Kontraksi datang semakin sering dan menyiksa dengan rasa sakit yang sangat. Nafas Rahmania terputus-putus, tubuhnya gemetar. Tak ada tangan suaminya untuk digenggam, tak ada suara Priambodo yang biasa menenangkannya saat ia cemas.Tapi Rahmania tahu, ia harus kuat. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk bayi yang sedang berjuang bersamanya dari dalam sana.Rahmania menggigit bibir menahan jeritan. Dengan sisa tenaga yang ada, ia mengikuti aba-aba dokter. Berulang kali ia mengejan, mata sampai berair, napasnya pun tercekat, tubuhnya terasa seperti terbelah. Rasa sakit itu seolah tak berujung, menusuk sampai menembus ke tulang.Hingga perjuangan itu tiba pada garis akhir, saat terdengar tangis bayi yang nyaring dan kuat, memenuhi ruangan.Tangis itu seketika meluruhkan semua rasa sakit. Rahmania menangis, bukan karena sakit, tapi karena rasa syukur yang begitu besar. Dokter mengangkat seorang bayi mungil, wajahnya kemerahan, matanya masih terpejam.“Selamat, Bu Rahmania. Putri Anda lah
Last Updated : 2025-06-06 Read more