Arya menoleh, menatap bosnya. “Lo lega atau makin hancur, Yan?”Abyan tersenyum miris. “Entahlah, Ya. Gue pikir selama ini gue cuma dibebani tanggung jawab. Tapi ternyata… mereka bahkan gak peduli siapa gue. Gue cuma alat untuk nyambungin ambisi mereka.”Arya menyandarkan tubuhnya di kursi, menghela napas panjang. “Setidaknya sekarang lo tahu, Bos. Lo bukan kabur tanpa alasan. Lo cuma menolak menjadi budak mereka seumur hidup.”Abyan menatap layar laptop itu sekali lagi, wajah-wajah keluarganya terpampang jelas di sana, saling berteriak, saling menyalahkan.Perasaan hatinya campur aduk—antara luka lama yang makin terasa perih, dan tekad baru yang mulai mengeras.“Gue gak bisa selamanya sembunyi, Ya,” ucap Abyan akhirnya, suaranya berat. “Kalau mereka udah segila itu, berarti gue harus siap. Bukan cuma buat diri gue, tapi juga buat Nisa.”Malam itu suasana safe house begitu hening. Hanya suara serangga di luar jendela yang terdengar samar. Di meja kayu sederhana, Abyan meletakkan sebua
Last Updated : 2025-09-10 Read more