Semua Bab Kami Tanpa Kamu : Bab 41 - Bab 50
105 Bab
41. Cemburu
Pertengkaran menjelang buka puasa, masalah sepele yang menjadi besar. Mas Malik menyuruh aku makan duluan, memberikan daging supaya sehat dan kuat menyusui. Itu juga perintah dari dokter karena aku terlalu kurus. Perhatian yang tidak ada apa-apanya itu disalah artikan sebagai sayang oleh Mbak Ratih. Piring makanku dilempar Mbak Ratih sampai terjatuh di lantai, tercecer hingga piringnya terbalik. Mau makan saja susah, dari pagi aku sudah lelah karena harus mengurus rumah di saat kondisi tubuh belum pulih. Aku duduk di kursi meja makan, masih melihat dua orang berdebat."Kamu kenapa sih? Hana makan duluan karena dia nifas nggak puasa." "Kenapa Mas kasih daging ke dia?""Dia kan lagi menyusui, wajarlah kalau harus makan yang bergizi.""Aku juga ngurus bayi itu, tapi Mas nggak perhatian sama sekali.""Kamu kan nggak nyusuin, kenapa jadi bandingin sama Hana?" "Oh, mentang-mentang aku nggak ngelahirin bayi itu jadi Mas pilih kasih?"Drama apa pula itu, membuatku sangat muak. Padahal jela
Baca selengkapnya
42. Matahari
Seharusnya anak sekecil ini jika ingin menangis maka akan langsung menangis, tapi Cheril tahu kalau dia menangis pasti aku yang akan dimarahi. Pernah beberapa kali kejadian seperti ini. "Nggak papa, cuma boneka kayak gitu. Jelek." Aku berucap, berusaha menenangkan Cheril. "Ini tangan yang tadi dipukul, Ibu tiup pasti langsung sembuh." Aku meniup tangan kecil itu. Hatiku menahan tangis, andai kami tidak terjebak di rumah ini mungkin aku bisa memberikan Cheril boneka meskipun tidak mahal. Tapi seusia ini Cheril tidak punya mainan satu pun. Miris rasanya. Jangankan mainan, makan daging saja susah. "Elil gak mau boneka." Kata Cheril.Tangan kanannya meraih pipiku, menghapus air mata yang bahkan tidak aku sadari kapan keluarnya. Cengeng sekali, padahal Cheril bisa menahan tangis tapi malah aku yang menangis. Ibu mana yang tidak menangis melihat anaknya diperlukan seperti itu? Aku memeluk Cheril. Perih sekali hati ini. Pertanyaan kapan bisa membahagiakan Cheril terasa amat jauh. Air mat
Baca selengkapnya
43. Bertemu Ratih
Cendol yang dibelikan Kahfi dari pasar Pasir Gintung ketika mengikuti Ratih membuat Cheril ketagihan. Katanya rasanya enak, manis dan gurih, mirip seperti cendol sisaan Zila yang pernah dia makan. Cheril minta dibelikan cendol itu lagi.Padahal, Rizal dan Cheril pernah ke pasar Pasir Gintung untuk menemui Zila. Sayangnya Zila tidak ada, katanya Zila memang jarang ikut jualan karena selalu merengek minta dibelikan mainan. Bisa rugi kalau tiap ikut jualan beli mainan baru, kata ibunya.Rizal membelikan beberapa baju untuk Cheril dari toko Zila, tidak enak kalau tidak beli apalagi sepertinya Cheril suka dengan baju yang mirip Zila. Ketika di sana Cheril memandang dan memegangnya seperti ingin memakai. Padahal baju Cheril yang dia belikan berharga jutaan, sama sekali tidak sebanding dengan baju di toko Zila.Pada akhirnya Rizal membelikan baju dua pasang seharga dua ratus lima puluh ribu. Biasanya satu pasang baju Cheril yang dia beli di Jakarta berharga jutaan dan dari merek terkenal.
