All Chapters of Mertua Cerdas VS Menantu Licik: Chapter 11 - Chapter 20
42 Chapters
11 A
"San! Santi! Buka pintunya, Nak!" seruku. Aku menekan gagang pintu dan ternyata tidak dikunci, lantas masuk ke dalam rumah. Santi sedang duduk di kursi rotan yang membelakangi pintu. "Pipimu terluka, San? Ya Allah, maafkan Ibu, San. Ibu akan ambilkan obat," ujarku panik sekaligus merasa bersalah. Sifat buruknya dahulu telah membuatku langsung curiga kalau dia masih angkuh dan licik.Astagfirullah! Wajar saja menantuku tadi langsung menghempaskan tangan Bu Darmi. Ternyata pipi Santi memerah dan sedikit terkelupas kulitnya. "Ibu sayang gak sih sama Santi? Kenapa membentakku di depan orang itu, Bu? Sakit hati ini lebih parah dari ini" ujar menantuku sambil menunjuk pipinya."Ibu minta maaf, Nak. Ibu khilaf dan spontan membentakmu. Mungkin karena melihat Bu Darmi yang sudah tua, ibu langsung terenyuh dan bersimpati padanya. Ibu juga terlalu fokus dengan ucapanmu yang terkesan sombong. Padahal, kamu hanya ingin membela diri," balasku sambil mengoleskan minyak akar tumbuhan ke pipi Santi.
Read more
11 B
"Sombong banget tuh Bu Khadijah sekarang. Mentang-mentang dia sudah jadi orang kota sekarang. Menantunya salah, dia diam saja. Aku sudah menunggu tadi malam, kirain mereka datang mau minta maaf, sekalian bawain oleh-oleh. Eh, rupanya gak ada," ujar Bu Darmi. Ia sedang sibuk bergosip dengan tetangga yang lain sambil memetik sayur daun singkong milikku. Halaman belakang rumahku lumayan luas dan tanahnya sangat subur. Aku membiarkan warga mengambil berbagai sayur itu untuk dikonsumsi sendiri. Asal jangan di jual saja."Ehem! Rupanya ada yang sudah bergosip pagi-pagi begini ya!" celetukku. "Eh, Bu Dijah. Kirain tadi belum bangun. Biasa kan orang kota malas bangun pagi. Kami jadi belum izin mau ngambil sayur," seru Bu Liana. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak ditutupi apa-apa. Aku melihat dengan jelas, liur basi bahkan masih menempel di dekat bibirnya. "Gak semua orang kota malas bangun dan belum tentu juga orang kampung itu rajin, Bu. Semua tergantung orangnya. Tuh, dengerin! Mena
Read more
12 A
"Titip rumah ya, Arman! Kalian baik-baik di sini. Dan ingat, jangan jodohkan Lita dengan sembarangan orang. Kalau anak orang sudah berumah tangga, kalian sebagai orang tua jangan menuntutnya harus sama. Emangnya nikah itu lomba lari apa? Yang paling cepat berarti menang. Tidak, kan?" tuturku. "Iya, Kak. Tapi, kita juga takut kalau Lita gak laku-laku. Sebagai orang tua, kami khawatir kalau anak perempuan lama menikah. Beda kalau anak laki-laki," timpal ibunya Lita. "Kakak tahu kekhawatiran kalian. Tapi, dia belum ketuaan kok. Kalau kalian belum menemukan jodoh yang tepat untuknya, biar Akmal yang carikan. Tenang saja! Kita tentu gak mau kalau gadis cantik jelita ini tidak bahagia nantinya," ungkapku, menjawil dagu Lita. "Alhamdulillah. Makasih ya, Kak," balas Rohani. "Makasihnya nanti saja. Kan belum berhasil, iya kan Li? Bibi sama Santi balik ke kota dulu. Titip salam buat Dino, ya!" tandasku. Lita memelukku, lalu menyalami Santi. Ponakanku, adiknya Lita masih mondok dan akan ta
Read more
12 B
