All Chapters of PERNIKAHAN YANG TERNODA : Chapter 11 - Chapter 20
65 Chapters
Manusia Rakus
Tajam mata ini menatap manik hitam perempuan sundal itu. Lekat. Sembari tangan ini membuka pintu mobil, mata ini masih lurus menghunus tajam. Langkah lebar ini membuat jarak kami terkikis. Kini wanita durjana itu, gundik itu, tepat di depanku. Ya dialah Riana.Istighfar terus kugaungkan dalam dada agar diri ini terhindar dari perbuatan anarkis. Mempermalukan diri sendiri. Jika kuturuti kata hati, sungguh aku ingin menjambak rambutnya, mencakar-cakar wajahnya, bahkan mencekiknya sampai tak bisa bernafas lagi. Tapi sekali lagi aku harus bisa mengendalikan diri.Kusipitkan sebelah mata menatapnya sengit. Mata gundik itu terlihat mengembun. Sesekali beralih menatap bocah laki-laki yang menggenggam jemarinya. Persis tikus di hadapan kucing. Tak bernyali."Luar biasa sekali kamu, Riana." Kupindai gundik itu dari ujung kaki hingga kepala dengan senyum merendahkan."Apa kamu benar-benar tak punya hati?"Gundik itu hanya mematung menatap jemari yang bertaut dengan bocah di sampingnya. Bocah it
Read more
Lega
Pelan kutarik gorden menutup kaca kamar tidur utama rumah ini. Tak ada lagi pemandangan indah yang terlihat di sana. Hanya gorden warna abu tua. Persis seperti kondisi hatiku setelah menyaksikan seseorang yang telah lebih dari sepuluh tahun hidup denganku memilih pergi dari rumah setelah pertengkaran kami. Ini kali pertama dia melakukannya.Sekarang aku tahu bahwa segalanya telah berubah. Semua sikap manisnya selama ini adalah palsu. Sekedar topeng untuk menutupi kebusukannya. Bagaimana bisa aku sebodoh ini tak menyadari? Bahkan merasa pendusta itu begitu sabar dalam mencintai.Kini tabir telah terkuak. Jalan baru telah terbentang. Aku harus siap menjalaninya. Betapapun pahitnya. Meninggalkan sesuatu yang sungguh teramat berharga. Sebuah ikatan pernikahan.Kurebahkan raga yang teramat lelah. Berusaha memejamkan mata ditemani detak jarum jam penghapus sunyi. Entah berapa kali tubuh ini berubah posisi. Nyatanya kantuk tak juga menghampiri.Dada ini teramat perih. Memikirkan lelaki yang
Read more
Manusia Bebal
"Delia putri Bunda, ada sesuatu yang mau Bunda sampaikan.""Apa, Nda?"Kuhela nafas sejenak. Lalu kembali berkata, "ini berita buruk bagi kita, tapi Bunda selalu berdoa agar Allah beri kebaikan di dalamnya.""Apa memangnya itu, Nda?" Delia terlihat khawatir dan penasaran.Kutarik nafas panjang. Kutata hati untuk menyampaikan berita ini pada putri semata wayangku."Bunda sama Ayah sebentar lagi akan bercerai, Sayang."Mata sendu itu menatapku dengan mata melebar. Dia pasti terkejut bahkan tak percaya dengan apa yang baru saja aku sampaikan."Ada satu hal yang membuat Ayah sama Bunda enggak lagi bisa bersama."Delia masih membisu. Aku tahu ini tak mudah untuknya. Pun sebenarnya juga tak mudah untukku. Tapi aku harap ini yang terbaik."Kadang apa yang menurut kita baik ternyata menurut Allah tidak, begitu juga sebaliknya. Kadang ada sesuatu hal yang menurut kita buruk tapi menurut Allah sebaliknya. Bunda harap meski ini hal yang menyakitkan, tapi ada kebaikan di baliknya."Air mata menga
Read more
Ibu Mertua
