Dua puluh delapan tahun yang lalu.
Sambil bersimpuh, Sekar membersihkan mulut Sakti yang kotor oleh cokelat yang dimakan oleh anak itu. Cokelat yang dibelikan oleh Sekar dengan uang yang tersisa di kantong ibu muda itu.
“Lain kali makannya jangan buru-buru ya, Nak. Biar nggak belepotan begini,” nasihat Sekar. Ia memeriksa sekali lagi wajah putra semata wayangnya tersebut, memastikan tidak ada lagi sisa-sisa cokelat di sana.
“Iya, Ma,” jawab Sakti ceria. Jelas sekali dia sedang gembira karena setelah sekian lama, diizinkan menikmati cokelat lagi. Sebab sebelumnya, dia hanya bisa makan cokelat yang dibelikan Daud, mantan bos Sekar.
Sekar menatap putranya lekat-lekat.
“Jadi, sekarang sudah tahu, Sakti harus ngapain tiap hari?” tanya Sekar dengan suara tercekat.
“Ngapain apa, Ma?” tanya Sakti, belum menangkap maksud Sekar. Usianya baru empat tahun. Pertanyaan bermakna tersirat seperti itu masih sulit dipahami olehnya.
“Itu loh, tiap pagi harus gimana,” jawab Sekar memberi petunjuk.
“Oh, ingat!” seru Sakti. “Bangun tidur, bantal taruh di ujung tempat tidur. Kalau mandi jangan lupa sikat gigi, sabunin badan dan muka. Terus, kalau makan tidak boleh sambil ngomong apalagi berisik. Uhm, apa lagi ya …. Oh, nggak boleh pelit sama teman! Nurut kata Bunda, terus ….”
Kedua mata Sakti mengarah ke atas, bergerak-gerak. Mengingat-ngingat apa yang telah ibunya ajarkan selama mereka berdua tinggal di tempat ini.
Sekar tetap menatap putranya. Kali ini dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak lagi mendengarkan perkataan Sakti yang terus berusaha mengulangi apa yang telah Sekar ajarkan padanya.
Hingga pada satu titik, pertahanan Sekar jebol. Ia memeluk erat Sakti hingga anak itu terkejut dan berhenti bersuara.
“Ma? Mama kenapa?” tanya Sakti bingung.
Alih-alih mendapatkan jawaban, pertanyaan Sakti dibalas dengan isak tangis ibunya. Mula-mula terdengar lirih. Hingga menjadi lebih nyaring dan mengundang perhatian seorang wanita lain yang jauh lebih tua daripada Sekar. Seseorang yang dipanggil dengan sebutan Bunda.
“Sekar, ada apa?” tanya Bunda. Tangisan Sekar pasti terdengar hingga ke luar kamar untuk anak-anak di bawah usia tujuh tahun, sehingga Bunda yang sedianya menunggu di luar, akhirnya memutuskan untuk masuk dan melihat keadaan.
Sekar menghentikan tangisnya dan menghapus air matanya. Ia hanya menatap Bunda, tidak menjawab sama sekali. Namun raut wajahnya menunjukkan ketidakrelaan.
Bunda tampak mengerti dan berkata, “belum terlambat untuk mengubah keputusanmu.”
Sekar menggeleng lemah dan akhirnya membalas, “tapi, hanya panti asuhan ini yang mau menerima Sakti dengan tangan terbuka. Selebihnya ….”
Sekar terisak lagi. Ia tidak mampu membesarkan Sakti dalam keadaan dirinya yang sekarang ini. Setelah ditinggalkan oleh ayah Sakti, Sekar sendirian dan tidak bisa menghadapi Sakti yang terus berkembang. Menitipkan Sakti pada panti asuhan menjadi jalan yang Sekar pilih.
Bunda menghela napas berat.
“Kalau begitu, sudah waktunya. Setelah hatimu mantap memilih jalan ini, jangan menengok lagi,” kata kepala panti asuhan tersebut, yang disambut dengan anggukan Sekar.
Sakti memandang ibunya dan Bunda bergantian. Kebingungan. Ia jelas tidak memahami percakapan di depannya. Anak laki-laki itu hendak bertanya, namun Bunda sudah menggendongnya.
“Kita antar Mama, yuk,” kata Bunda lembut.
Sakti menyahut, “antar? Memangnya Mama mau ke mana?”
Tidak ada yang menjawab. Sekar membiarkan Bunda menggendong putranya. Mengikuti kepala panti asuhan tersebut menuju ke halaman depan sambil sesekali mencium wajah Sakti yang air mukanya mulai berubah.
Kebingungan Sakti berubah menjadi kecurigaan saat ia menyadari bahwa ibunya tengah membawa ransel di punggungnya. Ransel berwarna cokelat yang warnanya sudah memudar. Ransel yang dipakai untuk menyimpan pakaian Sakti dan ibunya saat mereka pertama kali tiba di panti asuhan ini ….
