Pagi itu, rumah Hasan terasa berbeda. Hujan sudah reda, meninggalkan aroma tanah basah yang meresap ke setiap celah. Qalesya duduk di beranda kamarnya, selimut menutupi bahunya. Matanya masih bengkak, namun ada ketenangan kecil yang baru saja ia temukan, rumah ayahnya memang benar-benar “tempat pulang”.Pintu berderit, Hasan melangkah pelan. Tangannya menggenggam sebuah cangkir teh hangat.“Minum ini, Lesa,” ucapnya, meletakkan cangkir di meja.Qale tersenyum tipis. “Terima kasih, Yah.”Hasan duduk di kursi seberang, menatap putrinya lama-lama. “Kenapa kamu pulang sendirian?”Pertanyaan itu sederhana, tapi menekan hati Qale. Ia menggigit bibir, lalu berkata pelan. “Aku … merasa malu masuk ke keluarganya dengan kondisi begini."Hasan terdiam, rahangnya mengeras. “Dia bilang kalau cuma kasihan sama kamu, Lesa?"Qalesya terhenyak. "Bu-bukan gitu. Aku aja minder, Yah," ucapnya gagap."Dia membiarkan kamu pulang sendiri? Nggak belain kamu? Kalau iya, dia tidak pantas mendampingimu.”Sorot
Last Updated : 2025-09-06 Read more