Semua Bab Tumbal Bulan Suro: Bab 11 - Bab 20
51 Bab
11. Hilangnya Karin
Tanpa buang waktu aku langsung balik badan hendak melarikan diri. Bisa gawat jika Lek Sutar mendapati aku telah menguping pembicaraannya.Tapi begitu menoleh aku dibuat hampir terjengkang karena mendapati kakek misterius yang tadi pagi hampir kutabrak sudah berdiri tepat di hadapanku.Jantungku makin bertalu-talu tak menentu saat merasa hawa tak enak di sekeliling.Situasiku terkepung kini. Di belakang ada Lek Sutar dan Pak Dasiman yang sedang mencariku, sedangkan di hadapanku ada kakek aneh yang selalu saja muncul tiba-tiba.Syukurnya tak berapa lama terdengar suara Bulek Sutini--istri Lek Sutar, memanggil-manggil Lek Sutar dengan heboh. Hingga dua orang di belakangku itu akhirnya mengurungkan niat untuk mencariku."Pak, ayo pulang, Pak! Karin, Pak ... Karin!" Bulek Sutini berteriak begitu heboh sembari menangis meraung-raung."Kenapa Karin, Bu?" Terdengar suara Lek Sutar juga tak kalah khawatir."Karin hilang, Pak."
Baca selengkapnya
12. Keanehan di Rumah Mbah Darsih
Dengan hati tak menentu, aku berlari keluar dari rumah Mbah Darsih untuk mencari pertolongan. Rasa takut menjalari seluruh hatiku saat tadi tak merasakan denyut nadi pada Mbah Darsih. Firasatku benar-benar tak enak. Bagaimana jika wanita malang itu benar-benar meninggal?Berlari sejauh lima belas meter, akhirnya aku menemukan rumah tetangga Mbah Darsih."Pakde Kromo, tolong saya, Pakde ...." Sembari mengatur napas yang ngos-ngosan, aku meminta tolong pada seorang lelaki paruh baya yang sepertinya akan berangkat ke sawah itu."Satria? Ada apa?" Tanyanya dengan terheran-heran."Pakde, Mbah Darsih, Pakde ....""Mbah Darsih kenapa?" Tanyanya cepat sembari langsung meletakkan sabit yang tadi ia bawa.Aku pun menceritakan tentang kondisi Mbah Darsih, dan kekhawatiranku yang menyangsikan ia masih hidup.Tanpa membuang waktu, kami berdua pun langsung berlari menuju rumah Mbah Darsih.Namun begitu sampai di halaman, aku dibuat terheran-heran saat melihat pintu depan rumah Mbah Darsih sudah ter
Baca selengkapnya
13. Begu Ganjang
Sraak!Butiran beras kuning tiba-tiba meluncur mengenai tubuh Karin."Aaaaa ...." Refleks Karin berteriak seolah begitu kesakitan. Lalu detik berikutnya ia kembali terkapar tak berdaya.Kami yang sedang tegang melihat Karin yang seperti tengah dirasuki itu, spontan melihat ke arah pintu masuk. Di sana sudah berdiri dukun yang waktu itu membantu pencarian Karin. Terlihat ia tengah memegang piring aluminium berisi beras kuning."Mbah Suroso ... Syukurlah Mbah datang di saat yang tepat." Dengan penuh kegembiraan, Lek Sutar menyambut tamu istimewanya itu."Anakmu itu sedang tak baik-baik saja, Sutar.""Tolong bantu saya, Mbah. Hanya Mbah lah saat ini yang bisa saya harapkan."Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Lek Sutar memohon pada dukun tersebut. Ucapannya sudah seperti seseorang yang tak punya Tuhan saja."Saya akan berusaha," sahut dukun tersebut dengan begitu mantap.Ia lalu berjalan menuju Karin yang kini kembali pingsan.Lalu tangannya beralih memegang perut Karin yang mem
Baca selengkapnya
14. Jadi Tumbal Pesugihan