"Ilham? Kenapa kamu bersama dia?" tanya Ibu tak mengerti.Mas Ilham hanya terpaku di ambang pintu. Tak bisa menjawab pertanyaan Ibu. Sekian detik ruangan ini benar-benar hening. Akhirnya aku bersuara. "Mayang yang memintanya, Bu.""Maksudnya?" Ibu balik menatapku penuh tanya."Masuk dulu, Mas, Ri!" pintaku karena tak satupun dari mereka mempersilahkan dua manusia laknat ini masuk.Mas Ilham menarik tangan Riana untuk masuk ke rumah Ibu. Sedang mata ibu tak lepas menatap mereka berdua. Ibu masih terpaku di depan pintu.Aku memberi kode pada Sintya yang kebingungan untuk menutup pintu. Setelah menutup pintu Sintya membimbing Ibu untuk duduk di sebelahku. Kini aku duduk satu sofa dengan ibu, Mas Ilham dengan Riana dan Sintya sendiri. Bagas adik bungsu Mas Ilham tak terlihat sejak tadi.Kulihat ibu masih bergeming menatap mereka berdua. Aku yakin ibu sangat kecewa. Aku memegang jemari tuanya. Kemudian wanita itu beralih menatapku."Jadi mereka ... ?" Ibu menggantung kalimatnya.Aku mengan
Read more
Ular
Tubuh lemas ibu berada dalam gendongan Mas Ilham menuju mobil. Kami setengah berlari mengiringinya. Mas Ilham duduk di kursi penumpang masih sambil memeluk tubuh Ibu. Sintya dari arah samping memangku kaki ibu. Langsung kutancap gas menuju rumah sakit terdekat."Maafkan Ilham, Bu! Maafkan Ilham!" Suara Mas Ilham bergetar.Sesekali kulirik lelaki itu mencium kening ibunya. Memang selama ini Mas Ilham sangat menyayangi ibunya. Hidup tanpa Ayah membuatnya merasa bertanggung jawab penuh terhadap ibu dan adik-adiknya.Jika sampai hal buruk terjadi pada Ibu, pasti Mas Ilham akan merasa sangat berdosa. Karena ulahnya ibu jadi sakit seperti ini. Dan selamanya penyesalan pasti akan membayangi hidupnya."Ibu harus bertahan! Ilham janji enggak akan buat ibu sedih lagi. Ilham janji, Bu. Ilham janji." Mas Ilham terisak.Tiba di rumah sakit ibu langsung dibawa ke ruang IGD. Aku langsung mengurus administrasi. Kupilihkan segala fasilitas terbaik untuk ibu. Aku ingin ibu segera sembuh dan pulih seper
Read more
Kopi Pahit
Tempat parkir adalah satu-satunya tempat yang ingin kutuju setelah mengetahui saldo rekening Mas Ilham. Bisa-bisanya dia masih meminta uang padaku. Sayang sekali kah dia mengeluarkan uang untuk ibunya sendiri? Atau uang itu dia rencanakan untuk keperluan gundiknya?Kutelpon Sintya mengabarkan kalau aku mau langsung pulang."Ya, Mba?""Sin, Mba mau langsung pulang. Kamu enggak apa-apa cuma berdua dengan Mas Ilham?""Iya, Mba. Enggak apa-apa. Mba Mayang istirahat dulu aja. Besok kerja kan?""Iya, Sin. Kalau ada apa-apa kamu kabari Mba ya?""Iya, Mba. Mba Mayang hati-hati ya. Ini sudah malam sekali, hampir dini hari malah.""Iya, makasih ya, Sin."Sungguh aku sudah sangat tidak ingin melihat wajah lelaki tamak itu lagi. Hatiku sangat sakit. Bahkan di saat seperti ini pun dia masih berpikir untuk membohongiku. Apa sebenarnya yang ada dipikiran laki-laki itu?Selanjang jalan air mata ini terus mengalir. Rasanya nlangsa, berkali-kali diri ini dibohongi. Terlalu bodohkah aku selama ini? Pada
Read more
Dilema
"Darimana aja kamu, Nda? Jam segini baru pulang."Baru saja aku menutup pintu mobil langsung disambut suara yang memekakan telinga. Aku menoleh ke arah Mas Ilham hendak menjawab pertanyaannya, tapi belum juga kujawab dia sudah kembali bersuara. "Maksud kamu apa nyuruh-nyuruh Titin buat ngusir Riana, hah?"Yang membuat dia emosi bukan karena aku telat pulang, tapi Riana yang terusir. Aku harus terbiasa dengan keadaan ini sebelum palu pengadilan diketuk. Kini di hatinya hanya ada Riana."Sudah sepantasnya," jawabku datar kemudian berlalu meninggalkannya yang berdiri di ambang pintu penghubung garasi dan dapur."Kamu benar-benar keterlaluan, Nda!" bentaknya. Aku tak menghiraukannya. Segera kubersihkan diri di kamar mandi, kemudian bersujud kepada Sang Pemilik hati. Kuadukan segala pahit getir yang mendera jiwa.Malam semakin merayap. Rumah ini pun semakin sunyi bagai tak berpenghuni. Kumelangkah keluar kamar. Menyalakan televisi di ruang keluarga. Lebih tepatnya bekas ruang keluarga. Ter
