Semua Bab Sebelum Kita Bercerai: Bab 21 - Bab 30
30 Bab
Bab 21. Istri Saya
Maura tak menanggapi ejekan itu. Dia melirik kaki Alena yang memakai sandal wedges bertali yang tak terlalu tinggi. "Sepertinya kakimu sudah lebih baik." "Tentu saja. Berkatmu, aku harus dirawat selama beberapa hari di rumah sakit," ujar Alena tersenyum sarkas. "Oh, mungkin besok kamu akan kembali dirawat lagi. Bukankah konyol kakimu patah tapi memakai wedges?" ujar Maura dengan nada sedatar mungkin. "Kamu!" Alena hampir saja kehilangan kendalinya andai saja dia tak menyadari bahwa Dewangga tengah memperhatikan mereka. Wanita itu menghela napas mengatur emosinya, kemudian dia tersenyum. "Kamu belum meminta maaf atas apa yang kamu lakukan tempo hari, Maura." "Kamu sendiri yang bilang bahwa sesama saudara nggak perlu saling meminta maaf. Lagi pula aku nggak melakukan apapun sama kamu," jawab Maura sambil tersenyum tenang dan mengeluarkan sebuah memo serta pulpen untuk mencatat pesanan mereka. "Aku akan mencatat pesanan kalian." Dewangga menatap Maura. Maura yang dulu tak akan ber
Baca selengkapnya
Bab 22. Berhentilah Bekerja
Maura mengangguk ketika Andreas menatapnya menunggu jawaban. "Untuk sekarang, aku masih istrinya Dewangga," ujar Maura lebih jelas. Andreas mematung tak percaya. Dia mengerutkan alisnya, sedikit ganjil atas jawaban Maura. Sementara Dewangga, sedikit tak terima dengan ucapan wanita itu walaupun kenyataannya memang sebentar lagi mereka akan berpisah. "Ya, udah. Sebaliknya kamu segera pulang. Periksakan lukamu ke rumah sakit," kata Lusi pada Maura. "Jangan lupa bawa ini. Aku membelinya untukmu dan Maura," lanjut wanita itu sambil menyodorkan oleh-oleh pada Dewangga yang sudah dibelinya untuk mereka. Andreas mengangguk setuju dan mengizinkan Maura pulang lebih dulu. "Lusi, saya harus merepotkanmu," kata Dewangga sambil mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya. "Tolong bayarkan tagihan tadi." "Oh? Oke." Lusi mengangguk senang sambil mengulurkan tangannya. "Nggak perlu," tolak Andreas menahan tangan Lusi. "Saya tak akan meminta tagihan apapun. Insiden ini berhubungan dengan pelayanan
Baca selengkapnya
Bab 23. Tidak Menerima Titipan
Dewangga terdiam memikirkan banyak hal. "Aku tak berpikir sejauh itu. Aku tak memiliki rencana untuk menikah lagi," ucap Dewangga sambil menatap Maura. "Ada banyak pekerjaan yang harus diurus ...." "Pekerjaan akan selalu banyak, Dewangga. Tapi kita hanya hidup sekali," potong Maura. "Memangnya kamu ingin membuat Alena menunggumu lebih lama?" "Alena?" Dewangga mengerutkan alisnya tak suka. "Mengapa Alena? Aku tak ada hubungan dengannya." "Benarkah?" Maura menatap Dewangga dengan terkejut. "Kalian tidak pacaran?" "Pacaran? Untuk apa? Aku tak pernah memiliki perasaan apapun padanya jika itu yang ingin kamu tahu," jawab Dewangga tegas. Maura tertegun sejenak. Dewangga tak mungkin membohonginya, kan? "Tapi tetap saja. Setelah kita berpisah, kita pasti menjalani hidup kita masing-masing. Mungkin kamu akan bertemu seseorang yang mengubah pikiranmu dan ingin segera menikahinya. Aku juga mungkin akan bertemu dengan pria yang baik," lanjut Maura sambil menopang dagunya. "Sampai hari itu t
Baca selengkapnya
Bab 24. Pria Asing