“Mama?! Mama mau ke mana? Ikut!” teriak Sakti pa nik.
Tangan Sakti menggapai-gapai, hendak meraih ibunya. Namun, Sekar menjauh. Dengan berurai air mata, ia menatap Sakti yang memberontak dalam gendongan Bunda.
Bunda sendiri hanya diam. Tidak membujuk Sakti, apalagi menurunkan anak itu dari gendongannya. Ia menatap Sekar, mengisyaratkan agar Sekar mengambil keputusan sekarang. Tetap tinggal di sini, atau pergi tanpa membawa Sakti.
Sekar memilih yang kedua.
“Maafkan Mama, Nak,” ucap Sekar dengan suara parau. Ia berbalik, lalu meninggalkan halaman panti asuhan dengan langkah tergesa. Tak menghiraukan panggilan Sakti yang kini menangis.
Bunda pun masih diam. Membiarkan Sakti melepaskan emosinya yang melihat ibunya menjauh. Permintaan Sakti untuk mengikuti ibunya, diabaikan sepenuhnya. Sakti tetap terjebak dalam gendongan wanita bertubuh tinggi besar itu. Sementara Sekar kini telah tiba di tepi jalan, hendak menyeberang.
Sakti yang frustrasi karena diabaikan, akhirnya mengucapkan kata-kata yang membuat Bunda terkejut. Ia pun segera menegur anak itu, menasihati agar tidak berbicara sembarangan.
Sementara itu, Sekar sudah menginjak aspal jalan. Jalanan itu sendiri adalah jalan yang sepi, sehingga terbilang aman bagi anak-anak penghuni panti asuhan seandainya mereka berada di luar. Sepanjang hari, jumlah kendaraan yang melintas bisa dihitung dengan jari, karena daerah itu memang sunyi.
Namun, saat itu ada yang berbeda. Sesaat setelah Sekar tiba di tengah jalan, deru mesin mobil yang melaju kencang, terdengar dari arah kiri. Sekar menoleh dan melihat sebuah minibus mendekat dengan pengemudi yang berwajah pa nik karena tak bisa mengendalikan kecepatan mobilnya.
Sekar mencoba berlari untuk menghindar. Namun entah mengapa, ia justru hanya bisa mematung di tempatnya.
Terdengar bunyi mobil menabrak, diikuti dengan decit ban yang tengah dihentikan. Bunyi tubuh yang terhempas di aspal pun mengakhiri rangkaian insiden yang mengerikan itu.
Dari balik pagar besi panti asuhan, Bunda terperangah menyaksikan kejadian yang tidak terduga itu. Ia membeku sesaat, sebelum akhirnya bisa menurunkan Sakti dan bergegas menghampiri Sekar sambil berteriak-teriak mengundang perhatian orang-orang di panti asuhan dan para tetangga.
Sementara itu, Sakti masih terdiam tanpa berkedip. Memandang sosok ibunya yang kini tergeletak di aspal.
“Oh, kalau begitu, mau sarapan di sini? Kebetulan tadi saya bikin nasi goreng. Ada roti, juga. Anggap saja ucapan terima kasih saya karena sudah dibantu pagi-pagi begini,” ujar Widya sambil menyilakan Sarah dan Rimba menuju meja makan.Sarah hendak menolak, tapi lagi-lagi Rimba, mengikuti Widya. Sebelum Sarah sempat bersuara, pemuda itu sudah menyendokkan nasi goreng ke piringnya.“Dasar tidak punya malu,” desis Sarah kesal.***Daud menatap lekat-lekat foto dalam sebuah pigura bergaya klasik. Foto dirinya sekeluarga, diambil pada saat upacara kelulusan Rizwan dari akademi militer, bertahun-tahun yang lalu. Rizwan tersenyum samar di foto itu, seperti berusaha menyembunyikan kebanggaan dan kebahagiaannya.Namun berbeda dengan Rizwan, kedua orang tua dan dua orang adiknya tampak lebih ekspresif. Daud tampak bangga dengan senyuman yang mengembang, sementara almarhumah istrinya tampak seperti menahan air mata kebahagiaan. Adik-a
Wajah Sarah seketika memucat mendengar pertanyaan sindiran itu. Sedangkan Rimba tetap tenang dan memberikan seulas senyum.Rimba pasti memahami pertanyaan Sakti, namun tidak terpancing untuk membalas. Sarah sampai kagum karena pemuda jahil itu ternyata bisa setenang itu.Di sisi lain, Sakti tampak tersentak sendiri, seperti menyadari bahwa ia sudah keterlaluan di depan orang asing yang tidak berbuat apa-apa padanya. Raut wajahnya kini menjadi lebih ramah.“Apa Bu Widya yang memanggil kalian ke sini?” tanya Sakti pada Sarah.“Iya, Pak. Katanya beberapa saluran hilang begitu saja. Kami ke sini untuk memeriksanya.”Sakti mengetuk pintu dan berseru, “Wid! Widya! Ada orang dari TV Kabel nih, mau periksa TV-mu.”Tak lama kemudian, Widya membuka pintu. Matanya sembab. Sarah seketika saling melirik dengan Rimba. Mereka sepertinya mendapatkan petunjuk baru dari gelagat Widya.“Oh, iya. Ayo masuk. TV sa
