All Chapters of Hasrat Terlarang Paman Suamiku: Chapter 31 - Chapter 40

Langkah kaki Lena terasa berat saat ia menaiki tangga menuju ruang VIP karaoke. Hatinya dipenuhi perasaan campur aduk—antara gugup, cemas, dan juga perasaan yang ia sendiri tak ingin akui. Begitu sampai di depan pintu, ia menarik napas panjang lalu mendorongnya perlahan. Dan di sanalah Neil, duduk bersandar santai di sofa berwarna merah marun. Aura dinginnya masih sama, tapi kali ini ia tidak sendiri. Leon, sang asisten yang selalu setia menemaninya, duduk di sisi lain sofa sambil memegang ponsel. Jantung Lena berdegup lebih kencang saat Neil menoleh padanya. Senyuman tipis tersungging di wajah pria itu, senyuman dingin yang justru semakin membuat Lena gugup. “Selamat malam, Tuan Neil…” suara Lena terdengar bergetar meski ia mencoba terdengar tenang. “Apakah malam ini Anda ingin ditemani oleh saya?” Neil menatapnya sekilas, matanya tajam seperti biasa. “Ya, begitulah… kemarilah.” Lena hanya mengangguk kecil, menampilkan senyum sederhana, lalu melangkah mendekat dan duduk di s

Mobil melaju mulus di jalan berliku menuju villa yang tersembunyi di tengah hutan kecil. Di dalamnya, Axel tampak begitu bersemangat. Sesekali ia bersenandung keras, bahkan memukul-mukul setir mengikuti irama lagu yang ia nyanyikan sendiri.“Selena, sayang… coba dengar suaraku, merdu sekali, kan?” ujarnya sambil melirik Lena yang duduk di kursi penumpang.Lena hanya melipat tangan di dada, wajahnya penuh dengan pikiran. Ia tersenyum sekilas, lalu kembali menatap ke luar jendela.“Hmm… iya, merdu sekali,” jawabnya setengah hati.Axel tidak menyadari nada datar Lena, ia malah semakin bersemangat. “Aku sudah tidak sabar, katanya di belakang villa ada danau yang indah sekali. Kita bisa naik perahu, atau sekadar duduk di tepi air. Pasti romantis sekali!”Lena hanya mendesah pelan. Dalam hatinya, ia sibuk menyusun strategi. Liburan kali ini harus berhasil. Aku harus membuat Axel semakin tergila-gila padaku. Kalau sampai gagal… tidak, itu tidak boleh terjadi.Tak lama, mobil berhenti di depa

Lena terbaring gelisah di ranjang. Ia berulang kali berguling, menarik selimut hingga menutup wajah, lalu menyingkirkannya lagi. Pikiran itu tak juga pergi. Neil… Irene… sandiwara pertunangan… dan ciuman itu… Lena menggertakkan giginya. "Katanya sandiwara, dia bahkan tidak menolak! Dasar laki-laki…! Hhh, menyebalkan!" omelnya sambil menutup mata rapat. Namun semakin keras ia berusaha tidur, semakin jelas bayangan itu menghantam kepalanya. Tenggorokannya terasa kering. Ia bangkit, duduk di tepi ranjang. "Aish… aku belum sempat minum tadi… aku masih haus," gumamnya lirih. Tiba-tiba—klik! Pintu kamarnya terbuka. Lena menoleh cepat, kaget. "Siapa…?" Seorang pria masuk dengan langkah terhuyung-huyung. Matanya sayu, wajahnya memerah, dan aroma alkohol langsung menusuk hidung Lena. "Axel…?" Lena refleks berdiri, wajahnya menegang. "Kau… mau apa masuk kamarku malam-malam?" Axel terkekeh, tubuhnya goyah tapi tetap maju. "Selena sayang… ayo kita bercinta…" "Apa?!" Lena mundur, tubuhn

Suasana villa sore itu begitu hening. Dari teras belakang hanya terdengar suara burung yang hendak kembali ke sarang, bercampur dengan desir angin yang menggoyangkan pepohonan tinggi di sekeliling villa. Lena duduk sendirian di kursi rotan, menopang dagu dengan tatapan kosong ke arah kebun.Sejak Neil dan Axel berangkat ke hutan tadi siang, villa terasa terlalu sepi. Irene, yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya, hanya duduk tak jauh darinya. Jemari Irene terus menari di layar, sesekali terdengar tawa kecil atau nada serius saat ia berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Lena mendesah pelan.“Bosan sekali…” gumamnya, lalu menoleh ke arah jalan setapak. Tepat saat itu seorang penjaga villa melintas membawa ember berisi air.Lena berdiri setengah, memanggil. “Om, apakah Neil dan Axel belum pulang?”Penjaga itu menghentikan langkahnya, menoleh sambil menyeka keringat di dahinya. “Belum, Non. Sepertinya mereka akan lama pulang. Tadi saya lihat mereka membawa ransel juga. Sepertinya

Hutan malam itu sunyi, hanya suara jangkrik dan sesekali burung malam yang memecah keheningan. Tenda kecil yang didirikan Neil terasa hangat oleh api unggun di luar yang masih menyala samar. Lena berbaring gelisah, matanya terus terbuka.Bagaimana mungkin aku bisa tidur… kalau di sampingku ada Neil? pikirnya. Pria itu akhir-akhir ini terlalu sering hadir di pikirannya, bahkan saat ia berusaha melawan perasaan itu.Ia melirik pelan. Neil tidak banyak bergerak. Nafasnya teratur, dada bidangnya naik turun perlahan.“Apa dia sudah tidur ya?” gumam Lena sangat pelan.Ia memutuskan untuk berbalik. Namun saat tubuhnya berpaling, ia terkejut—Neil tertidur menghadap ke arahnya.“Ya Tuhan… astaga… kenapa dia menghadap ke sini?” Lena membeku, jantungnya berdetak semakin cepat.Ia menatap wajah pria itu. Wajah yang dewasa, rupawan, dan penuh wibawa. Ada sesuatu di wajah Neil yang membuat Lena sulit mengalihkan pandangan. Pria ini… bagaimana mungkin bisa begitu menyentuh perasaanku…?Tanpa sadar,