah untuk mengunci pintu ruko seraya menghubungi Soni. Panggilan pertama tidak diangkat. Aku mengulanginya lagi untuk yang kedua kali. Masih tidak diangkatnya juga. Aku duduk di kursi plastik, lalu mengetik pesan untuk Soni. [Pulang jam berapa? Pintu mau dikunci.]Satu menit, dua menit, sampai lima belas menit, tapi masih tidak ada jawaban. "Apa mungkin Soni pulang ke rumah Mama, ya?" ucapku berujar seorang diri. Kulirik jam yang ada pada layar ponsel. Sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, tapi Soni masih belum pulang. Pesan yang kukirim pun masih tidak dibalasnya. Saat hendak menelpon Mama, terdengar deru motor yang berhenti di depan ruko. "Apa itu motor Soni?" tanyaku pada diri sendiri. Aku berdiri, kemudian menghampiri pintu, tapi tidak berani membukanya. "Son, Soni! Kamu di luar?" ujarku seraya mengetuk folding gate. "Iya, Mbak. Ini aku!" Aku bisa bernapas
Baca selengkapnya
Bab 76
"Bunda, sekarang aku ke sekolah pakai apa? Masa, jalan kaki?" Aku yang tengah menuliskan nota belanjaan pengunjung, seketika menoleh pada Shanum yang berdiri di sampingku dengan seragam lengkapnya. Benar yang dikatakan putriku itu. Kini aku sudah tidak punya kendaraan, otomatis Shanum tidak ada yang antar. Dari kemarin, aku mengandalkan Soni. Tapi, entah kenapa sekarang dia sudah pergi sejak subuh. Memangnya ada, kuliah yang dimulainya pagi-pagi buta? "Bunda ...," panggil Shanum lagi seraya merengek. "Bentar, ya Sayang. Bunda bereskan ini dulu, nanti telepon kakek buat antar Shanum ke sekolah," ujarku menenangkan putriku itu. Shanum mengangguk meskipun wajahnya merengut. Aku pun segera menuliskan belanjaan yang sudah menumpuk di mejaku. Di belakang, sudah ada beberapa ibu-ibu lainnya yang antre mau membayar belanjaannya. Masya Allah .... Pagi-pagi aku sudah dibuat sibuk dengan pekerjaan dan permasalahan. "Shanum! Ayo, berangkat sekolah!"Seperti ada angin segar yang menyejukk
Baca selengkapnya
Bab 77
"Mas ....""Lain kali, lebih hati-hati lagi, yah? Mau di bawa ke depan? Biar aku bawakan sekalian. Butuh berapa dus? Dua, tiga, atau lima?" Aku menggelengkan kepala, lalu mengambil kardus dari tangan Mas Sandi, dan membawanya ke depan. Laki-laki itu pun mengikuti dari belakang dan kini dia duduk di kursi plastik yang ada di depan mejaku. "Kamu kerja sendirian, Num? Di mana anak begajulan itu?" Aku melirik Mas Sandi sebentar, lalu kembali fokus pada buku nota tanpa ingin menjawab pertanyaan Mas Sandi. Anak begajulan, dia menyebut adiknya sendiri. Sungguh tidak enak didengar, dan tidak pantas terucap dari bibir seorang kakak. "Num—""Untuk apa datang ke sini, Mas?" tanyaku tanpa ingin tahu kata yang belum selesai dia ucapkan. "Ah ... aku hanya ingin main saja, Num.""Main? Bukannya ini masih jam kantor?"Mas Sandi melihatku, kemudian pandangannya lurus ke depan. "Ngapain kerja keras, tapi tidak ada yang habisin uangku. Kalau dulu, kerja keras pun ada tujuannya. Untuk anak, istri
Baca selengkapnya
Bab 78
Dasar modus. Awas saja jika nanti sudah tidak ada Mas Sandi, akan aku balas perbuatan lancang Soni. Aku mengusap punggung tangan dia yang betumpu pada meja, lalu mencubitnya hingga matanya melotot dengan bibir yang tersenyum kaku. "Kenapa harus maen ciam-cium, hem ...?" ujarku pelan dengan mengeratkan gigi."Kelepasan, Mbak."Aku berdehem dan mencoba bersikap setenang mungkin saat Mas Sandi masuk. Di berjalan santai, lalu mengucapkan kata yang membuatku semakin naik darah. "Silahkan nikmati, Soni. Bekasku."Mas Sandi berlalu pergi ke lantai atas, dan aku menjauhkan tubuh dari Soni. Melihat perubahan rona wajahku, Soni menenangkan dengan menepuk-nepuk pundak seraya berbicara seolah tak peduli dengan ucapan yang dilontarkan kakaknya itu. "Biarin bekas, yang penting berkelas. Iya, kan Mbak?" ujarnya santai. Aku tidak menjawab. Memilih melayani pelanggan yang kembali datang. Soni pun demikian. Dia pergi ke belakang untuk mengambil beberapa kardus mie instan. Setelah beberapa saat
Baca selengkapnya
Bab 79
"Mbak, aku pergi dulu, ya? Pintu akan aku kunci dari luar, biar Mbak tidak harus membukakan pintu jika aku pulang malam lagi," ujar Soni seraya menutup laptop dan memasukkannya ke dalam tas. Sudah biasa. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, dan dia pun pergi hingga nanti pulang tengah malam. Aku tidak bicara. Hanya mengangguk karena percuma bertanya, dia pun tidak akan menjawab. Hal seperti ini terus terulang hingga tak terasa aku dan dia sudah tinggal satu bulan di tempat ini. Namun, aku belum juga tahu pekerjaan Soni. "Om Soni, mau ke mana? Kerja kelompok lagi?" tebak Shanum yang langsung dijawab Soni seraya mengacak rambut putriku. Dia pun turun dari lantai dua dengan membawa tasnya. Ke mana pun, di mana pun, Soni tidak pernah meninggalkan tas itu. Ransel hitam yang selalu menjadi teman dalam keadaan apa pun. Yang aku tahu, ransel itu berisikan laptop dan buku-buku kuliahnya. Namun, sekarang ini aku sedang mencurigai ada barang lain di sana. Dia sangat tidak mengizinkan
Baca selengkapnya
Bab 80
Jadi ini jawaban dari pertanyaanku tentang uang recehan itu? "Soni ...." Kembali aku mengucapkan nama itu. Mataku fokus tertuju pada pria yang mengucapkan alhamdulillah setelah diberikan upah. Tidak berhenti di satu mobil, Soni pun menghampiri mobil lainnya dan melakukan hal yang sama. Memang tidak hanya ada Soni di sana. Ada pria lainnya yang menjadi kuli panggul untuk mendapatkan upah bagi keluarganya. "Eh." Aku hampir berteriak ketika melihat Soni tersandung dengan beban berat di pundaknya. Namun, tidak dengan pria itu. Dia malah tertawa lebar bersama pria lain merutuki diri yang hampir jatuh tersungkur ke tanah. Tidak tahan menyaksikan dia yang bekerja keras untuk suatu pembuktian, aku kembali pulang dengan perasaan bersalah. Bersalah karena telah berpikiran buruk pada dia tentang uang yang didapatkannya. Rasa kasihan juga hadir ketika membayangkan beban yang begitu berat, dia pikul sendiri. Sesampainya di rumah, aku duduk merenung di kursi belakang meja. Menyangga dagu d
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
678910
...
15
DMCA.com Protection Status