Suasana kantor cukup sibuk dengan kegiatan masing-masing. Maura mengikuti langkah Zefan sambil menenteng tas thermal-nya. Zefan bersikeras menolak titipan Maura meskipun Maura sudah membujuknya. Mau tak mau akhirnya dia ikut dengan pria itu untuk mengantarkan sendiri makanannya. "Bos di ruangannya. Masuk aja, Nyonya," ujar Zefan sambil mendorong pintu dan menunjuk Dewangga yang tengah sibuk berdiskusi di ruang kerjanya bersama dengan beberapa orang termasuk Alena dan Devina. "Silakan, Nyonya duduk dulu di sini." Zefan menunjuk single sofa yang terletak di samping dinding kaca yang menyuguhkan pemandangan kota. Maura mengangguk sembari duduk dan meletakkan tas bekal di pangkuannya. Dia menatap Dewangga yang memakai kemeja navy tanpa jas dan tengah memegang beberapa lembar kertas. Pria itu terlihat begitu serius dengan pekerjaannya. Tak jauh dari pria itu ada Devina juga Alena, dan beberapa orang lain yang Maura tak kenal. Mereka duduk berkumpul di sofa mengitari meja kaca yang penu
Baca selengkapnya
Bab 25. Permintaan Oma Ambar
"Jangan berwajah datar seperti itu, Dewangga," ujar pria itu tertawa rendah sambil melepaskan cengkeraman tangan Dewangga darinya. "Apa kamu sudah berubah pikiran?" "Jangan main-main," kata Dewangga memberi peringatan. "Dan jangan mengganggu Maura." "Wah, kamu benaran sudah berubah pikiran, Dewangga." Pria itu menatap Dewangga tak percaya, kemudian pandangannya beralih pada Maura yang menatapnya asing. "Apa Dewangga masih bersikeras ingin menceraikanmu?" Maura mengerutkan alisnya dengan bibir terbuka seolah ingin menjawab, tetapi tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. "Apa? Ada apa?" Pria itu menatap Maura dengan aneh. "Ada yang aneh denganmu." Dewangga menarik napasnya panjang. "Sebaiknya kamu pulang." "Aku akan pulang," jawab pria itu. "Tapi setelah memastikan sesuatu." "Tak ada yang perlu kamu pastikan, Naren," ujar Dewangga menahan kesal sambil merentangkan tangannya menahan pria itu agar tak semakin mendekati Maura. "Tentu saja ada. Tak hanya kamu yang berubah. Ba
Baca selengkapnya
Bab 26. Pencuri
Maura terdiam. Waktu tiga bulan akan terus bergulir tanpa terasa. Tak mungkin baginya kalau terus menerus berada di sekitar Dewangga. Mereka harus menjalani kehidupan masing-masing, bahkan mungkin mereka tak akan bertemu lagi setelahnya. "Oma, ini tehnya," kata Zefan sopan sambil meletakkan beberapa cangkir teh di meja. Dia sedikit tertekan dengan situasi di sana. Jika Maura resmi menjadi asisten Dewangga, maka bagaimana dengannya? "Oma—" "Oma, aku nggak mau jadi asistennya mas Dewangga," tolak Maura serius, memotong ucapan Dewangga yang hendak melayangkan protes. "Kenapa?" tanya oma Ambar sambil menatap Maura. "Jadi pramusaji itu capek, lho, Nak." Narendra yang menyaksikan penolakan Maura menelengkan kepalanya. Dia tahu Maura yang dulu sangat mencintai Dewangga seperti orang gila. Cintanya tak pernah main-main dan tak bisa dirobohkan oleh apapun. Tapi Maura yang sekarang menolak berada dekat dengan Dewangga karena sedang amnesia. Sedikit lucu, dan dia belum terbiasa. "Aku tahu
Baca selengkapnya
Bab 27. Kejutan Malam
Dewangga mulai mengetuk-ngetukkan jarinya di permukaan kaca jam tangan tanda sudah tak sabar lagi. Sebenarnya dia sudah tak memiliki banyak waktu di rumah itu. Tapi, karena ada kejadian tak terduga seperti ini, terpaksa dia harus duduk lebih lama di sana."Dewangga, kamu nggak mungkin kalau nggak percaya sama aku, kan?" tanya Maura penuh harap.Dewangga terdiam dengan wajah datar. Pria itu melirik bu Asih yang masih sibuk membuka laci."Bu Asih, bagaimana? Sudah ketemu?" tanya pria itu sambil menatap punggung bu Asih yang sedang membelakanginya.Bu Asih segera berbalik dan menggeleng. "Ti-tidak ada lagi, Tuan."Dewangga mengangguk sambil berdiri merapikan pakaiannya. Dia tahu bu Asih belum selesai memeriksa semua laci yang ada."Bu Asih, ayo kita keluar," ujarnya tanpa ekspresi, kemudian dia menatap Maura. "Aku tahu sedikit mengenai dirimu, Maura. Aku tak akan mempermasalahkannya. Kamu jangan khawatir. Jadi, istirahatlah."Maura menghela napasnya dengan kecewa sambil menatap punggung