Baca selengkapnya
44. Cendol
Cheril menelengkan kepala, selama ini Rizal mengatur jadwal Cheril menonton TV. Tidak boleh juga menggunakan gadget, katanya tidak baik. Malah membelikan berbagai buku dongeng yang gambarnya bagus. Cheril belum bisa membaca, dia hanya menebak jalan cerita melalui gambar. Lalu sekarang tiba-tiba Rizal menyuruhnya menonton Dora di ponsel? Cheril bingung tapi dia akhirnya mengangguk. "He.em." "Ayah pakaikan." Rizal memakaikan headset di telinga Cheril, memutar YouTube dan membiarkan anak itu fokus pada ponsel supaya tidak mendengar percakapan yang akan dia lakukan dengan Ratih. "Saya dengar kamu kerja jadi OB di Jakarta? Penghasilan kamu berapa?" Pertanyaan Ratih membuat Rizal batuk.Siapa yang bilang dia OB? Apakah Hana? Padahal jelas-jelas Hana tahu kalau dia sudah sukses. Apa mungkin Hana menutupinya? Kalau seperti itu malah lebih baik. "Iya, Mbak. Saya kerja di Jakarta. Penghasilan alhamdulillah bisa buat makan."Selain untuk makan, penghasilannya juga bisa untuk membeli tanah
Baca selengkapnya
45. Aquarium
Aku memang ingin terlepas dari keluarga yang seperti neraka ini, hidup di luar dengan bebas bersama kedua anakku. Pertengkaran Mbak Ratih dengan Mas Malik terdengar jelas, supaya aku diceraikan, tidak berstatus istri Mas Malik lagi meskipun sirih. Padahal selama ini aku hanya diperlakukan seperti pembantu bukan istri, hanya status pun Mbak Ratih cemburu. Berteriak keras dan marah-marah. Jika aku bercerai, apakah aku masih bisa bertemu dengan bayiku? Apa aku akan diusir? Bolehkah aku bebas dari sini?"Tenang dulu, Ratih. Aku nggak bisa seenaknya ceraikan Hana. Gimana kalau dia kabur lagi?" Aku mengintip, melihat Mas Malik menenangkan Mbak Ratih dengan memegang bahunya. Lembut dan penuh kasih sayang. Berbeda sekali jika aku yang bersikap seperti Mbak Ratih. Pasti Mas Malik akan mencengkram kuat lenganku sampai sakit. "Kita bisa kurung dia, selama nggak dikasih izin keluar pasti dia juga nggak akan kabur." Mbak Ratih masih bersikeras, miris sekali meskipun aku nanti diceraikan tetap
Baca selengkapnya
46. Tidak Memiliki Tempat
"Dia akting Mas, orang aku cuma nyenggol dikit.""Jelas-jelas Mbak Ratih sengaja mendorongku. Emang aku salah apa sih sama Mbak?""Salahmu nggak tahu diri." Aku diam, menahan tangis. Kalimat menumpang dan lain sebagainya pasti akan keluar jika diteruskan, aku memegang keningku yang berdarah. "Kamu buat masalah apa lagi sama Ratih, Han? Apa tidak bisa sehari saja kamu diam?" tanya Mas Malik.Kapan terakhir kali ada orang yang mencintaiku, peduli padaku dan menganggapku manusia? Aku lupa. Perasaan memiliki harga diri yang sudah lama hilang. Hancur lebur tak tersisa.Darah di keningku terus mengalir, perih dan sakit. Tapi tidak sesakit hatiku saat ini. Memang tidak mungkin Mas Malik membelaku. Kalau pun aku mati di tangan Mbak Ratih, tetap saja aku yang akan disalahkan. "Maaf." Ucapku. "Awas kamu cari masalah sama Ratih lagi.""Iya."Perih sekali. Aku yang terluka tapi aku juga yang minta maaf. Tapi jika tidak minta maaf, Mas Malik akan memukul dan akan terasa lebih sakit dari ini. D
Baca selengkapnya
47. Membunuh Diri Sendiri
Dua mobil terparkir tak jauh dari kediaman keluarga Malik, pengemudinya mendengarkan percakapan yang terjadi di dalam rumah. Dada Rizal sesak, berusaha bertahan mendengar Hana terluka dan diperlakukan tidak adil. Berulang kali Kahfi menahannya, tinggal sedikit lagi. Mereka harus bertahan atau rencananya akan sia-sia. Sementara mobil di belakang mereka berisi empat orang, berisi bodyguard yang Rizal sewa. Bersiap masuk ke dalam rumah hanya tinggal menunggu aba-aba. Rizal yakin serangannya tadi siang kepala Ratih akan berhasil. Berjam-jam mereka menunggu, akhirnya kalimat talak terucap dari Malik. Segera mata Rizal berbinar, saling pandang kepada Kahfi. Rencana mereka berhasil."Sekarang, Bang." Kata Kahfi."Ayo keluar."Mereka keluar dari mobil, memberikan aba-aba kepada bodyguard yang disewa untuk mendatangi rumah Malik. Mereka berjalan cepat, berenam. Menggunakan jaket hitam yang membuat semua orang mengira bahwa mereka gengster. Rizal mengetuk pintu rumah, tak lama kemudian Malik