Entah berapa lama aku pingsan, dengan kepala bagian belakang yang terasa begitu sakit, aku mulai membuka mata. Aku terkejut saat mendapati tubuh sudah terikat di sebatang pohon, hingga untuk bergerak pun aku kesulitan. Tubuhku merinding hebat kala melihat tepat di depan mata ada sebuah makam yang sepertinya sudah sangat tua. Makam siapa yang berada di tengah-tengah hutan begini?"Sudah bangun?"Aku tersentak saat mendengar suara dari arah belakang.Lalu muncul lah sang pemilik suara yang tak lain adalah Lek Sutar."Lek, apa yang Palek lakukan? Lepaskan aku, Lek!" Teriakku kesal saat melihat lelaki itu memandangiku dengan sinis."Lalu setelah aku melepaskanmu, kau akan mengadukan pada orang-orang tentangku, iya? Aku tak sebodoh itu, Satria," sahut Lek Sutar penuh penekanan."Mengadu apa, Lek? Aku bahkan tak tahu apapun!" Tandasku tak mau kalah."Lalu untuk apa kau mengikutiku kemari? Kau pasti mencurigaiku yang macam-macam kan?" Balas Lek Sutar dengan menatap nyalang."Tidak, Lek. Ak
Baca selengkapnya
15. Keanehan pada Kak Airin
Mataku nanar melihat sosok wanita tua yang tak lain adalah Mbah Darsih. Sedang apa wanita ini ada di hutan? "Cepat pergi!" Sentaknya padaku yang masih tertegun. Membuat aku langsung tersadar dan mengedarkan pandangan menatap sosok-sosok berwajah pucat yang kini telah menyadari bahwa aku telah lepas dari ikatan.Tanpa membuang waktu, aku langsung mengambil inisiatif untuk berlari, saat akan membawa serta Mbah Darsih, sialnya satu sosok berwajah pucat sudah lebih dulu menarik Mbah Darsih."Mbaaah!" Aku berteriak sembari hendak berlari menuju Mbah Darsih yang kini tengah terombang-ambing di antara makhluk-makhluk aneh itu."Jangan kemari! Cepat pergi, selamatkan diri!"Tentu aku tak rela meninggalkan wanita tua yang telah menolongku itu dengan para makhluk mengerikan.Tanpa banyak berpikir, aku langsung menerjang ke arah Mbah Darsih, namun mendadak langkahku tertahan saat di hadapan tiba-tiba muncul makhluk tinggi hitam yang kemari
Baca selengkapnya
16. Daging Misterius
Jantung serasa merosot hingga ke ujung kaki saat melihat tatapan Kak Airin yang seolah ingin melahapku hidup-hidup. Ia benar-benar bukan Kak Airin yang kukenal. Tanpa menggubris perkataan Kak Airin, Ayah menariknya secara paksa keluar dari kamarku. Walau Kak Airin sempat memberontak, tapi Ayah membisikkan sesuatu yang entah apa, yang membuat ia akhirnya menurut."Sebenarnya ada apa dengan Kak Airin, Bu?" Tanyaku setelah Ayah dan Kak Airin berlalu.Ibu menghela napas berat lalu duduk di atas ranjangku dengan lemas."Entahlah, Nak. Sejak beberapa bulan ini kakakmu itu kelakuannya begitu. Bahkan sering kesurupan."Aku terperanjat demi mendengar penjelasan Ibu. Manik matanya seolah menunjukkan beban yang begitu berat saat memberi tahuku."Kenapa tak coba diruqyah, Bu?""Sudah, Sat. Tapi ya tetap saja begitu. Tak ada perubahan."Aku mengernyit heran mendengar jawaban Ibu. Harusnya mereka jangan menyerah walaupun bel
Baca selengkapnya
17. Haus Darah
Kunci motor yang kupegang jatuh begitu saja demi mendengar pengumuman dari Masjid. Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi. Tapi menilik dari situasi kemarin, memang sangat tipis harapan untuk Mbah Darsih selamat."Bu ... Mbah Darsih meninggal, Bu," desisku dengan air mata yang tak lagi dapat dibendung."Lalu?"Aku terperangah melihat respon Ibu yang masa bodoh dengan kabar kematian Mbah Darsih."Kok Ibu begitu sih tanggapannya?""Ck! Semenjak kematian anaknya itu, Ibu gak suka dengan wanita itu."Kutatap wajah wanita yang telah melahirkanku itu dengan penuh keheranan."Memang apa masalahnya dengan kematian anaknya, Bu? Harusnya Ibu simpati pada Mbah Darsih yang sudah renta, tapi tak lagi punya siapapun." Aku mulai terbawa emosi melihat sikap arogan Ibu.Ibu berubah. Benar-benar berubah. Dulu Ibu bukan orang yang seperti ini. Ia orang yang penuh dengan kasih sayang. Bukan hanya pada keluarganya, tapi juga pada orang lain.Tapi melihat respon Ibu yang seperti ini pada Mbah Darsih, aku sad