Read more
Aku Pergi
"Jika Bu Sonia jadi saya, keputusan Ibu bagaimana?" tanyaku setelah menceritakan permasalahan yang sedang menimpaku kepada Pak Broto dan Bu Sonia."Jangan jual rumah ini dulu, Bu! Ini rumah anak Ibu. Menghadapi perceraian kedua orang tuanya saja rasanya sudah sangat menyakitkan," terang Bu Sonia."Jangan buat dia lebih terluka, Bu. Jika Bu Mayang enggak mau rumah ini di tempati simpanan suami, katakan saja! Rumah ini bukan milik suami Ibu lagi, tapi milik Delia. Dengarkan pendapat Delia nanti saat dia pulang. Jika dia setuju rumah ini dijual, maka juallah! Tapi jika tidak, biarlah dia menempati rumah ini." Bu Sonia menghela nafas. Dia terlihat ikut prihatin dengan kondisi rumah tanggaku."Memang korban dari perceraian adalah anak-anak. Mereka tidak tahu apa-apa, tapi harus ikut menanggung luka." Kali ini Pak Broto yang bersuara.Aku bersyukur dipertemukan orang-orang bijaksana seperti mereka. Akhirnya kami sepakat untuk menunda jual beli rumah ini. Sampai Delia nanti yang memutuskan.
Read more
Cinta
Lelaki yang sebentar lagi akan jadi mantan suamiku itu duduk persis di sebelahku di ruang tunggu Pengadilan Agama. Wajahnya terlihat begitu kacau. Rambutnya menyentuh telinga. Kumis dan jambangnya pun terlihat tak terurus. Badannya lebih kurus dari sebelumnya.Berkali mengusap wajahnya kasar. Kemudian kedua jemarinya saling bertaut di antara kedua lutut."Nda, apa sudah tak ada lagi kesempatan untuk Ayah?" tanya Mas Ilham memecah keheningan di antara kami."Maaf, aku sudah enggak bisa," jawabku datar dengan tatapan lurus ke depan. Pak Candra, pengacaraku berkutat dengan ponselnya. Mungkin membiarkan aku dan Mas Ilham agar bisa leluasa berbicara setelah beberapa minggu kami tak berkomunikasi lagi. Tepatnya sejak aku menempati rumah baru."Bunda yakin akan mengakhiri pernikahan kita?" tanyanya dengan suara bergetar.Aku menoleh kepadanya dengan mimik santai. Kemudian bertanya, "kenapa harus enggak yakin?" Aku merasa sudah cukup dengan semua perjuangan yang telah kulakukan untuk memperta
Read more
Foto Siapa?
Sintya membenamkan wajah di kedua lulutnya. Bagas berdiri bersandar dinding ruang ICU menatap langit-langit. Aku dan Mas Ilham tergopoh menuju ke tempat mereka."Ibu kenapa, Sin?" ucap Mas Ilham.Sintya yang mengetahui kedatangan kami langsung berdiri. Menatap kami dengan wajah basah oleh air mata."Sejak pagi ibu enggak mau makan, Mas. Dan tadi tiba-tiba kembali enggak sadar."Gadis itu kembali tergugu. Aku meraihnya dalam pelukan."Kamu tenang, ibu pasti baik-baik saja," ucapku seraya mengelus-elus pundaknya."Sintya takut, Mba. Sintya takut.""Hus, kamu harus pikirkan yang baik-baik tentang ibu!"Gadis itu terus tergugu."Sin, apa kamu bilang sama ibu kalau hari ini ... ." Mas Ilham menggantungkan kalimatnya."Enggak, Mas. Sintya sama Bagas enggak bicara tentang perceraian Mas Ilham sama ibu. Kami takut ibu akan kepikiran.""Terus kenapa ibu bisa kaya gini?" tunut Mas Ilham."Sintya juga enggak tahu, Mas. Seharian ibu hanya diam melamun, entah apa yang ibu pikirkan. Pas aku tanya e
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status