All Chapters of Gairah Sahabat Suamiku : Chapter 31 - Chapter 40

Malam ini begitu sunyi. Hanya terdengar suara televisi di kamar hotel yang menyala dengan volume rendah. Di atas ranjang, Lio dan Lili duduk berdampingan, bersandar pada tumpukan bantal empuk. Di antara mereka tergeletak semangkuk popcorn dan beberapa bungkus camilan lainnya—semua dibawa Lio sebagai alasan sederhana untuk bisa menghabiskan waktu bersama Lili.Lio sesekali mencuri pandang ke arah perempuan di sampingnya. Wajah Lili yang tenang, dengan mata yang sesekali berkedip pelan mengikuti alur film, terasa begitu dekat namun masih seperti mimpi baginya. Sudah lama ia mencari kesempatan seperti ini, berdua saja, tanpa gangguan, tanpa tekanan, dan yang terpenting, tanpa paksaan.Hatinya menghangat. Lio tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Malam ini adalah malam yang ia harap tidak akan segera berakhir.Namun, setiap kali pandangan mereka tak sengaja bertemu, keduanya seperti reflek saling menghindar, kembali menatap layar televisi yang terang dalam ruang redup itu. Ada keheningan c

Kembali lagi, Lili mengalami jet lag. Kali ini lebih parah. Mungkin juga karena tubuhnya masih terasa remuk setelah malam yang begitu melelahkan bersama Lio. Keletihan itu belum sempat hilang, sementara tubuhnya dipaksa kembali naik pesawat. Jet lag yang kemarin pun masih membekas, membuat kepalanya terus berdenyut dan perutnya mual. Beberapa kali ia muntah saat berada di dalam pesawat. Lio yang duduk di sampingnya, tidak luput terkena muntahan itu. Meskipun sudah berusaha menahan, tubuh Lili tidak sanggup lagi menahan rasa mual yang menggelora dari perutnya. Namun, yang mengejutkan, Lio tidak sedikit pun terlihat kesal. Ia bahkan tetap tenang, mengambil tisu dan membersihkan noda muntahan di bajunya, lalu mengelus punggung Lili untuk menenangkannya. "Tarik napas pelan-pelan, Lil." ucapnya lembut, menatap Lili dengan pandangan penuh empati. Lili hanya bisa mengangguk lemah. Kepalanya tertunduk, wajahnya pucat, dan matanya setengah terpejam. Ia malu. Merasa tidak enak karena telah

Mama Ika menggenggam erat kedua tangan Bela, setelah keduanya selesai makan malam di ruang makan yang hangat dan penuh aroma masakan. Wajahnya bersinar dengan semangat, seolah-olah rencana yang disusunnya bersama Bela akan segera membuahkan hasil."Bagus, itu yang harus kamu lakukan. Buat Zian tergila-gila padamu. Maka, dia akan meninggalkan perempuan sialan itu," ucap Mama Ika dengan nada sinis, menyebut Lili, menantu pertamanya, dengan penuh kebencian. "Pokoknya bagaimana caranya biar dia tidak lagi nafsu pada Lili.""Aku pastikan dia tidak akan nafsu lagi sama Lili, Ma. Dan aku pastikan Zian sudah puas lebih dulu bersama aku," sahut Bela dengan percaya diri. Senyuman licik tergurat di bibirnya, menyiratkan bahwa ia telah memiliki strategi yang cukup matang untuk merebut Zian sepenuhnya.Mendengar hal itu, Mama Ika mengangguk-angguk penuh puas. "Maka akan lebih mudah menyingkirkan perempuan sialan itu. Benci banget Mama sama Lili. Perempuan miskin, hina, pembawa sial pula." Mama Ika

Kata maaf yang baru saja terlontar dari mulut Zian terdengar tabu di telinga Lili. Kata itu seakan kehilangan maknanya ketika kenyataan yang ia saksikan begitu menyakitkan.Lili menatap lekat wajah suaminya. Ada perih yang tak bisa ia ungkapkan, tapi jelas air matanya sudah siap membanjiri pipi. Ia mencoba tegar, meski hatinya telah runtuh sejak melihat kamar berantakan dan lingerie miliknya yang bekas pakai."Siapa perempuan itu? Kenapa harus di kamar kita kalian bermain? Kenapa?" Suara Lili bergetar, sebelum akhirnya air matanya tumpah juga.Zian mengerutkan kening, bersandiwara seolah bingung."Sayang, kamu bicara apa sih?""Katakan siapa perempuan itu! Siapa yang bermain dengan kamu!" desak Lili dengan napas tak beraturan.Zian bergerak cepat, menggenggam kedua tangan Lili dengan lembut namun penuh tekanan."Ya ampun, sayang. Dengarkan penjelasan aku dulu." Ia menatap mata Lili, lalu mengambil napas dalam-dalam. "Aku tidak main sama perempuan mana pun. Aku... aku cuma bermain send

Langit siang itu mendung, seolah mencerminkan perasaan Lili yang berkabut oleh kegelisahan. Perasaannya terus diganggu oleh firasat yang aneh, sebuah bisikan hati yang tak mampu ia abaikan. Sesuatu tentang suaminya, Zian, terasa tidak beres. Terutama sejak ia melihat pesan singkat dari wanita bernama Bela di ponsel Zian tadi pagi. Lili memutuskan untuk tidak masuk kerja dan pergi mengikuti Zian. Panggilan dari Romi dan Lio ia abaikan. Bahkan ia mematikan ponselnya, seolah ingin memutuskan hubungan dari siapa pun kecuali tujuan utamanya, Zian. Dengan langkah cepat dan hati yang tak menentu, ia turun dari ojek online tepat di depan sebuah ruko besar bertingkat tiga. Bangunan itu tampak baru, dengan cat abu-abu modern dan kaca-kaca besar yang memantulkan langit kelabu. Inilah kantor baru Zian, tempat usahanya yang kini mulai ia bangun kembali. Lili menatap ruko itu sejenak, mengumpulkan keberanian sebelum melangkah masuk. Di dalamnya, orang-orang berlalu-lalang, sibuk dengan urusan