Perjalanan menuju rumah sakit pagi itu terasa seperti prosesi pemakaman. Hendra Dharma duduk diam di kursi belakang, matanya menatap kosong ke luar jendela, namun ia tidak melihat gedung-gedung atau kepadatan lalu lintas Jakarta. Yang ia lihat hanyalah wajah kecewa besannya, Pak Surya, dan kebohongan putranya sendiri yang terungkap dengan begitu telak. Di sebelahnya, Liana hanya bisa meremas-remas ujung tasnya, bibirnya komat-kamit melantunkan doa dalam hati. Doa untuk keajaiban, doa untuk kekuatan, ia sendiri tidak tahu pasti."Mas," bisik Liana pelan, memecah keheningan yang menyesakkan. "Apa yang akan kau lakukan nanti?"Hendra menoleh, tatapannya dingin. "Melakukan apa yang seharusnya sudah kulakukan dari awal. Meminta pertanggungjawaban.""Aku mohon, Mas, jangan terlalu keras pada Varel," pinta Liana, suaranya bergetar. "Dia sudah hancur. Dia sudah kehilangan segalanya. Menghukumnya lebih jauh tidak akan mengubah apapun.""Oh, tentu saja akan mengubah sesuatu, Li," balas Hendra
Terakhir Diperbarui : 2025-08-16 Baca selengkapnya