Saat yang bersamaan dengan kejadian di rumah Widya.“Hm, suaminya pergi dari rumah, eh, datang pria lain berkunjung. Hehehe, cinta segitiga yang gampang ditebak.”Sarah tersenyum miring dengan mata yang masih mengintai melalui teropong jarak jauh. Mengamati dari jarak puluhan meter, gerak-gerik seorang wanita—Widya—tengah berhadapan dengan seorang pria—Sakti—di depan rumahnya. Agar tindak-tanduknya tak terlihat orang banyak, Sarah bersembunyi di dalam sebuah mobil.Sarah sebenarnya tidak sedang bergumam atau berbicara sendiri mengomentari kelakuan Widya. Kata-kata Sarah itu ditujukan pada seorang pria yang duduk di sebelahnya.Sayangnya, pria yang ‘diajak bicara’ oleh Sarah tersebut tidak memahami maksud Sarah. Bahkan ia tampak mengabaikan gadis itu. Sebab, ia tetap asyik membersihkan pisau Jagdkommando miliknya.Sarah kini cemberut. Pria di sebelahnya ini benar-benar menyebalkan dan tidak pedul
Masa kini, dua tahun setelah insiden di pos jaga.“Aku berangkat.”Widya tersentak mendengar suara berat itu. Ia meletakkan cangkirnya, lalu bergegas menyusul Rinto yang sudah sampai di ambang pintu depan. Cepat sekali langkah pria itu dengan beban berupa tas berisi pakaian dan sedikit barang. Maklum, polisi.“Abang, bagaimana dengan …”“Aku yang akan mengurusnya. Mulai sekarang, kita jalan masing-masing,” tukas Rinto. Ia bisa membaca pikiran Widya.Namun Widya tak menyerah. Ia menahan lengan kekar Rinto.“Abang benar-benar … tidak ingin melanjutkan lagi? Setelah dua tahun, kita sampai di sini saja?”Rinto menatap tajam pada Widya. Alisnya yang nyaris bertaut menunjukkan bahwa dia tidak memahami, mengapa Widya menanyakan hal yang sudah sangat jelas. Terang benderang.“Bang, aku sudah jelaskan berkali-kali. Aku dan Bang Sakti tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya anak-anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan yang sama. Kami ….”Rinto menyentakkan tangan Widya. Wajahnya terliha
Atasan Rizwan itu lalu berlari menyusuri jejak darah yang dapat ia temukan. Ia tidak memedulikan api yang masih berkobar di pos karena ia harus menemukan musuh yang dilumpuhkan oleh Rizwan sebelumnya. Kemungkinan orang itu masih hidup. Barangkali ada yang membantunya hingga bisa bangkit dari kematiannya.Setelah beberapa lama, ia akhirnya bisa menyusul sosok yang seolah kembali dari kematiannya tersebut. Ternyata makhluk yang ‘membangkitkan’ orang itu adalah seorang anak yang mungkin berusia sepuluh tahunan. Anak berambut pendek yang tidak jelas apakah berjenis kelamin laki-laki atau perempuan itu, memapah pria yang ia tolong dengan susah payah.“Berhenti!” perintah atasan Rizwan tersebut.‘Mayat hidup’ bersama anak penolongnya itu tentu saja tidak menuruti perintah tersebut. Sebaliknya, mereka malah mempercepat langkahnya. Meskipun tentu saja tidak berguna karena mereka sudah terkejar.Tak jauh dari mereka, terdapat sungai yang memiliki arus yang cukup deras. Tidak banyak pilihan bag
Dua tahun yang lalu.Sebagian yang ditampilkan di film-film ternyata tidak sesuai dengan kehidupan nyata. Mana ada orang yang pahanya tertembak, masih bisa kabur dengan cepat meskipun langkahnya agak tertatih?Rizwan kini menyadari bahwa pahanya yang tertembak peluru musuh, kini mematikan langkahnya. Ia tidak memahami anatomi manusia, namun ia tahu, peluru yang menembus anggota tubuhnya itu membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa telentang di atas rerumputan yang mengering, dalam jarak hanya lima meter dari mayat musuh yang nekad mendekati wilayah Rizwan dan pasukannya.Merayap perlahan untuk mencari tempat yang lebih aman? Bagi Rizwan, itu ide gila. Darah yang mengalir dari lukanya akan semakin deras karena pergerakan yang tidak perlu itu. Belum lagi kerusakan lainnya. Tak terbayangkan kerusakan otot dan saraf yang akan Rizwan alami akibat pergerakan peluru di pahanya, jika ia sampai nekad bergerak.Rizwan memilih menunggu dengan pistol di tangan sebagai alat perlindungan diri. Ia berh