Baca selengkapnya
18. Keanehan pada Jenazah Mbah Darsih
Lamunanku terpecah saat mendengar suara Pak Muhsin mengajakku untuk menyolatkan jenazah Mbah DarsihSegera kualihkan perhatian dari lelaki tua bernama Mbah Sedan itu, dan kembali fokus untuk melaksanakan sholat jenazah.Sepertinya lelaki tua itu memang memiliki kekuatan tak biasa. Sampai bisa bertelepati denganku. Eh, tapi bukannya Mbah Darsih juga bisa bertelepati denganku kemarin?Ah, sudahlah. Mungkin memang orang-orang tua zaman dulu punya kekuatan istimewa seperti itu. Aku tak mau terlalu ambil pusing.Aku beranjak masuk ke dalam rumah, dan ikut di deretan orang yang akan melaksanakan sholat jenazah. Tak banyak yang ingin menyolatkan Mbah Darsih. Apalagi saat mereka membaui aroma ruangan yang penuh dengan bau busuk berasal dari jenazah Mbah Darsih.Di tengah-tengah kekhusyukan sholat, indera penciumanku membaui aroma daging gosong yang entah dari mana. Sepertinya bukan hanya aku yang mencium aroma itu, karena dari ekor mata nampak para jama'ah lain terlihat gelisah juga.Setelah
Baca selengkapnya
19. Dendam Mbah Darsih
Mataku terus mengedar mencari keberadaan Pak Muhsin, namun jangankan sosoknya, bayangannya pun tak lagi nampak.Aku berdecak karena kesal mereka tak setia kawan meninggalkanku sendirian di tempat seram seperti ini. Di saat hari menjelang Maghrib pula. Ah, aku jadi merasa dejavu.Baru akan melangkah keluar dari pemakaman, aku terkesiap kala ada sebuah tangan dingin mencengkeram kakiku.Tubuhku membeku seketika, membayangkan sudah pasti bukan manusia yang melakukan hal itu."Astaghfirullah ... Astaghfirullah ...!" Aku terus beristighfar dan berdoa dengan kaki yang kuhentak-hentakkan agar cengkraman dari demit itu terlepas.Aku terus melakukan hal seperti itu dengan mata terpejam, tak sanggup lagi rasanya untuk membuka mata dan melihat penampakan apa yang ada di bawah kakiku.Tak berapa lama kemudian, usahaku berhasil. Cengkraman di pergelangan kaki tadi tak lagi kurasakan. Cepat-cepat aku membuka mata, namun ...."Aaaaaa .
Baca selengkapnya
20. Raja Iblis
Beberapa saat kemudian, pandanganku kembali normal. Tak lagi kudapati sosok mengerikan Kak Airin, malah kini aku dibuat terheran-heran kala melihat keadaan sekeliling rumah. Interior dalam rumah benar-benar berbeda dengan beberapa saat lalu. Kenapa tiba-tiba bisa begini?Atensiku pada ruangan pecah saat mendengar suara perdebatan Ibu dan Ayah dari kamar mereka. Gegas aku berlari untuk melihat apa yang terjadi.Sampai di depan kamar, ternyata pintu kamar tak tertutup rapat hingga aku dapat melihat jelas ke dalam. Di mana Ibu tengah menangis sembari marah-marah pada Ayah."Bu ...." Aku memanggil Ibu karena tak tega melihat ia yang menangis pilu.Namun anehnya lagi, Ibu dan Ayah seolah tak mendengar panggilanku dan tak menyadari keberadaanku."Ini semua gara-gara Ayah! Kalau saja Ayah tak mengajak Sutar ikut serta, mungkin keadaan kita sekarang masih tenang-tenang saja!" Sentak Ibu di antara isak tangisnya."Maaf, Bu. Ayah memang sa
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status