Semua Bab Kekasih Hatiku Sang Tokoh Kedua.: Bab 21 - Bab 30

"Ada luka yang tak terlihat, bersembunyi di balik senyum paling cerah. Ia menari di antara kepingan hati, meninggalkan jejak perih, namun tak pernah sanggup memadamkan nyala harap yang perlahan bersemi." *** Setelah insiden di jalur pegunungan, Elaria merasa ada benang tak kasat mata yang terjalin antara dirinya dan Kaelion. Kata-kata Kaelion, "Kau terlalu sering membuatku khawatir tanpa alasan. Hentikan itu," masih terngiang, sebuah melodi aneh di tengah keheningan hatinya. Bros dan surat yang disimpan Kaelion di dekat jantungnya memberi Elaria kekuatan, keyakinan bahwa ia bukanlah bayangan semata. Namun, Duke itu tetaplah Kaelion yang dingin, yang sulit dijangkau. Elaria tahu, jalan yang ia pilih ini tidak akan mudah. Ia harus berani. Bahkan jika itu berarti hatinya akan kembali tergores. "Perjamuan diplomatik ini sangat penting, Lady Elaria," Clara mengingatkan suatu pagi, saat Elaria sibuk memilih gaun. "Lord Emrick, duta besar dari Kerajaan Eldoria, adalah tamu kehormata

"Ada langkah yang berani di tengah keraguan, sebuah kehadiran yang menantang batas. Ia datang tanpa undangan, membawa serta hati yang tak kenal menyerah, berharap menemukan tempat di ruang yang tak seharusnya." *** Setelah insiden di balkon dan anggur Velrois yang tak dibalas, Elaria merasa ada dinding tak terlihat yang semakin tebal antara dirinya dan Kaelion. Hatinya perih menyadari Kaelion masih terikat pada masa lalunya, namun tekadnya untuk tidak menyerah tak pernah padam. "Apa yang harus kulakukan sekarang, Clara?" gumam Elaria suatu sore, menatap kosong ke halaman Istana Thorne. "Dia menyimpan anggurku, tapi dia juga menyimpan cincin itu. Aku merasa... sia-sia. Mungkin anggurku itu hanya pajangan, tidak pernah dicicipi." Clara menghela napas. "Lady Elaria, Anda sudah melakukan banyak hal. Mungkin... mungkin Anda harus memberinya waktu." "Waktu?" Elaria mengulang, suaranya getir. "Waktu tidak akan mengubah perasaannya. Aku harus menunjukkan padanya bahwa aku ada. Bahwa

"Ada bayangan yang menari di cakrawala, membentuk siluet duka yang tak terhindarkan. Sebuah kenyataan pahit yang mengambang, seperti awan yang tak mampu dipegang, seindah apapun bentuknya." *** Setelah usahanya yang berani di pesta Tuan Alaric, Elaria merasa sedikit lega. Kaelion memang terganggu, tapi ia tidak mengusirnya. Bahkan, gumaman Kaelion tentang "mengapa aku mulai memperhatikan dia" di bab sebelumnya masih memberikan sedikit kehangatan di hati Elaria. "Dia menyadariku," gumam Elaria suatu pagi, saat menyiram bunga di taman istana. "Setidaknya aku tidak lagi menjadi bayangan." Namun, ia tahu perasaannya untuk Kaelion masih merupakan jalan panjang yang berliku. Terkadang, Elaria merasa seperti awan, indah namun tak mampu dipegang. Ia masih sering melihat Kaelion menjaga jarak. Terkadang, ia akan melihat Duke itu sekilas di koridor, atau di meja perjamuan, ekspresinya selalu sama: dingin dan terke

"Ada jejak yang tertinggal di jalan sunyi, sebuah kehadiran yang tak diundang namun membekas. Seperti daun gugur yang jatuh perlahan, ia mendarat di hati yang beku, meninggalkan riak tak terlihat dalam keheningan." *** Beberapa hari setelah peristiwa surat yang dibakar, Kaelion Vaelhardt masih merasa terganggu. Perasaan aneh yang Elaria tanamkan dalam dirinya semakin kuat, sebuah bara yang terus menyala meski ia berusaha memadamkannya. Gumaman dan pikiran lirihnya tentang Elaria tak pernah benar-benar hilang. "Aku harus fokus," gumam Kaelion di ruang kerjanya, matanya menatap peta kerajaan. "Ini hanya gangguan kecil." Ia telah memerintahkan semua pasukannya untuk bergerak ke selatan, menuju perbatasan yang rawan konflik. Itu adalah tugas yang berat, sebuah pengalihan yang sempurna dari pikiran-pikiran yang mengganggu. Namun, dalam perjalanannya, ia harus melewati wilayah Thorne.

"Ada jejak langkah yang menjauh, namun hati enggan berpaling. Seperti mentari yang tetap menyapa meski awan tebal membungkus, ia adalah gadis yang tidak tahu menyerah, terus menabur benih harapan di tanah yang paling beku." *** Setelah konfrontasi di koridor, Elaria merasa hancur. Kata-kata Kaelion, "Jangan dekat aku tak berniat," telah menancap dalam hatinya. Ia menghabiskan hari-hari berikutnya dalam kesedihan, mencoba mencerna kenyataan bahwa ia telah terlalu jauh melangkah. "Aku bodoh," gumam Elaria pada dirinya sendiri di depan cermin, mengusap air mata yang tak henti mengalir. "Mengapa aku terus mengejarnya?" Clara, yang melihat tuannya begitu terpukul, hanya bisa memeluknya erat. "Lady Elaria, Anda sudah berusaha. Itu yang terpenting." "Berusaha, tapi hasilnya nol, Clara," Elaria membalas, suaranya serak. "Dia tidak ingin aku dekat. Aku harus berhenti."