Baca selengkapnya
Bab 28. Jangan Mendekat
Maura meremas sisi pakaiannya. Pikirannya kosong dalam beberapa detik. Detik kemudian jantungnya berdegup lebih kencang, sehingga membuat darahnya berdesir panas dingin. "De-Dewangga." Maura mendorong tubuh pria itu sehingga ciuman mereka terlepas, namun sedetik kemudian pria itu memperdalam lagi ciumannya hingga membuat Maura kehabisan napasnya. "Sudah." Pria itu melepaskan Maura, kemudian menatapnya dengan lekat sambil tersenyum tipis. "Cokelat panasnya enak sekali, Maura. Boleh minta lagi?" Mata Maura mengerjap beberapa kali, masih dalam pelukannya. Tubuhnya sedikit gemetar dan hampir ambruk andai dia tak berpegangan pada tangan Dewangga yang berada di sekitar tubuhnya. "Kamu gila?!" tanya Maura sambil melepaskan diri dari rengkuhan pria itu. Dewangga tersenyum menatap Maura sambil menopang dagunya di atas meja bar. "Kamu mabuk. Sebaiknya segera tidur," gerutu Maura dengan wajah merah padam. "Yang benar yang mana? Aku gila atau mabuk?" tanya Dewangga dengan tawa kecil.
Baca selengkapnya
Bab 29. Rumah Oma Ambar
Maura menatap Dewangga dengan pandangan takut. Ingatannya satu lagi perlahan datang, namun semuanya hanya ingatan buruk. Ingatan kali ini lebih jelas dari ingatan lainnya, seolah baru terjadi kemarin.Maura ingat bagaimana wajah Dewangga yang sangat marah ketika dia menjambak Alena di masa lalu karena diam-diam Alena memprovokasinya, kemudian ketika Maura terpancing amarah, Alena bersikap seolah-olah semua salah Maura. Saat itu Dewangga hampir menamparnya.Alena selalu menjebak Maura seolah Maura selalu menganiayanya, kemudian berpura-pura lemah dan tertindas. Maura yang di masa lalu sangat pemarah karena faktor frustrasi, selalu terpancing dan masuk dalam jebakannya.Maura merasakan sudut hatinya begitu nyeri ketika ingatan itu muncul. Dia menderita dan sedih di waktu yang bersamaan."Maura? Ada apa?" tanya Dewangga khawatir saat melihat wajah wanita itu pucat pasi.Maura beringsut menjauh dan menatap Dewangga dengan tubuh gemetar. "Jang
Baca selengkapnya
Bab 30. Pusaran Rasa
Maura menahan napasnya ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan teras. "Mereka semua keluargamu?" tanya Maura dengan perasaan cemas. Dewangga mengangguk. "Bersikaplah seolah-olah kamu mengenal mereka semua. Aku dan Naren akan berusaha membantumu agar tak ada yang tahu bahwa kamu amnesia." "Yang pakai baju putih di samping kiri oma Ambar itu papa Teguh Bagaskara. Di sebelahnya mama Laura. Di samping kanan Oma itu tante Vivian adiknya papa, lalu anak perempuannya Clara, sekaligus adiknya Naren." Maura mengangguk mengerti. Dia turun dan mengikuti langkah Dewangga menuju teras rumah. "Akhirnya setelah beberapa bulan berlalu, kalian mau menginap juga di rumah oma," kata oma Ambar senang. "Lho? Kamu beneran Maura?" tanya Laura sambil melihat penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maura tercekat. Apa mereka mengetahui bahwa dia tengah amnesia? Maura pun menoleh pada Dewangga dengan perasaan was-was. Dewangga memberikan anggukan kecil sekilas, meyakinkannya
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123
DMCA.com Protection Status