Perceraianku, Awal Kebahagiaanku의 모든 챕터: 챕터 71 - 챕터 80

Bibir Vanessa tertutup rapat, tapi sorot mata indahnya tampak sedang mencemooh. "Aku takut tertular penyakit kelamin.""A ... apa kamu bilang?"Merti sontak marah. Raut angkuhnya lenyap seketika, digantikan tatapan tajam penuh kekesalan saat menatap Vanessa."Kamu kira kamu sudah menang kalau kalian cerai, Vanessa? Memangnya kamu bisa bertahan tanpa uang dan status dari Keluarga Tanrio? Waktu muda, kamu memang cantik. Tapi, apa kamu kira bakal ada pria bodoh lain yang mau menikahi wanita tua yang sudah hampir 40 tahun sepertimu?"Vanessa menahan emosi dalam hati dan menatap kedua mertuanya dengan dingin. "Itu bukan masalah Ibu. Terus, kalian menyuruhku kemari untuk bahas ini?"Merti membalas Vanessa dengan tatapan yang merendahkan dan menusuk. Dulu, setiap ditatap seperti ini, Vanessa akan merasa tertekan dan terpojok.Biasanya, Merti akan tersenyum sinis setelahnya, seakan-akan sedang menikmati penderitaan Vanessa. Kali ini pun begitu, tapi Vanessa tidak lagi bereaksi seperti dulu.Wa

"Kenapa lihat-lihat? Mau potong bonus?"Sang sekretaris hanya menyeringai kaku. Mungkin dia sudah mengumpat beberapa kali dalam hati sebelum keluar sambil membawa map dokumen.....Sore hari, Vanessa sudah tiba di Vila Jemmy Asri dan langsung sibuk menyiapkan makan malam.Namun, beberapa hidangan masih dalam proses saat Alika pulang. Jeremy juga sudah memberi kabar bahwa malam ini dia akan makan di rumah.Saat Vanessa masih berkutat di dapur, Alika yang bosan mengambil camilan dan ikut menemaninya sambil mengobrol ringan."Tadi pas pulang sekolah, Giselle dijemput papanya. Katanya, kakek-neneknya lagi datang ke Kota Harvan. Tapi Giselle pernah bilang, dia nggak suka sama mereka.""Malam ini pasti dia makan dengan bete. Gimana kalau besok sarapannya dibanyakin saja, Bibi Vanessa? Nanti aku bawakan buat Giselle.""Boleh. Makasih ya, Alika."Marvin memang menyayangi Giselle. Hanya saja, orang tuanya tidak pernah memperlihatkan kehangatan pada cucu perempuan mereka. Entah karena lebih meng

Dengan keberadaan ibu dan sahabatnya di sini, Giselle memberanikan diri untuk membantah Merti. Alika pun langsung menyambar sinis. "Idih, rupanya ini sopan santun versi Keluarga Tanrio? Ngomongin orang di belakang. Sok bermoral, padahal kelakuannya ... ya gitu."Pandangan mata Merti teralihkan dan menatap tajam pada Alika."Bocah sial dari mana ini? Nggak punya ayah atau ibu, ya? Ini urusan Keluarga Tanrio! Siapa kamu sampai ikut campur seenaknya?""Ibu!" Marvin buru-buru menegur. Ekspresinya tegang, memberi isyarat agar ibunya jangan mengusik gadis kecil ini. Namun, semuanya sudah terlambat.Alika yang barusan galak, kini mendadak berubah. Mimiknya seperti anak kecil yang disakiti dan mulai menangis keras."Huwaa .... Jahat banget, sih? Kamu mau mengutuk orang tuaku, ya? Bilang aku bocah sial lagi! Huwa ....""Nenek sihir jahat, aku bakal bilang ke pamanku ...."Tangisan berlebihan seperti ini jelas sekali cuma pura-pura. Merti semakin geram dan ingin memarahinya."Dasar bocah kurang

Saat ini, angin malam yang sejuk seolah sudah menenangkan hati Vanessa. Dia mengamati pemandangan luar dan berbisik, "Cantiknya."Tatapan Jeremy seakan menyiratkan senyum samar yang nyaris tak terlihat."Calvin itu pengacara ulung. Selama dia mau, nggak ada kasus yang akan kalah. Saat kamu menang nanti, kamu akan geli sendiri melihat wajah orang-orang bermarga Tanrio itu. Kamu akan berdiri di tempat yang tinggi, sementara mereka hanya bisa menatapmu dari jauh."Jeremy berbalik. Sorot matanya dalam, penuh keyakinan, seolah benar-benar percaya bahwa Vanessa akan menjadi seperti yang dia katakan.Angin malam kembali menyelinap lewat jendela, seolah menembus dada Vanessa, menimbulkan riak kecil di hatinya.Vanessa cepat-cepat menunduk, tak berani menatap Jeremy terlalu lama. Bulu matanya yang lentik menutupi gejolak di matanya. Dia tersenyum tipis, berusaha bersikap senatural mungkin."... Aku juga berharap begitu. Tapi jangan menaruh harapan yang terlalu tinggi padaku, Pak Jeremy. Mungkin

Wanita cantik dengan penampilan modis membungkuk dan menatap Marvin. Entah apa yang mereka bicarakan, Marvin membalasnya dengan senyuman. Dia kemudian melambaikan tangannya dan wanita cantik itu pergi dengan ekspresi kecewa.Vanessa baru mendekat setelah wanita itu pergi. Saat mengangkat wajah untuk melihat Vanessa, sorot mata Marvin tampak sedikit terpesona.Hari ini, Vanessa mengenakan kemeja terusan putih sederhana, dilengkapi sabuk hitam di pinggang yang menonjolkan lekuk tubuhnya yang indah. Rambutnya diikat simpel dengan model ekor kuda, menampakkan raut wajahnya yang tegas dan berkelas. Sepasang matanya yang indah memancarkan aura dingin penuh wibawa, seolah mampu menembus siapa saja yang menatapnya.Kehadirannya selalu menarik pandangan banyak orang. Wanita yang mencoba meminta nomor Marvin tadi hanya bisa menarik napas pasrah saat melihat Vanessa duduk di hadapan pria itu."Duduk, Van. Aku sudah pesankan air lemon favoritmu."Marvin memberi isyarat, lalu pelayan segera menyaji