All Chapters of Istri Kontrak Tuan Sultan: Chapter 11 - Chapter 20

“Selamat pagi, Nyonya,” suara lembut menyapa dari arah pintu kamar.Queen yang sedang memasukkan ponsel ke dalam tas menoleh. Seorang wanita muda berambut sebahu, rapi dengan setelan blazer krem, berdiri sambil membawa tablet dan map tipis. Wajahnya ramah, tapi posturnya tegak, seperti terbiasa bekerja dengan standar tinggi.“Pagi,” jawab Queen singkat.Wanita itu melangkah mendekat. “Perkenalkan, saya Nala. Asisten baru yang ditunjuk langsung oleh Tuan Sultan untuk membantu semua kegiatan Nyonya mulai hari ini.”Queen mengangkat alis, sedikit terkejut. “Asisten baru? Jadi mulai sekarang kamu yang akan ikut ke mana-mana?”“Ya, Nyonya,” jawab Nala sopan. “Termasuk mengatur jadwal, menyiapkan dokumen, dan memastikan semua keperluan Nyonya terpenuhi. Mobil sudah menunggu di depan.”Queen mengambil tas kerjanya, menatap Nala sejenak. “Baik. Hari ini kita ke kantor Papi dulu, lalu langsung ke Kalatama Grup.”“Sudah saya catat. Tuan Sultan juga menitip pesan, rapat direksi jam tiga sore, ja

Dira duduk dengan wajah kesal, dagunya sedikit terangkat, tapi matanya tak bisa menyembunyikan kejengkelan yang masih tersisa dari percakapan barusan. Sultan mengabaikan ekspresinya. Ia berdiri tegak di ujung meja panjang, tangannya masih menaut dengan tangan Queen.“Ini Queen,” suaranya tenang namun membawa wibawa yang membuat ruangan seketika sunyi. “Istri saya.”Beberapa pasang mata berpindah dari Sultan ke Queen, lalu kembali ke Sultan, seolah mencoba memastikan apakah mereka mendengar dengan benar.Sultan melanjutkan, “Mulai hari ini, dia akan memegang peran di Kalatama Grup. Saya harap tidak ada yang mempersulit pekerjaannya.”Ia menatap satu per satu yang duduk di meja, tatapan yang cukup lama untuk membuat orang menunduk tanpa dipaksa. Dira tidak luput dari sorotan itu, meski ia memilih membuang pandang.Tanpa melepas genggaman, Sultan menuntun Queen menuju kursi besar di ujung meja, kursi ketua rapat. Ia menariknya sedikit ke belakang, memberi isyarat agar Queen duduk.Sultan

Queen duduk di kursinya, tumpukan berkas yang diberikan Sultan sejak kemarin masih terbuka di meja. Matanya bergerak cepat, membaca setiap halaman, sesekali menandai bagian yang menurutnya perlu dipahami lebih dalam.Ponselnya tiba-tiba bergetar di samping tumpukan kertas. Satu pesan masuk.Queen meraih ponsel, membaca sekilas. Sudut bibirnya perlahan terangkat membentuk senyum tipis.Ia menekan tombol interkom kecil di meja. “Nala, masuk sebentar.”Tak lama, pintu terbuka dan Nala melangkah masuk. “Ya, Nyonya?”“Siapkan mobil. Aku mau keluar,” ujar Queen singkat.Nala mengangguk tanpa banyak tanya. “Baik, Nyonya.” Ia segera berbalik, keluar dari ruangan dengan langkah cepat untuk mengatur semuanya.Queen menutup berkas di depannya, meneguk sisa kopi, lalu berdiri sambil meraih tas kecilnya.Nala kembali masuk beberapa menit kemudian. “Mobil sudah siap di depan, Nyonya.”Queen mengangguk, lalu berjalan keluar ruangan. Tumit sepatunya memantul di lantai marmer kantor Kalatama Grup. Beb

Queen akhirnya mengalihkan pandangannya, mencoba menjauh, tapi kursinya sudah begitu dekat dengan Sultan. Ia bisa merasakan tatapan itu masih menempel, membuat ruang kerja yang luas tiba-tiba terasa sempit.“Kalau hanya karena aku istrimu,” ucap Queen pelan, “itu alasan yang terlalu dangkal untuk menyeretku sejauh ini.”Sultan tidak segera menjawab. Ia meraih gelas kristal di meja, meneguk isinya perlahan, lalu menaruhnya kembali. Jemarinya mengetuk pelan permukaan meja, ritme yang terdengar lebih seperti detak kesabaran.“Queen,” katanya akhirnya, nada suaranya dalam, “aku bisa menempatkan siapa pun di kursi sebelahku. Dania, Paman Patra, bahkan direktur senior lain. Tapi aku pilih kamu, karena aku ingin semua orang tahu, aku tidak hanya sendiri. Aku punya seseorang yang berdiri di sisiku.”Queen menoleh cepat, matanya melebar. “Itu alasan politik?”Sultan mengangkat bahu sedikit. “Sebagian, mungkin. Tapi ada hal lain.”Queen menunggu. Hanya hening. Lalu ia mendesah pelan. “Kamu sela

Lorong rumah sakit itu panjang dan bau antiseptik menusuk. Lampu-lampu neon menggantung rapi di langit-langit, memantulkan cahaya putih yang membuat suasana semakin dingin. Queen duduk di kursi tunggu, tubuhnya sedikit condong ke depan, jari-jarinya saling mengunci di pangkuan. Sesekali ia menoleh ke arah pintu IGD yang tertutup rapat, lalu kembali menarik napas berat.Di sampingnya, Kai masih mondar-mandir. Pemuda itu memegang rambutnya sendiri, wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipis.“Kak… gimana kalau dia nggak selamat?” suara Kai pecah, hampir berbisik, seolah takut kalimat itu jadi kenyataan.Queen menoleh, menatap adiknya. “Berhenti bilang begitu,” ujarnya pelan, tapi nadanya tegas. “Dokter tadi sudah bilang, tidak ada luka serius. Dia hanya pingsan karena shock. Kau dengar sendiri, kan?”Kai berhenti melangkah, tapi tubuhnya masih gemetar. Ia menatap lantai, seperti anak kecil yang ketahuan melakukan kesalahan besar. “Tapi… itu tetap salahku. Kalau saja aku lebih hat