All Chapters of Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota: Chapter 51 - Chapter 60

Jagatra berdiri di balkon kamarnya, memandangi taman tempat Audina dulu sering menunggu. Bayangan masa lalu itu datang lagi hangat sekaligus menyakitkan.Ia tahu, setelah semua yang terjadi, cinta itu seharusnya padam. Tapi anehnya, semakin ia mencoba mematikannya, api itu malah tumbuh makin besar.Andrew datang membawa kabar dari luar istana. “Gadis itu sudah mulai pulih,” katanya pelan. “Tapi dia masih sering memandangi jalan ke arah istana. Seperti menunggu seseorang yang tak bisa datang.”Jagatra menatap Andrew lama, lalu mengalihkan pandangannya ke langit malam. “Aku ingin menemuinya.”Andrew menghela napasnya “Pangeran, anda tahu itu berbahaya. Pengawal istana masih mengawasi setiap gerakan anda, dan Kaesar belum berhenti mencari celah untuk menjatuhkanmu.”“Tapi aku sudah terlalu lama menunggu,” jawab Jagatra lirih. “Cinta bukan sesuatu yang bisa aku sembunyikan selamanya.”Andrew menatap sahabatnya itu dan akhirnya hanya mengangguk. “Baik. Tapi aku ikut.”---Beberapa jam kemu

Pagi itu, istana tampak tenang dari luar, tapi di balik dinding-dinding marmernya, suasana mulai memanas. Desas-desus tentang Pangeran Jagatra yang diam-diam menemui seorang gadis rakyat sudah menyebar seperti api di ladang kering.Setiap langkah yang diambilnya kini terasa diawasi, setiap senyum yang diberikannya dibicarakan.Dan di tengah badai itubEllisha datang.Putri Ellisha dari kerajaan utara, gadis berparas menawan dengan rambut seindah sutra dan tatapan yang penuh percaya diri, melangkah memasuki aula besar dengan gaun biru muda yang berkilau. Setiap langkahnya memancarkan wibawa yang membuat semua mata tertuju padanya.Ratu Elean menyambutnya dengan senyum penuh arti.“Putri Ellisha, kedatanganmu selalu membawa cahaya bagi istana ini,” ucap sang ratu lembut.Ellisha menunduk anggun. “Kehormatan bagi saya bisa kembali ke sini, Yang Mulia. Saya mendengar banyak hal tentang Pangeran Jagatra akhir-akhir ini.”Nada suaranya terdengar ringan, tapi di balik senyum itu, tersimpan ke

Suasana istana malam itu terasa aneh terlalu hening untuk tempat yang biasanya dipenuhi suara langkah para pelayan dan denting gelas dari ruang jamuan. Udara dingin merayap di sepanjang koridor, membawa bisikan-bisikan yang sulit dibedakan antara rumor dan kebenaran.Di ruang tengah yang diterangi cahaya lilin, Cristian berdiri di depan jendela besar, menatap taman istana yang gelap. Angin menerpa rambutnya pelan, membawa aroma melati yang samar aroma yang entah kenapa mengingatkannya pada satu nama: Audina.“Sudah kuduga,” gumam Cristian lirih. “Kau akan menjadi bagian dari badai ini, Jagatra.”Suara langkah kaki terdengar dari belakang. Ellisha masuk, mengenakan gaun biru lembut yang kontras dengan sorot matanya yang tajam. Ia menatap Cristian dari ujung ruangan dengan senyum samar.“Kau tampak gelisah malam ini, Pangeran Cristian,” ujarnya ringan. “Jarang sekali aku melihatmu termenung begitu lama.”Cristian menoleh pelan. “Aku tidak g

Aula kerajaan masih dipenuhi bau besi dan darah setelah pesta berubah menjadi kekacauan. Para pelayan membersihkan lantai, para pengawal berjaga ekstra rapat, dan para bangsawan pulang dengan wajah pucat setelah menyaksikan insiden memalukan yang mengguncang reputasi keluarga kerajaan.Di tengah kekacauan itu, Kaesar berjalan masuk dengan santai seolah tak ada sesuatu yang terjadi.Ia melihat para bangsawan yang masih gemetar, beberapa putri berbisik ketakutan, dan para pengawal yang saling menatap cemas. Semua terlihat rusuh.Dan Kaesar hanya… tersenyum.“Tenang, semuanya,” katanya sambil mengangkat tangan. “Kerajaan kita tidak akan runtuh hanya karena sedikit darah.”Nada suaranya tajam, sinis, tapi juga menenangkan campuran yang hanya Kaesar yang bisa melakukannya.Beberapa bangsawan menunduk, menghormati.Sebagian lain hanya saling pandang, tidak yakin harus merasa lega atau semakin takut.Kaesar berdiri tepat di tengah aula, lalu menepuk tangannya pelan.Tepuk tangan itu terdenga

Suasana koridor samping perpustakaan kerajaan masih terasa lengang ketika Audina melangkah keluar. Cahaya matahari sore menembus kaca patri dan jatuh di lantai marmer, tapi hangatnya tak mampu menenangkan gemetar di tubuhnya.Tadi…Ratu menatapnya seakan ia bukan manusia.Ellisha hampir menjerit karena cemburu.Para pelayan berbisik-bisik seperti sedang membicarakan penyakit menjijikkan.Semua hanya karena satu hal:Audina bukan siapa-siapa. Hanya gadis rakyat biasa yang “berani” dekat dengan pangeran mahkota.Ia memeluk kedua tangannya sendiri, mencoba menahan laju napas yang tak beraturan. Langkahnya semakin cepat, seolah ingin lari dari seluruh bangunan megah ini.Namun begitu ia sampai di taman belakang perpustakaan, kaki Audina melemah.Ia jatuh berlutut.Melepas semuanya.Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah diam-diam, tapi sangat menyakitkan.“Aku… bahkan bukan apa-apa,” bisiknya lirih."Tapi apa aku pantas di perlakukan seperti ini? aku juga manusia sama seperti me