"Kalian berempat, cepat pijiti kaki dan tangan ibu!" titahku masih dengan nafas ngos-ngosan. Mereka yang terlihat khawatir langsung melakukan perintahku. "Kamar ini panas sekali, cepat kipasin Akmal. Ibu gak mau pakai AC," titahku. Akmalku langsung menurut. Aku tertawa dalam hati melihat ketegangan di wajah mereka. Siapa suruh ngagetin orang tua? "Sepertinya kita cuma dikerjai loh.""Iya, ya. Ibu kelihatan menahan senyum.""Ibu! Ibu ngerjain kita ya?" ujar Akmal, lantas menggelitiku. Tak tertahan lagi, aku jadi terpingkal-pingkal."Ampun! Ampun, Akmal! Ini salah kalian. Kenapa bikin kejutan horor begini. Ibu sedih melihat Santi menangis. Untung saja ibu tidak punya riwayat sakit jantung," ungkapku, lalu tertawa."Huuh." Kompak mereka menghela nafas lega, lalu saling berpandangan."Kamu pasti kasih tahu sama Bu Dijah ya, San? Gagal deh rencananya. Gak asyik," ungkap Laura, bersedekap dada. "Eh, jangan salah faham, Gaes! Aku gak ada bilang kalau kalian siapkan kejutan. Kan sudah kub
Read more
13 A
"Ada apa, Bu?" tanya Akmal, setelah mengucapkan salam seperti biasanya. Sepertinya dia sedang sibuk dengan pekerjaan kantor, tapi aku tak mau kalau anakku dimanfaatkan terus sama mertuanya untuk keinginan foya-foya. Kalau mertua Akmal ada uzur dan anakku harus membiayai kebutuhan pokok mereka, tidak masalah. Kalaupun Akmal tak mampu, wanita tua ini akan membantu dengan uang sendiri yang kudapat dari menulis. "Ini, Mal. Papa mertua kamu datang minta uang untuk membayar cicilan mobil. Ibu menduga kalau dia akan datang ke kantormu. Kalau Pak Wiri datang, jangan kasih ya, Mal! Kamu harus tegas! Biarkan mereka hidup sederhana. Mau bergaya kok ngandelin duit menantu?" ujarku sedikit gemas. "Loh, Ibu kok malah sewot? Akmal kan menantu mereka, kalau mampu apa salahnya, Bu?" ujar Akmal terkekeh dari seberang sana. Ah, anakku ini memang sangat dermawan dan tidak enakan menolak permintaan orang tua. Apalagi itu mertuanya. "Ibu tidak melarangmu memberikan uang untuk mertuamu, Mal. Tapi, itu
Read more
13 B
"Eh? Kalian kenapa bisa datang ke mari? Cepat pulang! Mumpung mertuaku masih tidur," usir Santi. Aku yang menelpon Sindi untuk datang bersama ketiga temannya. Aku meminta nomornya pada Akmal tadi malam dan menghubungi mereka pagi ini. Santiku mulai berbohong. Dia tak ada janji ketemuan dengan temannya dan Laura belum mau menikah. Laura cuma akan liburan bersama keluarganya minggu depan. Bagaimana bisa Santi mengarang cerita begini? Aku sengaja masuk kamar sejak tadi, pura-pura tidur pastinya. Aku memang rebahan, tapi langsung menajamkan pendengaran saat mendengar mobil Sindi terparkir di halaman. "Memangnya kenapa kalau kami datang ke sini, San? Kan kamu yang nyuruh kami datang. Mertua kamu mana pernah lagi keberatan kami main ke sini. Bu Dijah itu sudah seperti geng kita. Bisa menyesuaikan dengan pembicaraan anak muda dan gaya masa kini." Salah satu teman Santi mulai keberatan. Aku sudah berpesan sebelumnya pada Sindi agar mengatakan kalau Santi yang mengundang mereka datang. Pas
Read more
14 A
"Alhamdulillah, semua masalah telah selesai ya! Gak ada jambak-jambakan atau maki-memaki. Cuma sebentar aja sudah menangis sambil berpelukan. So sweet banget ya! Andai aja Bu Khadijah punya banyak anak lelaki, aku tidak akan takut untuk menikah. Banyak orang bercerita kalau menantu itu sering berseteru dengan mertua. Kalau begini mertuaku, duh, aku mau deh nikah minggu depan," celetuk Laura, tersenyum memandangi kami. Sofa tempat kami duduk dengan Santi memang menghadap pintu dn jelas terlihat dari balai bambu tempat mereka menunggu. "Mertua kamu juga pasti baik, Lau. Kan sudah ibu bilang, bawa calonmu kemari, anggap ibu sebagai mertuamu. Lalu, kenapa harus khawatir? Kalian memang sudah pantas menikah, Nak," balasku setelah melepas pelukan dari menantuku. "Iya, Bu. Kami harus yakin kalau mertua kami nanti juga orang yang penyayang. Nih ada Bu Dijah contohnya. Kita harus segera mendesak calon masing-masing nih kayaknya," kekeh Dila yang diiyakan teman-temannya Santi. Alhamdulillah