Baca selengkapnya
48. Rasa Sakit Yang Terasa
Air mata Rizal terjatuh, merasa sangat bersalah karena Hana harus mengalami ini semua. Bagi Hana yang sudah lama sendirian, kalimat Rizal laksana obat di hatinya yang terluka. Dia tidak sendirian lagi dan ada yang menyayanginya. Pelukan pria itu seperti kasih sayang orang tuanya yang mungkin akan mengatakan hal yang sama. Mereka yang meninggalkan Hana dalam kesendirian, berjuang dan menderita. Inilah titik terendah dalam hidupnya, Hana lelah. Sungguh tidak bisa menanggung semuanya lagi. Pandangannya buram di dalam tangisannya yang menyesakkan. Tubuhnya lemas dan berakhir dengan pingsan."Hana!" Teriak Rizal ketika tubuh Hana terkulai lemas.Rizal melepaskan pelukannya. Melihat Hana yang matanya terpejam. Wanita kurus itu langsung dibopong.Kemudian, Rizal menoleh ke belakang. "Bawa semua barang Hana tanpa sisa. Bawa perlengkapan bayinya juga." "Baik, Pak." Dua bodyguard itu berpisah, yang satu mengemasi barang-barang Hana dan satu lagi pergi ke kamar si bayi untuk mengemasi barang
Baca selengkapnya
49. Bukan Mimpi
Mataku terbuka perlahan, harus segera menyiapkan sahur untuk Mas Malik dan keluarganya. Tidak boleh kesiangan nanti akan dipukuli.Aku meraba kasur, lembut dan empuk. Perlahan aku duduk, melihat tanganku diperban. Masih mengumpulkan ingatan kenapa tanganku diperban. Mataku melihat sekeliling, kamar luas yang asing. Cahaya matahari seperti terhalang gorden. Ini di mana? Setelah turun dari ranjang aku menyikap gorden, lingkungan orang kaya di daerah Kedamaian. Aku pernah bekerja jadi buruh cuci ketika kuliah dulu. Dapat langganan dari daerah sini. Ingatan tentang kejadian kemarin terputar di kepala, tersadar bahwa aku sudah melakukan kesalahan yang amat besar. Aku membuka mulut, tindakanku kemarin sangat memalukan karena dilihat langsung Kak Afrizal. Perceraian dan bunuh diri, lalu Kak Afrizal datang... memelukku."Aku nggak punya muka buat ketemu dia." Tanganku menutup wajah. Dia menyaksikan diriku dalam keadaan paling buruk. Suara tangisan bayi terdengar dari luar, apa itu Ramaniya
Baca selengkapnya
50. Malu Tapi Butuh
Mungkin kalau aku punya keahlian dan pengalaman, melamar pekerjaan menjadi pelayan pribadi tidak akan sulit. Juga kalau diterima di keluarga kaya maka gajinya tinggi. Bisa menghidupi Ramaniya dan diriku sendiri. Kalau sekarang mungkin hanya bisa jadi pembantu di keluarga biasa dengan gaji rendah. Aku mengembuskan napas berat."Nyonya cantik sekali, coba kalau rambutnya panjang pasti akan jauh lebih baik.""Aku punya bayi, Mbak. Juga harus beres-beres rumah. Jadi kalau rambut panjang susah. Makanya kalau udah sepanjang bahu langsung aku potong."Mbak Sinta mengeringkan rambutku dan mengganti perban di tangan, juga mengolesi lebam di tubuhku. Enak sekali ya memiliki pelayan pribadi. Kak Afrizal pasti mengeluarkan banyak uang untukku. Bagaimana caraku mengembalikan nanti? Itu jadi beban pikiran.Selesai berpakaian dan kembali segar, aku keluar kamar. Sepatu flat ini sangat cantik. Ukurannya pas di kakiku, mungkin Kak Afrizal masih ingat ukuran kakiku. Padahal sudah lama sekali kami berpi
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
11
DMCA.com Protection Status