Read more
14 B
***"Mal! Kamu ada teman atau kenalan yang lagi cari jodoh, gak?" celetukku sambil menjahit kancing bajuku yang terlepas. Di sampingku, Santi sedang mengamati gerakan tangan keriput ini memainkan jarum kecil itu. Hari ini Akmalku tidak ke kantor, sehingga kami bisa quality time untuk mengakrabkan diri karena waktunya lebih banyak dihabiskan di kantor. "Apaaa? Ibu mau nikah lagi?" seru Akmal, menyemburkan sedikit teh yang ia minum. Aku juga ikutan terperanjat hingga jarum menusuk jempolku. Akmal mungkin telah salah sangka mengartikan ucapanku. "Ya Allah, Bu. Tangan Ibu berdarah!" Santi bergegas mengambil kotak P3K, mengambil obat biru dan mengoleskannya di jempol. Aku tersenyum melihat reaksi menantuku yang begitu perhatian. Ini hanya luka kecil yang tidak butuh obat apapum juga sudah sembuh. "Salah Abang nih. Kenapa juga bikin Ibu kaget? Sini, Bu! Santi aja yang lanjutin," sergah menantuku, mengambil alih baju yang tadi kupegang. "Duh, sakit gak, Bu? Maafkan Akmal!Kalau memang Ibu
Read more
15 A
"Bu! Sepertinya aku sakit deh. Badanku terasa lemas. Aku mual terus dan eneg juga dengan bau itu tuh, bunga-bunga Ibu," keluh menantuku. Dia menggunakan masker dua lapis agar tidak mencium aroma berbagai macam bunga yang sedang bermekaran. Santi memang tidak terlalu suka merawat tanaman, tapi dia tak pernah mual jika membantuku menyiram bunga yang indah dan menyejukkan pandangan ini. Apakah Santi sedang mengandung? Ah, tidak baik kalau terlalu bahagia sebelum tahu dengan pasti. Nanti kami bisa kecewa. "Apa kamu punya riwayat sakit magh, San?" tanyaku khawatir."Iya, Bu. Tapi Santi gak ada terlambat makan kok," balasnya. Aku mengajak menantuku duduk di sofa, mengambil minyak kayu putih dan membalurkannya di leher cintanya anakku. "Kamu makan sesuatu yang asam-asam? Asam juga bisa memicu magh jadi kambuh, Nak," cecarku lagi. Santi mengernyitkan keningnya, mencoba mengingat-ingat apa yang dia makan. Kemaren dia keluar sama teman-temannya sehingga aku tak tahu apa yang dia makan."Cuma
Read more
15 B
***"Ini masih samar, Bu. Sepertinya memang Bu Santi ini hamil. Biar garisnya lebih terang dan makin pasti, coba dicek seminggu lagi," ungkap Bidan berkulit kuning langsat. "Alhamdulillah!" seruku, Akmal dan Santi dengan senyum terkembang. Tak bisa dielakkan, walaupun masih samar garisnya, kami tetap bahagia. "Boleh datang ke sini atau dicek sendiri pakai alat ini ya, Bu," ujar Bidan berlesung pipi itu, menyerahkan sebuah alat tes kehamilan. Ia kemudian memberikan berbagai macam obat untuk menantuku. Aku tidak pernah memakai benda yang diberikan bidan, tapi kutahu bentuk dan fungsinya dari internet. Saat hamil Akmal, aku hanya memeriksakan diri ke dukun beranak. Zaman sudah semakin canggih dan orang tua harus mengikuti. Paling tidak harus terbuka dengan dunia luar. Pernah suatu hari warga kampung kami geger. Seorang ibu-ibu sering menemukan alat kontrasepsi dan juga penguji kehamilan di tas sekolah anak perempuannya. Ia membuangnya tanpa banyak bertanya. Kejadian itu berulang hing
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status